KPH Menghadapi Tantangan, Memenuhi Harapan
Oleh : Prof. Dr. Ir. Didik Suharjito, MS
Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) merupakan bentuk desentralisasi pengelolaan hutan. Pengelolaan hutan yang sentralistik, ternyata tidak berhasil menunjukkan pengelolaan hutan yang lestari dan menyejahterakan masyarakat. Degradasi hutan yang terjadi akibat pemanfaatan yang berlebihan, pembalakan liar, konflik atas penguasaan hutan, konversi hutan ke penggunaan lain atau deforestasi tanpa rencana, kemiskinan masyarakat sekitar hutan merupakan fakta-fakta yang menunjukkan kegagalan pembangunan kehutanan.
Pembelajaran dari kenyataan tersebut adalah bahwa pembangunan kehutanan tidak dapat dijalankan secara sentralistik hanya dengan kendali segala macam peraturan perundang-undangan, dan hak/akses terhadap hutan terutama diberikan kepada pelaku usaha skala besar. Pembangunan kehutanan harus dijalankan dengan partisipasi pemerintah daerah, organisasi kelola di tingkat tapak, dan masyarakat. KPH sebagai suatu organisasi pengelola hutan yang berbasis pada profesionalisme kehutanan merupakan cerminan integrasi, kolaborasi, dan sinergi dari pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.
KPH dengan segala tantangan dan keterbatasannya (antara lain SDM, sarana-prasarana, modal, kewenangan) ditutut harus mampu melakukan pengelolaan hutan secara lestari dan menyejahterakan masyarakat sekitarnya. KPH sebagai pelaksana pengelolaan hutan di tingkat tapak memiliki dua sisi, yaitu sebagai pelayan publik dan sebagai pelaku usaha atau bisnis. Seluruh kawasan hutan terbagi dalam KPH.
Di wilayah KPH terdapat beberapa pemegang izin, baik perusahaan swasta atau BUMN (IUPHHK-HA dan IUPHHK-HT), koperasi/kelompok atau perorangan masyarakat setempat (HKm, HTR, Hutan Desa), serta izin usaha lainnya (misal pertambangan batubara).
Di satu sisi, KPH melakukan pelayanan publik, pembinaan, pengawasan atau pengendalian kepada pemegang ijin atau pelaku usaha yang areal hutannya berada dalam wilayah KPH yang bersangkutan. Sedangkan di sisi yang lain, sebagai praktisi bisnis, KPH melakukan pengelolaan dan pemanfaatan kawasan hutan, hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta jasa lingkungan untuk kepentingan komersial maupun non komersial.
Sebagai praktisi bisnis KPH dapat mengembangkan kerja sama atau kemitraan dengan praktisi bisnis lainnya: masyarakat setempat dan BUMN/D/S. Kiprah KPH sebagai praktisi bisnis sudah mulai tampak berhasil. Banyak KPH yang berhasil menggali potensi sumberdaya hutan dan mengembangkan bisnis, misalnya hasil hutan bukan kayu (misal madu hutan, minyak kayu putih, minyak kepayang, minyak kemiri, gaharu, rotan) dan jasa lingkungan (misal wisata air terjun, wisata pendidikan, wisata budaya, air kemasan).
KPH teladan telah mampu mengembangkan investasi dan menggerakkan lapangan kerja; membangun kolaborasi dengan para pihak dalam permodalan, industri, pemasaran, dan riset. Dukungan pemerintah pusat, pemda, lembaga donor, dan para pihak lainnya berkontribusi pada keberhasilan para KPH dalam praktik mengelola hutan dan mengembangkan bisnis tersebut. Perannya sebagai pelaku bisnis tidak boleh melalaikan perannya sebagai pelayan publik bagi pelaku bisnis lainnya.
KPH hingga saat ini belum dapat berperan aktif sebagai pelayan publik, pembina dan pengendali bagi pelaku bisnis kehutanan skala besar yang ada di wilayahnya. Ke depan peran ini harus dapat dijalankan untuk mendorong para BUMN/D/S melakukan praktik pengelolaan hutan secara lestari. Kapasitas KPH untuk mencegah pembalakan liar dan menangani konflik atas areal hutan harus ditingkatkan.
Praktik bisnis KPH dapat dipandang sebagai laboratorium atau demonstration plot bagi praktisi bisnis yang lain baik BUMN/D/S maupun masyarakat tentang bagaimana rimbawan profesional melakukan praktik pengelolaan hutan di tingkat tapak. Prestasinya sebagai praktisi profesional meningkatkan kepercayaan diri dan menguatkan perannya sebagai pelayan publik, pembina, pengawas atau pengendali bagi pemegang ijin atau pelaku bisnis lainnya.
Namun demikian, dukungan pemerintah pusat dan daerah dalam bentuk kebijakan, pendanaan, koordinasi dan sinergitas program antar lembaga pemerintah yang menguatkan peran KPH tidak dapat ditinggalkan. Tanpa dukungan tersebut, peran KPH sebagai ujung tombak untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang memenuhi fungsi ekologis, ekonomi, dan sosial, serta menyejahterakan masyarakat tinggal mimpi. Bagaimana KPH ke depan sebagai organisasi pemerintah berpraktik bisnis secara mandiri dan sekaligus pelayan publik yang kuat masih harapan***
***DAP***
No comment