Pasca diberlakukannya UU No. 23 tahun 2014, praktis tinggal Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) yang jadi ujung tombak pengelolaan hutan di tingkat tapak. Sebelumnya Dinas Kehutanan (Dishut) Kabupaten memiliki akses langsung ke lahan, sekarang Dishut Kabupaten sudah tiada. Pada saat bersamaan kondisi KPH belum sepenuhnya kuat. Hambatan sumberdaya manusia (SDM), dukungan keuangan, kelembagaan, kepercayaan parapihak dan semua ini berpengaruh pada rencana penurunan emisi nasional.

Oleh: Muhammad Ridwan

Pemimpin Umum Majalah GREEN Indonesia

Mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 61 tahun 2011, target penurunan emisi nasional tahun 2020 sebesar 0,672 Giga Ton CO2e dibebankan kepada sektor kehutanan dan lahan gambut. Nilai 0,672 Giga Ton CO2e ini setara dengan 87% target penurunan emisi nasional dibebankan kepada sektor kehutanan.

Jpeg

Apabila mengacu pada dokumen First Nationally Determined Contribution (NDC), rencana penurunan emisi nasional tahun 2030 dari sektor kehutanan sebesar 17,2% dari 29% atau sekitar 60% dari total target nasional. Hal ini menunjukkan bahwa sektor kehutanan menjadi sektor yang paling strategis dalam perencanaan penurunan emisi nasional. Keberhasilan sektor kehutanan menurunkan emisi berarti Indonesia berhasil dan sebaliknya kegagalan sektor kehutanan, akan berakibat kegagalan nasional dalam mencapai target nasional.

Kesiapan SDM

Dengan harapan yang begitu besar pada sektor kehutanan dalam menurunkan emisi, apakah KPH sudah siap ? Siap atau tidak, faktanya KPH sekarang menjadi tumpuan penurunan emisi nasional. Keberadaan SDM yang sedang dipersiapkan, bagaimanapun kondisinya harus siap menerima tugas negara ini. Pertanyaannya, sudah berapa banyak SDM KPH yang dipersiapkan untuk menurunkan emisi nasional ?

Sebelum bicara persentase target pencapaian penurunan emisi, tentu saja KPH perlu membuat dokumen rencana penurunan emisi. Dengan adanya dokumen ini, akan menjadi gambaran seperti apa baseline tiap KPH, bagian mana yang berperan menurunkan emisi, jenis aksi mitigasi dan lokasi prioritas dalam menurunkan emisi.

Apakah semua KPH di Indonesia sudah memasukkan perencanaan penurunan emisi ke dalam dokumen Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang (RPHJP) ? Sudah berapa persen RPHJP di Indonesia yang sudah memasukkan rencana penurunan emisi ?

Dari dokumen RPHJP ini minimal sudah bisa memberikan gambaran, seberapa banyak KPH di Indonesia yang sudah memiliki pengetahuan cukup terkait rencana penurunan emisi. Ini baru dalam dokumen perencanaan, selanjutnya perlu diidentifikasi, berapa banyak KPH yang sudah menjalankan rencana penurunan emisi sesuai dokumen RPHJP.

Keberadaan dokumen RPHJP memberikan informasi awal kesiapan SDM KPH untuk membantu implementasi penurunan emisi nasional. Untuk itu parapihak bisa membuat desain kegiatan penting dan segera pada setiap KPH terkait rencana menurunkan emisi.

Koordinasi dan Kewenangan

Persoalan yang sedang dihadapi oleh KPH di berbagai provinsi adalah kondis areal KPH. Ada KPH yang kondis hutannya sudah terdegradasi dan sudah dimanfaatkan oleh masyarakat. Ada KPH yang sebagian besar arealnya sudah memiliki izin pengelolaan dalam bentuk IUPHHK – HA dan atau IUPHHK – HT. Dan masih banyak kondisi yang berbeda dari setiap KPH. Kondisi-kondisi seperti ini akan menentukan arah pola koordinasi yang berbeda.

Pada sebagian wilayah, KPH kesulitan berkoordinasi dengan pemegang izin IUPHHK-HA atau IUPHHK-HT. Petunjuk teknis model koordinasi seperti ini belum utuh. Begitu pula kewenangan yang dimiliki oleh KPH dalam berkoordinasi dengan pemegang izin juga masih banyak dipertanyakan. Bahkan pada kondisi tertentu, aparat KPH begitu kesulitan untuk melewati areal IUPHHK yang sudah memiliki izin. Dalam teorinya setiap izin yang berada pada wilayah KPH mesti berkoordinasi dengan KPH termasuk dalam perencanaan penurunan emisi. Hanya saja hal ini belum tertulis menjadi kewenangan KPH. Posisi KPH menjadi dilematis.

Aksi Prioritas dan Resiko Emisi

Untuk memudahkan perencanaan penurunan emisi pada areal KPH, perlu diketahui jenis aksi prioritas. Menentukan aksi prioritas sangat penting dilakukan. Apa parameter yang digunakan selama ini dalam menentukan aksi prioritas. Apakah setiap jenis kegiatan sudah diberikan penilaian, dibandingkan dengan kegiatan lain dan hubungannya dengan penurunan emisi ? Apakah setiap kegiatan selalu terkait dengan rencana penurunan emisi ? Tentu saja banyak cara dalam menentukan aksi prioritas tetapi aksi prioritas pada KPH sebaiknya dinilai berdasarkan kaitannya dengan mengatasi masalah pembangunan dan keeratan hubungannya dengan rencana penurunan emisi.

Setelah aksi mitigasi prioritas diketahui, maka yang tidak kalah pentingnya adalah menentukan lokasi prioritas. Prof. Dr. Rizaldi Boer dalam kegiatan Locally Appropriate Mitigation Action in Indonesia (LAMAI) sudah membuat tools untuk proses tagging dalam menentukan aksi prioritas dan lokasi prioritas. Metode ini cukup sederhana, berupa pengetahuan mengenai tingkat resiko emisi dan persentase sisa hutan. Hubungan kedua parameter ini bisa dijadikan acuan dalam menentukan lokasi prioritas.

Pengetahuan model penentuan lokasi prioritas akan membantu KPH dalam merencanakan kegiatan yang tepat dalam kondisi serba terbatas SDM dan anggaran. Pertanyaannya, sudah seberapa banyak KPH yang memiliki dokumen perencanaan pembangunan rendah emisi dengan memasukkan aspek aksi mitigasi prioritas dan resiko emisi ke depan ?

Bagaimanapun kondisinya, yang pasti KPH saat ini menjadi tumpuan besar dalam menurunkan emisi nasional. Angka 60% dari target penurunan emisi untuk sektor kehutanan, bukanlah angka yang rendah. Rela atau tidak, siap atau belum, yang pasti KPH sudah mendapatkan amanah sebagai ujung tombak penurunan emisi nasional. Berdasarkan persentase target penurunan emisi nasional dan lembaga yang berada langsung pada tapak maka keberadaan KPH sangat strategis dalam konteks perencanaan penurunan emisi nasional. Jadi, ….. siapkah KPH ?

***MRi***