Sebuah Harapan Dari Aplikasi Simulasi MUK

Suryanto

Sejumlah peserta FGD pun sepakat, bahwa peluang MUK cukup terbuka dan berprospek cerah ke depannya.

IRONIS. Indonesia negara agraris, namun  rasio luas lahan pertanian hanya 0,19 ha/kapita. Negara ini pun mengimpor 6 dari 9 komoditas pangan. Lalu ketahanan pangan negeri agraris inipun tidak mbegitu menggembirakan.

Tak hanya itu, ditengah luasnya hutan Indonesia,  masih terjadi inefisiensi dalam tata kelola, dimana sebagian besar masih beorientasi kayu. Kontribusi sektor kehutanan hanya 0,6% terhadap PDB Nasional.

Multi Usaha Kehutanan (MUK) adalah sebuah solusi di tengah berbagai masalah tersebut. Namun  sejauh ini, menurut Suryanto, kompleksitas dan risiko yang tinggi dalam implementasinya masih membayangi. Hal itu dipaparkan oleh seorang peneliti, Suryanto, dari IPB University dalam kegiatan FGD yang digelar IPB University di Bogor kemarin (Senin, 20/11).

“Diperlukan alat bantu dalam pengambilan keputusan yang sesuai dengan kondisi biofisik, daya dukung finansial dan lainnya, serta memenuhi prinsip keberlanjutan,” jelasnya.

Suryanto pun menambahkan, bahwa harus ada dan jelas terkait strategi implemantasi Multi Usaha Kehutanan (MUK) di Indonesia.

Aplikasi Simulasi MUK

Untuk pengembangan MUK, Suryanto telah mencoba pengaplikasian berbagai model MUK. Dengan simulasi kombinasi aneka usaha di sebuah kawasan kehutanan, akan dapat diketahui sejauh mana hasil atau potensi nilai ekonomi yang bisa diraih.

Usai pemaparan tentang aplikasi (sofware) simulasi model MUK tersebut, sejumlah peserta diskusi memberikan tanggapan. Menurut salah-seorang peserta, Harityas Wiyoga, mendukung teraplikasinya aneka model MUK di Indonesia.

Dikatakannya, seperti kebijakan di Amerika misalnya, USDA menjalankan prinsip multi use hutan dan lahan (MUK versi Amerika). Dikatakannya, bahwa hutan di Amerika dimanfaatkan sebagai tempat pelestarian satwa, rekreasi, pengembangan mineral dan energi, cadangan karbon dan lain sebagainya.

Beberapa pihak lainnya yang hadir dalam FGD di Hotel Arch-Pajajaran Bogor itu pun memberikan berbagai tanggapan.

Masih Banyak Masalah

“Kata kunci MUK ialah meningkatkan nilai atau optimasi ekonomi kawasan hutan,” jelas Suryanto.

Seseorang dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Tito, berpendapat, bagaimana penerapan MUK secara kafah. “Untuk itu perlu berbagai terobosan baru terkait hal ini, misalnya kajian mengenai lanskap satu kawasan hutan. Dimana kopi ditanam, hamparan petai  atau jengkol, dan bahkan penempatan kolam ikan dan sebagainya,” ungkapnya.
Sejumlah peserta FGD pun sepakat, bahwa peluang MUK cukup terbuka dan berprospek cerah ke depannya.

Siverius Oscar Unggul, dari KADIN misalnya. Bahkan mengakui bahwa pihak KADIN sudah memetakan market dunia;   apa yang dibutukan pasar yang terkait dengan MUK.

“Kita melihat peluang yang luar biasa dalam hal MUK. Untuk itu kita akan mengajak sejumlah brand besar untuk membmgun sebuah jaringan kerjasama dalam kegiatan pengembangan MUK,” jelasnya.

Sementara itu, Purwadi Soeprihanto, Sekjen APHI, memberikan pendapat lain. Menurutnya ada keselahan yang besar pasca Omnibuslaw. Dikatakannya, banyak pengusaha melakukan ujicoba MUK, tanpa melihat pasar. Alhasil, gagal.

Para peserta FGD tampak antusias

Jadi, sebenarnya bukan tidak tertarik, tapi tidak tahu strateginya. “Nah dengan sudah ditemukannya aplikasi simulasi oleh  Suryanto, maka banyak kalangan pengusaha kehutanan tampaknya mulai tertarik,” ungkap Purwadi.

Lain halnya dengan Perhutani. Dalam kesempatan FGD tersebut, seperti disampaikan M. Farid Januardi, bahwa pihaknya (Perhutani) menilai, perlu dihadirkan hal lain yang lebih penting dari aplikasi simulasi jenis tumbuhan atau kegiatan usaha saja.

Lebih jauh dari itu, BUMN yang bergerak di bidang usaha kehutanan ini mengajak berbagai pihak, terutama peneliti, untuk menciptakan sebuah ramuan MUK bersama masyarakat (kemitraan).
Dia tidak menampik, bahwa memang, MUK (dalam hal komoditas) terbukti sangat menguntungkan. “Nilainya berpuluh kali lipat dibanding tanaman hutan. Tapi bukan kami (Perhutani) yang menikmati hasil itu,” ungkapnya.


MUK Harus Berkembang

Periset BRIN, Dr. Sulistya Ekawati, yang ikut serta dalam FGD itu, menyampaikan bahwa memang diperlukan adanya rancangan MUK dalam perspektif kemitraan dengan masyarakat.

Pasalnya, Dia menilai, kemitraan kehutanan memiliki progres yang sangat lambat dibanding skema kehutanan lainnya.

“Kenyataan itu seperti didiamkan saja. Dampaknya salah-satunya ialah kasus tenurial,” ungkapnya. Ekawati pun menilai, tidak adanya perubahan di kemitraan tersebut karena pemerintah sebagai regulator seperti tak menghiraukan hal tersebut. Di lain pihak masyarakat sulit melaporkan permasalahan tersebut ke pemerintah.

***Riz***

Redaksi Green Indonesia