Oleh :
Agung Nugraha
Direktur Eksekutif Wana Aksara Institute
Tahun baru dibuka dengan bencana alam. Jakarta dan sekitarnya dikepung banjir. Hampir semua sungai yang membelah dan melewati Jakarta meluap.
Seperti biasa, penyakit lama pun kembali mengemuka. Latah saling menyalahkan. Mencari kambing hitam. Warga menggugat “ketidakbecusan” pemerintah. Sementara Pemerintah menuding perilaku “primitive dan jorok” warga. Di sisi lain LSM yang biasa garang membisu. Pakar yang biasa manggung pun tiarap. Ujungnya tiada penyelesaian. Selain mekanisme klasik pembiaran. Biarkan banjir surut dengan sendirinya. Dan warga masyarakat kembali disibukkan agenda dan aktvitas rutinnya.
Banjir selalu menghadirkan perseteruan abadi wilayah hulu – hilir. Alih alih saling menyadari akan kebutuhan saling mendukung dan melengkapi. Pihak hulu – hilir malah memilih berjalan sendiri-sendiri. Mengikuti ego wilayah ego sektoral masing-masing. Atas nama pembangunan.
Selain hikmah. Banjir yang kembali menerjang Jakarta di awal tahun 2020 seyogyanya memberikan pembelajaran. Bahwa wilayah hulu – hilir saling terkait. Saudara tak terpisahkan. Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah Ibu kandung keduanya. Karena itu kerjasama diantara keduanya melalui mekanisme yang adil dan setara harus diwujudkan. Bahkan menjadi sebuah keniscayaan. Salah satunya melalui mekanisme pembayaran jasa lingkungan atau Payment Environmental Services (PES).
Belajar Keberhasilan FKDC
Ironis. Jakarta di hilir dan Bogor – Cianjur di hulu merupakan satu kawasan DAS yang berpotensi menghasilkan jasa lingkungan. Teori dan konsepnya pun sudah tak terbantahkan. Namun ternyata sampai hari ini tak kunjung bisa diwujudkan. Bertahun – tahun skema pemanfaatan jasa lingkungan DAS Ciliwung “mangkrak”. Hanya mampu menjadi buah bibir saja. Tak lebih dari sekedar wacana. Tak jelas dialektikanya.
Hingga, konsep pemanfaatan jasa lingkungan akhirnya menemukan operasionalisasi. Melalui skema pembayaran jasa lingkungan tata air. Bisa jadi penerapannya merupakan yang pertama di Indonesia. Lebih dari itu. Ia bukan hanya sekedar konsep muluk dan ideal. Melainkan sebuah operasionalisasi nyata. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Di DAS Ciliwung ? Sayangnya bukan. Adalah DAS Cidanau. Terletak di Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Tentulah banyak pihak, lembaga dan tokoh yang terlibat. Dalam proses inisiasi maupun eksekusi implementasi. Upaya yang dilakukan diawali dengan identifikasi masalah DAS. Sebagaimana umumnya masalah klasik yang ditemukan di berbagai kawasan DAS di Indonesia. Beragam problema di hulu DAS Cidanau. Meliputi kemiskinan, tingginya tingkat run off, erosi dan sedimentasi. Termasuk perambahan hutan Cagar Alam Rawa Danau. Dan, tentu saja masalah di hilir. Berupa ancaman keberlanjutan terhadap suplai air.
Untuk mengatasi berbagai kompleksitas persoalan di atas. Perlu pengelolaan DAS terpadu. Itu sudah harga mati. Tidak bisa ditawar. Hal itu bisa dilakukan bila tercapai kesepahaman. Kesepakatan diantara para pemangku kepentingan. Berbagi peran sesuai dengan kewenangan. Juga tugas pokok dan fungsi masing – masing pihak. Atas dasar pemahaman tersebut. Serta melalui proses panjang dan tak pernah putus. Pada akhirnya dibentuklah Forum Komunikasi DAS Cidanau. Populer dikenal dengan sebutan FKDC. FKDC berperan mendorong para pihak. Membangun dan mengembangkan pengelolaan DAS Cidanau secara terpadu. Dengan didasarkan pada konsep one watershed, one plan, one management.
Mempertemukan Resiprositas Hulu Hilir
Sejauh ini, FKDC telah berhasil mewujudkan berbagai capaian. Yang paling penting dan mendasar adalah penerapan konsep pengelolaan DAS terpadu. Selain itu, tentu saja penerapan jasa lingkungan itu sendiri.
Khusus penerapan jasa lingkungan sejauh ini telah berhasil diidentifikasi produsen jasa lingkungan. Teridentifikasi Kelompok Tani Hutan dari Desa Citaman, Kecamatan Ciomas dan Cibojong Kecamatan Padarincang. Sementara untuk pemanfaatan jasa, teridentifikasi PT. Krakatau Tirta Industri (PT. KTI).
Dengan capaian tersebut, FKDC memperoleh pengakuan dan penghargaan. Baik di tingkat sektoral, nasional bahkan internasional. Apresiasi dan pengakuan tersebut antara lain menjadi lokasi penelitian dan studi banding. Menjadi rujukan bagi penyusunan regulasi pengelolaan DAS dan jasa lingkungan. Untuk provinsi lain dan tingkat nasional. Puncaknya para pihak yang selama ini terlibat dalam proses. Berhasil menjadi penerima anugerah Kalpataru untuk kategori penyelamat lingkugan.
Belajar Pada Kunci Keberhasilan
Boleh dikata. Keberhasilan penerapan kelola DAS terpadu dan mekanisme jasa lingkungan di DAS Cidanau adalah sebuah terobosan. Lebih dari itu hal tersebut merupakan sebuah fenomena. Bisa dikatakan Ia menjadi satu-satunya DAS yang berhasil mengoperasionalkan konsep penyedia jasa lingkungan oleh produsen di hulu. Yang kemudian disepakati dibayar oleh pembeli di hilir. Jelas dan konkrit. Menggambarkan pencapaian outcome sebagaimana instruksi Presiden Joko Widodo. Lebih dari itu, juga memberikan dampak (impact) dan manfaat (benefit).
Setidaknya ditemukan dua kunci penting keberhasilan KFDC. Yaitu kelembagaan FKDC dan mekanisme aturan yang disepakati para pihak secara adil dan setara. Menghasilkan lembaga dan aturan yang benar – benar operasional di tingkat tapak. Sekali lagi di tingkat tapak. Bukan di atas kertas. Apalagi di belakang meja.
Secara sosial kelembagaan dan kepercayaan para pihak hulu maupun hilir sangalah bermakna. Social capital yang sangat kuat. Nyata. Bahwa, aturan yang dibuat bersama terkait jasa lingkungan di lingkup FKDC bukan hanya sebuah kesepakatan di atas kertas. Kesepakatannya ternyata ditaati dan dijalankan oleh semua pemangku kepentingan. Termasuk bila terjadi pelanggaran akan diberikan sanksi.
Dalam perspektif sosial. Sebuah sistem akan hidup dan berkembang bila kelembagaan dan aturan yang ada di dalamnya benar – benar hidup. Operasional. Yang tercermin dari pemberian insentif dan disinsentif. Dan semua itu dapat ditemukan secara nyata pada FKDC. Hal yang sederhana namun fundamental itu yang selama ini tidak atau belum kunjung ditemukan di Forum DAS lain di Indonesia. Tak terkecuali di DAS Ciliwung.
Penutup
Jakarta di hilir dan Bogor – Cianjur di hulu masuk dalam wilayah DAS yang sama. DAS Ciliwung. Dalam yuridiksi BPDASHL Citarum Ciliwung. Demikian pula dengan DAS Cidanau di Kabupaten Serang, Banten. Masuk pula dalam wilayah kerja BPDASHL Citarum Ciliwung.
Sudah saatnya Jakarta –di hilir- dan Bogor – Cianjur di hulu berkaca pada FKDC. Merumuskan kesepakatan bagaimana saling berbagi tugas dan tanggung jawab yang disertai hak dan kewajiban. Jakarta memiliki potensi industri pengguna jasa lingkungan Ciliwung yang sangat potensial. Karenanya sudah selayaknya memberikan resiprositas manfaat kepada wilayah hulunya. Bogor dan Cianjur. Agar kedua wilayah tersebut bisa menjaga dengan penuh komitmen kondisi Daerah Tangkapan Air (DTA) yang menjadi wilayah kelola DAS Ciliwung. Bukan hanya mencegah banjir semata. Namun sekaligus bisa memanfaatkan air dari kali Ciliwung. Untuk berbagai keperluan. Secara berkelanjutan.
Semoga pemerintah Provinsi DKI dan pemerintah Provinsi Jawa Barat bisa duduk bersama untuk membangun kesepahaman. Sekaligus berbagi peran dan tanggung jawab secara resiprositas bagi upaya penyelamatan dan pemulihan bumi DAS Ciliwung. Bukan untuk kepentingan jangka pendek sesaat. Bukan pula untuk kepentingan politik kekuasaan. Melainkan untuk kepentingan politik pelestarian lingkungan. Bagi masyarakat luas. Khususnya generasi mendatang. Semoga ***
No comment