“Perlu Didukung, PLTA itu Zero Emisi”

Semua pihak perlu menggunakan hati nurani. Jangan asal kritik, tapi lihat kenyataan apa yang sebenarnya terjadi di lapangan. Kalau PLTA Batang Toru terus dihalangi, maka dikhawatirkan justru hanya akan kontraproduktif

Batang Toru. Burung-burung liar masih ‘bernyanyi’. Begitu pula orangutan, harimau Sumatera serta keluarga satwa lainnya, tampaknya masih betah ditengah hijaunya belantara di salah-satu kawasan Tapanuli Selatan, Sumatera Utara itu.

Batang Toru adalah sungai, dimana air dengan debit besar mengalir deras membelah rimba raya. Entah sejak ratusan bahkan ribuan tahun lalu, hingga suatu ketika energi yang dikandungnya memberi manfaat besar bagi jutaan ummat, khususnya di Sumatera Utara.

Tak hanya itu, dengan berkiprahnya Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru, maka kelestarian hutan beserta ekosistem-nya jelas akan terpelihara. “Itu harapan kita,” ucap Prof. Dr. Ir. Rizaldi Boer, Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB). Sebab jika tidak, tentunya air sebagai sumber tenaga akan menemukan limitnya. Lantas secara ekonomi bisnis, pengelolaan PLTA sia-sia. Untuk itu, dapat dipastikan, bahwa manajemen perusahaan PLTA Batang Toru sangat peduli dengan kelestarian alam sekitar proyek tersebut.

Menurut Rizaldi, saat ditemui GI di ruang kerjanya Selasa (16/07/19), bahwa terkait upaya penurunan emisi karbon, dimana Indonesia telah menandatangani kesepakatan internasional, maka pembangunan PLTA di tanah air perlu didukung oleh semua pihak. “PLTA itu zero emisi. Disamping itu jelas menuntut lestarinya hutan dan ekosistem di kawasan tersebut. Jadi ini sangat baik bagi pengembangan energi terbarukan  dan masa depan Indonesia,” paparnya.

Lebih jauh Kepala Pusat Center for Climate Risk and OpportunityManagement in Southeast Asia and Pacific  (CCROM-SEAP) yang juga pakar perubahan iklim tingkat dunia itu menjelaskan, meskipun sekilas kelihatan mudah, namun biaya atau investasi pengembangan PLTA itu tidak bisa dibilang kecil. Bahkan menurut hitung-hitungan Rizaldi, secara bisnis, sangat minim pihak swasta yang berminat.

“Jika dilihat dari harga jual listrik di negara kita, tampaknya tidak ekonomis bagi pihak swasta. Maka dari itu, untuk mendukungnya PLTA, disamping perolehan nilai dari penjualan listrik, sebaiknya mendapatkan tambahan dari penjualan karbon,” tutur Rizaldi.

Dijelaskannya, tinggal dilakukan hitung-hitungan seberapa besar nilai yang dihasilkan dari penurunan emisi CO2 oleh pembangkit listrik tenaga air, lalu dikalikan dengan harga karbon yang berlaku. Pertanyaannya, apakah PLTA di Indonesia sudah mendapatkan nilai dari penjualan karbon tersebut?

Menurut Rizaldi Boer, hal itu perlu mendapatkan perhatian. “Bahkan kita perlu menerapkan regulasi Domestic Carbon Trading, dimana perusahaan besar yang melewati ketentuan ambang batas polusi (CO2) perlu mengeluarkan biaya bagi perusahaan lain yang mampu menurunkan emisi karbon. Dikatakannya bahwa regulasi itu sudah diwacanakan di Indonesia, namun belum terlaksana.

Harus Didukung

Lebih jauh menurutnya, apapun kenyataannya, yang jelas upaya pengembangan energi terbarukan (renewable energy) perlu mendapatkan dukungan demi terciptanya ekonomi yang ramah lingkungan. “Dengan pengembangan energi terbarukan, seperti PLTA Batang Toru misalnya, maka selain nilai ekonomi juga harus dilihat dari sisi penyelamatan bumi, yakni kontribusinya dalam penurunan emisi serta konservasi,” tegasnya.

Menanggapi soal banyaknya silang pendapat alias pandangan negatif yang dilontarkan sejumlah LSM, Guru Besar IPB yang juga pakar perubahan iklim berdarah Minangkabau itu menyatakan, bahwa semua pihak perlu menggunakan hati nurani. “Harus kita lihat kenyataan apa yang sebenarnya terjadi di lapangan, atau kalau perlu berdasarkan kajian ilmiah,” ungkapnya.

“Jangan hanya melihat dari satu sisi saja. Kalau PLTA Batang Toru terus dihalangi, maka menurut saya justru akan bisa kontraproduktif,” tambah Rizaldi.

***Riz***

No comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *