Quo Vadis Politik Biodiversitas Kita?

Oleh: Latifa Nuraini*)

Penulis: Latifa Nuraini

SELAMAT datang 2024. Tahun ini disebut sebagai ‘tahun politik Indonesia’, dan menjadi momentum penting bagi kita untuk membangun diplomasi nasional dan internasional,  khususnya dalam rangka menyelamatkan biodiversitas negeri ini  yang terancam punah.

Sebagai negara kepulauan terbesar ke 1 di dunia, Indonesia menjadi perhatian penting untuk menjadikan negara Indonesia sebagai taman sarinya dunia. Dengan iklim tropisnya menjadikan negara Indonesia memiliki kekayaan alam yang sangat beragam mulai dari keanekaragaman hewan sampai dengan tumbuhan.

Dalam rangka mengawali tahun politik ini, posisi Indonesia memainkan peran penting untuk menjadi pelopor dan pioneer dalam mendukung konservasi biodieversitas Indonesia.  

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh The Swiftest 2022 Indonesia termasuk negara yang memiliki kekayaan biodiversitas nomor 2 tertinggi di dunia setelah Brazil. Ironisnya realitas ini tidak pernah menjadi pengarus utamaan dalam upaya untuk membahas dan merumuskan platform arah dan orientasi kebijakan politik biodiversitas di Indonesia.

Isu ini justru terkubur dengan hiruk pikuknya berita politik, capres, dan kasus korupsi yang melibatkan pejabat publik di Indonesia dengan ratusan dan triulan anggaran negara dikorupsi. Isu politik dan pemilu, dan korupsi menjadi lebih menarik perhatian publik daripada bagaimana kita menyelamatkan bumi dan alam dari kepunahan makhluk hidup.

Antara Selebrasi dan Komitmen

Upaya untuk membangun kesadaran masyarakat dan manusia dalam menjaga alam dan keanekaragaman hayati tidak hanya dalam bingkai pesta kembang api, atau selebrasi dengan mendatangkan pejabat dan public figure.  Tetapi orientasi yang ditekankan pada komitmen dan tekad yang kuat untuk mengutamakan keselamatan alam semesta dari kehancuran dan kepunahan spesies makhluk hidup lainnya.

Proses penyadaran yang dilakukan selama ini masih sebatas dalam bentuk selebrasi yang cenderung lebih untuk memuaskan aktivitas manusia tetapi jarang untuk melakukan upaya pelestarian dan perawatan makhluk hidup lainnya, seperti flora dan fauna.

Untuk itu, tahun politik ini seyogyanya dapat menjadi momentum penting dan komitmen bersama dari pemangku kebijakan dan masyarakat untuk merawat dan mencintai biodiversitas Indonesia untuk masa depan peradaban umat manusia dan menjaga alam Indonesia agar tetap asri.

Rantai yang Terputus

Tantangan masa depan umat manusia tidak hanya pada tata kelola politik, tetapi juga tata kelola alam yang harus dijaga, pemanasan global, perubahan iklim, krisis pangan, dan krisis sumber daya alam untuk kebutuhan manusia akan menjadi tantangan yang serius terhadap kehidupan umat manusia.

Apa artinya pesta demokrasi, eforia pergantian kepemimpinan, dan hiruk pikuknya kegiatan manusia yang justru banyak memproduksi sampah dan kerusakan lingkungan seperti pembangunan yang keblabasan, urbanisasi yang tidak dapat terkendali telah membawa efek terhadap menurunnya kualitas hidup manusia.

Sadar atau tidak, ada rantai yang terputus dalam proses pergantian estafet kepemimpinan, relasi pemerintah pusat dan daerah, dan komitmen terhadap pelestarian biodiversitas. Begitu pula koordinasi yang tidak berkelanjutan antara pemangku kebijakan, swasta, dan masyarakat, serta institusi pendidikan. Berbagai hal tersebut, akan membawa disorientasi tujuan terkait masa depan manusia.

Kita tidak hanya tergantung pada demokrasi semata, tetapi juga pada keberadaan biodiversitas di Indonesia. Rantai yang terputus, seperti disebutkan tadi, hendaknya menjadi kesadaran kolektif untuk merajut kembali arah dan tujuan dalam kehidupan membangun masa depan bumi yang semakin rapuh dan rusak oleh ulah manusia yang kurang bertanggung jawab.

Kesadaran politik biodiversitas setidaknya dapat mengingatkan kita sebagai umat manusia untuk senantiasa menjaga dan melestarikan alam semesta. Untuk itu, politik biodiversitas untuk diarahkan pada upaya kesadaran bersama dan komitmen bersama merawat dan menjaga bumi dari ancaman kehancuran suatu peradaban bangsa. Semoga bisa! (Yogyakarta, 05 Januari 2024)

*)Pusat Riset Konservasi Tumbuhan, Kebun Raya dan Kehutanan, BRIN

Redaksi Green Indonesia