Tumbuhan kayu putih mampu hidup di area marjinal, termasuk di lahan gambut. Prospek ekonominya cukup tinggi, terutama sebagai bahan baku industri farmasi.
SIAPA tak kenal minyak kayu putih? Minyak atsiri ini berasal dari tumbuhan Melaleuca cajuputi Powell yang merupakan anggota family Myrtaceae (jambu-jambuan). Tumbuhan ini biasa disebut ‘galam’ dalam bahasa Dayak atau ‘gelam’ dalam bahasa Sunda ataupun Jawa.
Secara umum, orang mengenalnya dengan nama ‘kayu putih’.
Habitatnya di dataran rendah, hutan gambut dangkal, serta daerah berawa. Secara alami, tumbuhan kayu putih tersebar di Kepulauan Maluku (P.Ambon, P. Buru, P. Seram), Pulau Timor, Australia bagian utara dan barat daya.
Kayu putih merupakan tumbuhan yang membutuhkan sinar matahari secara penuh pada siang hari. Tumbuhan ini mampu tumbuh pada daerah dengan curah hujan tinggi sampai rendah, serta mampu beradaptasi pada tanah dengan drainase buruk.
Hebatnya, tumbuhan ini tahan terhadap kebakaran, dan toleran terhadap tanah dengan kadar garam rendah hingga tinggi. Dikarenakan kemudahannya tumbuh, maka dikatakan sebagai pohon ‘pioneer’. Pada umumnya spesies ini tumbuh pada ketinggian 5-400 mdpl dengan curah hujan rata-rata 1.300-1.750 mm per tahun.
Bernilai Tinggi
Tinggi pohon kayu putih berkisar 2 – 35 meter. Batangnya terbungkus kulit tebal yang berlapis-lapis, berwarna kekuningan, serta dapat dikupas dengan mudah. Kulit berlapis-lapis ini bersifat kering dan empuk.
Batang kayu putih tidak sulit dipotong dan mudah patah. Banyak digunakan sebagai kayu bakar. Bunganya terdapat di pucuk ranting pohon, berwarna putih dan bentuk buahnya bulat berlubang. Bunga tua berwarna merah tua keabu-abuan.
Daun kayu putih sempit, tipis, dengan letak berseling. Permukaannya rata, bertangkai pendek, dan kuat, dengan lebar 0,5 – 1,5 inchi, dan panjang 2- 4 inchi.
Bentuk daunnya berbeda-beda walaupun dalam satu jenis. Ada tiga macam bentuk daun yaitu lonjong, lanset, dan oval. Dilihat dari warna kuncup daunnya, kayu putih mempunyai variasi warna merah, putih, dan kuning.
Kayu Putih merupakan salah-satu jenis tumbuhan penghasil produk Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang bernilai tinggi. Prospek ekonominya sangat bagus, khususnya dibidang industri obat-obatan dan kosmetik.
Kebutuhan minyak kayu putih di Indonesia mencapai angka 3500 ton per tahun, namun baru dapat dipenuhi oleh industri dalam negeri kurang lebih 11,4% per tahun. Sehingga saat ini kayu putih masih terus dibudidayakan agar kebutuhan industri dapat terpenuhi.
Saat ini kayu putih telah dikembangkan di lahan gambut, yang merupakan salah-satu habitatnya.
Gambut memiliki bahan organik yang tinggi, namun pH rendah, dan miskin kandungan unsur hara. Hal ini disebabkan proses dekomposisi di gambut yang berlangsung lambat dan belum sempurna. Namun demikian, tumbuhan kayu putih mampu hidup di area marjinal termasuk di lahan gambut. Nurohman et al (2019) melaporkan tumbuhan kayu putih di lahan gambut memiliki daya hidup 90,63%.
Penghasil Minyak Atsiri
Minyak atsiri kayu putih diperoleh dari bagian daunnya. Pada daun kayu putih terdapat kelenjar minyak yang tersebar secara merata. Apabila diremas, daun mengeluarkan aroma khas minyak kayu putih. Bisnis minyak atsiri kayu putih menarik untuk dikembangkan.
Minyak atsiri tersebut dihasilkan melalui distilasi atau penyulingan. Ada tiga metode distilasi yaitu: distilasi air (rebus), distilasi uap-air (kukus), dan distilasi uap.
Rendemen minyak atsiri kayu putih dipengaruhi oleh beberapa factor, antara lain; jenis bahan baku yang digunakan, lingkungan tempat tumbuh, umur daun, waktu panen, proses penanganan bahan baku sebelum didistilasi, peralatan dan metode distilasi.
Panen daun kayu putih sebaiknya dilakukan pada pagi hari, selanjutnya dikeringanginkan di tempat teduh atau di dalam ruangan sebelum dilakukan proses distilasi untuk mengurangi kadar air. Pada umumnya rendemen minyak kayu putih sekitar 0,8-2% (Rusli, 2010). Metode distilasi uap-air (kukus) dapat menghasilkan rendemen minyak kayu putih tertinggi dibandingkan dua metode lainnya.
Komponen kimia dominan pada minyak kayu putih adalah 1,8-sineol, α-pinena, benzaldehida, limonena dan seskuiterpena.
1,8-sineol merupakan komponen tertinggi pada minyak kayu putih, dengan kelimpahan sebesar 50-65%. Komponen ini dijadikan sebagai indikator penentu mutu minyak kayu putih. Jika kandungan 1,8-sineol semakin tinggi, maka mutu minyak kayu putih semakin baik (Khabibi, 2011).
Menurut SNI 39542014 minyak kayu putih kelas mutu super memiliki kadar 1,8-sineol >60%, mutu utama 55-60%, dan mutu pertama 5-<55%.
Minyak kayu putih memiliki banyak manfaat yaitu sebagai antibakteri, antiinflamasi, antimikroba, antivirus, antikanker, antioksidan, antispasmodik, dan analgesik. Saat ini produk kayu putih tersedia tidak hanya dalam bentuk minyak kayu putih namun juga permen kayu putih, sehingga lebih menarik minat pembeli dan mudah dalam penggunaanya.
Siti Sundari dan Endang Kintamani, Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
***Riz***