Paku Ketak: Si Liar Penghasil Cuan

Oleh: Wuri Handayani*), Dewi Maharani**), Tri Sulistyati Widyaningsih***)

TAK kenal maka tak sayang. Begitulah tanaman ketak. Masih banyak yang belum mengenalnya sebagai tanaman yang dapat diolah dan dibudidayakan. Bahkan seringkali ketak dianggap sebagai gulma yang mengganggu tanaman pokok, sehingga dibabat oleh petani.

Foto; Koleksi pribadi

Padahal di beberapa daerah, seperti di Lombok, Bali, Jawa Barat (Pangandaran), ketak ini sudah diolah menjadi produk yang bernilai ekonomi tinggi dan bahkan telah diekspor ke berbagai negara baik yang terdapat di benua Asia, Amerika, maupun Eropa.

Apa Itu Ketak?

Ketak termasuk jenis tanaman paku dengan nama ilmiah Lygodium Circinnatum (Burm.f.) Sw. Ketak memiliki nama yang berbeda di beberapa daerah: di Sunda disebut dengan paku Hata, di Jawa sebagai pakis Ata, di Bali paku Ata, di Lombok paku Ketak, di Maluku Kapai Gorita, di Minahasa Masem, di Makassar raga-raga dan di Bugis disebut Caweng (Hartutiningsih, dkk., 2004).

Paku ketak memiliki daun menjari berjumlah 2 – 5 dengan tepi bergerigi. Penambahan populasi ketak di alam terjadi melalui spora yang terdapat pada tepi daun fertil.

Batangnya serupa sulur berdiameter 2-5 mm, yang tumbuh merambat dan dapat mencapai panjang hingga 10 m (Hartutiningsih dkk., 2004)). Sulur ini merambat di atas perdu, memanjat dengan cara melilit pada tanaman lain, atau menggapai cabang-cabang pohon disekitarnya untuk mencari cahaya.

Ketak dapat tumbuh alami dari dataran rendah hingga ketinggian 1500 m dpl, dan dilaporkan pertumbuhan terbaik berada di ketinggian 400 m dpl. Ketak di alam dapat ditemukan pada hutan sekunder, tanah tegalan atau daerah yang lembab.

Tanaman ketak hasil cabutan sesudah aklimatisasi (sumber: Kuswantoro dkk, 2017)

Ketak dapat tumbuh subur pada tanah lempung berpasir dengan pH bervariasi 5,98-6,63 (agak masam–netral), seperti di Hutan Lindung Pusuk, Lombok Barat yang merupakan habitat alaminya. Disini tidak dijumpai jenis tanaman yang spesifik sebagai rambatan, atau dengan kata lain ketak tidak memilih jenis tertentu sebagai rambatan, serta lebih banyak dijumpai pada tingkat kepadatan vegetasi sedang (naungan tidak terlalu rapat dan tidak terlalu terbuka).

Menghasilkan Cuan?

Daun ketak memiliki manfaat sebagai obat luka atau penetralisir gigitan serangga. Namun bukan itu yang menjadikan ketak ini mampu menghasilkan cuan.

Tanaman ketak muda (bawah) dan ketak tua yang ditandai daun fertile berspora matang (atas) (foto: koleksi pribadi)

Batang ketak lah yang setelah diberi sentuhan kreatif mampu bermain hingga ke mancanegara. Sifat batang yang kuat tapi lentur, menjadikan batang ketak mudah dibuat menjadi kerajinan anyaman. Batang ketak dapat diserut menjadi beberapa lonjoran (benang) yang berukuran sangat kecil dan tipis  (panjang 1 – 3 m, lebar 1- 3 mm, ketebalan ≤ 1 mm ), terutama batang yang masih berwarna hijau, sehingga dihasilkan anyaman yang lebih halus dan cantik. Sedangkan batang yang tua, yang berwarna coklat, biasanya digunakan sebagai tulang atau kerangka anyaman.

Proses pengolahan bahan baku melalui beberapa tahap dan memakan waktu beberapa hari. Yang cukup menarik adalah tahap pengeringan yang dapat menghasilkan kerajinan terlihat semakin cantik dengan warna yang eksotis (lebih gelap dari aslinya), selain hal ini juga berfungsi meningkatkan keawetan produk dari serangan jamur.

Batang ketak asal Pangandaran (Jabar)dengan pangkal berwarna hitam. Kiri; Telah diserut, dan kemudian diikat (kanan). (foto: koleksi pribadi)

Pengeringan yang biasa dilakukan pengrajin adalah dengan cara menjemur di bawah sinar matahari langsung selama beberapa hari, atau melalui pengovenan yang tentu saja akan menambah biaya pengolahan. Pengovenan terutama dilakukan untuk produk anyaman pesanan konsumen dari Jepang.

Pewarnaan juga dapat dilakukan sesuai pesanan melalui penambahan pewarna pakaian dengan cara merebus produk anyaman selama 2-3 jam, kemudian membilas dan menjemurnya kembali.

Sepintas produk-produk kerajinan anyaman ketak menyerupai kerajinan berbahan baku rotan.  Namun batang ketak memiliki tekstur yang lebih halus, lentur dan kuat, dibandingkan rotan, sehingga produk kerajinan yang dihasilkan memiliki nilai unggul dan harga jual yang lebih tinggi (Rahayu, dkk. 2020).

Terkadang satu produk anyaman merupakan perpaduan berbahan ketak dan rotan. Rotan digunakan sebagai kerangka dan ketak sebagai anyamannya yang menutup kerangka tersebut, hal ini dimaksudkan agar hasil kerajinan menjadi kokoh atau tidak berubah bentuk.

Pulau Lombok adalah sentra produksi kerajinan anyaman ketak yang sudah terkenal. Desa-desa sentra penghasil kerajinan anyaman ketak, antara lain Desa Karang Bayan dan Batu Mekar, Kecamatan Lingsar, Kabupaten Lombok Barat, serta Desa Beleka,  Kecamatan Praya Timur, Kabupaten Lombok Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Awalnya produk yang dihasilkan sebatas untuk peralatan rumah tangga dengan model dan desain yang sangat sederhana. Seiring waktu dan campur tangan pemerintah, produk-produk berkembang menjadi kerajinan anyaman yang bernilai estetik untuk perabot rumah tangga atau home decoration, seperti piring dan alas piring, mangkuk permen, tatakan gelas, tempat tisu, mangkuk buah, guci, tempat payung, vas bunga, tempat pensil, hiasan dinding, dan sebagainya.

Berbagai tas anyaman ketak asal Lombok (foto: koleksi pribadi)

Selain itu juga terdapat produk berupa tas dengan berbagai bentuk, ukuran dan kegunaan, mulai dari tas untuk pelengkap fashion hingga tas belanja dan tas piknik. Produk-produk kerajinan anyaman ketak ini telah merambah hingga pasar ekspor antara lain Jerman, Inggris, Perancis, Jepang.

Harga produk anyaman ketak bervariasi yang ditentukan oleh ukuran, bentuk, desain dan tingkat kerumitan. Berselancar di e-commerce yang ada, tas dengan beberapa model dan motif, dibandrol dengan harga ratusan ribu hingga kurang dari sejuta.

Bahkan ada yang lebih dari sejuta. Harga tatakan piring oval berukuran 40 cm x 30 cm, dijual dengan harga @Rp 85.000,-; tatakan gelas bulat berdiamater 10 cm @Rp 25.000,-; tatakan gelas kotak berukuran 10 cm @ Rp 30.000,-; kotak tisu ukuran 26,5 cm x14 cm x8 cm @Rp 250.000,-.

Sumber Bahan Baku

Hingga sekarang bahan baku anyaman ketak masih diperoleh dari alam yang tumbuh liar di hutan-hutan sekunder. Perburuan bahan baku dilakukan oleh para pengumpul dengan merambah hutan yang tersebar di beberapa tempat dan dilakukan secara periodik 6 bulan sekali, dengan pertimbangan sulur ketak yang dipanen telah tumbuh besar dan panjang kembali.

Ketak di hutan lindung Pusuk, Lombok Barat, yang panjang sulurnya mencapai lebih dari 4 meter (foto: koleksi pribadi)

Frekuensi pemanenan di alam yang terus meningkat dan tidak seimbang dengan durasi pertumbuhan ketak, menyebabkan bahan baku ketak di alam semakin berkurang. Kelangkaan bahan baku juga terjadi akibat cara panen yang kadangkala dilakukan dengan mencabut untuk mendapatkan pangkal batang yang berwarna hitam, sebagai sentuhan motif berwarna alami pada anyaman.

Di tambah lagi di hutan juga terdapat musuh alami tanaman ketak, seperti monyet yang menyukai pucuk sulur yang masih muda sebagai makanannya. Bahkan sebagian masyarakat yang belum mengenal ketak, akan membabat ketak yang dianggap gulma dan mengganggu kegiatannya dalam mencari ranting dan dahan yang gugur untuk kayu bakar di dalam hutan.

Akibat kelangkaan yang mulai dirasakan di Lombok dan Bali, suplai bahan baku ketak  telah didatangkan dari luar daerah, seperti Sumbawa, Kalimantan, Jawa Barat (Pangandaran). Menurut beberapa pengrajin ketak asal Lombok, bahan baku ketak yang terbaik adalah yang berasal dari Lombok.  Pasar penjualan bahan baku ketak yang cukup besar terdapat di Narmada (Lombok) dan di Padangbai (Bali).

Peluang Budidaya

Meskipun beberapa hasil penelitian telah diperoleh, namun penyediaan bahan baku ketak secara budidaya belum dilakukan hingga saat ini. Perbanyakan ketak dapat dilakukan secara generatif (spora) atau vegetatif (cabutan).

Perbanyakan dari spora dilakukan dengan menggunakan beberapa jenis media, seperti lumpur sawah yang telah disterilisasi (dikukus), dan disemaikan dalam ruang tertutup tembus cahaya dengan kelembapan yang sesuai, agar terhindar dari serangan jamur dan kekeringan. Perbanyakan secara generatif juga dapat dilakukan melalui kultur jaringan.

Sedangkan perbanyakan secara cabutan dilakukan dengan cara membelah rumpun hingga memotong rimpang menjadi beberapa bagian, dan diaklimatisasi agar dapat beradaptasi pada lingkungan yang baru. Media tanam yang digunakan dapat ditambahkan pupuk kandang, dengan perbandingan tanah dan pupuk sebesar 3:1.

Kelebihan perbanyakan dengan cabutan lebih mudah dikerjakan dan lebih cepat tumbuh, sedangkan perbanyakan dengan spora akan tumbuh lebih lama tetapi dapat dihasilkan populasi yang lebih banyak.

Secara umum pertumbuhan ketak hingga menghasilkan batang yang siap dipanen memakan waktu cukup lama, sehingga menjadi tantangan dalam melakukan budidaya ketak untuk penyediaan bahan baku. Untuk mendapatkan sulur yang berkualitas, batang ketak tidak hanya berdiameter besar (5 mm) tetapi juga lurus dengan panjang minimal 1 m.

Perbanyakan ketak dengan spora. Umur sekitar 1 bulan (kiri), dan 6 bulan (kanan) (foto: koleksi pribadi)

Sementara sulur ketak yang cara hidupnya seringkali melilit pada tanaman lain, akan menghasilkan batang yang tidak lurus jika dibiarkan tumbuh begitu saja. Budidaya juga belum dilakukan oleh masyarakat, karena ketak dapat mengganggu pertumbuhan tanaman budidaya lainnya seperti kopi dan durian yang mereka tanam.

Untuk menjaga kelangsungan produksi kerajinan anyaman ketak, sudah waktunya perlu dipikirkan strategi yang tepat. Perlukah melakukan budidaya ketak? Atau perlukah adanya pengaturan pemungutan ketak di alam?

*)PusatRiset Ekologi dan Etnobiologi BRIN,**)PusatRiset Konservasi Tumbuhan, Kebun Raya dan Kehutanan BRIN,***)Pusat Riset Kependudukan BRIN.    

Redaksi Green Indonesia