Perdagangan karbon menjadi isu yang terus menghangat akhir-akhir ini seiring makin kuatnya deraan perubahan iklim. Banyak pihak melihat peluang ekonomi, namun ada yang ‘berpendapat lain’.
ENTAH serius apa ‘bercanda’. Di tengah maraknya isu Nilai Ekonomi Karbon (NEK), banyak pihak yang bersemangat mendamba, namun segelintir pihak ada yang menyatakan tak suka. Menurut mereka, pemerintah melakukan perdagangan krisis, sebab hakikat dari perdagangan karbon adalah pemberian izin oleh negara kepada korporasi maupun negara-negara industri untuk terus melepas emisi dengan melakukan penyeimbangan karbon atau carbon offset.
Seperti pemberitaan yang sempat ramai beberapa bulan lalu, sebuah perhimpunan atau jaringan masyarakat menyerukan ketidaksukaan itu. Jaringan ini terdiri dari WALHI, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Greenpeace, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), PIKUL, PUSAKA, Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), dan School of Democratic Economics (SDE).
Dilansir dari sejumlah mediamassa, seruan atau bahkan pernyataan boikot tersebut dilancarkan dalam menanggapi peresmian Bursa Karbon Indonesia September lalu.Jaringan perhimpunan masyarakat sipil tersebut menganggap, perdagangan karbon merupakan solusi sesat menangani iklim.
Mereka menyerukan boikot perdagangan karbon melalui surat yang berjudul “Boikot Perdagangan Karbon, Hentikan Pelepasan dan Pembongkaran Emisi, dan Percepat Pengakuan Wilayah Adat serta Wilayah Kelola Rakyat!”.
Sudah Biasa
“Biasalah, pada setiap kebijakan pasti ada saja pihak-pihak yang tidak setuju,” ucap Dr. I Wayan S Dharmawan, Peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Ditemui GI di Bogor, Jumat (29/12), lebih jauh Wayan menjelaskan, bahwa nanti pada akhirnya, Indonesia juga akan dan harus zero emisi, sesuai yang sudah ditargetkan pemerintah Indonesia.
Jadi boleh-boleh saja beberapa pihak menyatakan ketidakselarasannya dengan kebijakan pemerintah. Mungkin karena latar belakang dan maksud tertentu.
“Biarkan sajalah, perdagangan karbon terus saja berkembang, sepanjang bertujuan untuk sesuatu hal yang positif,” tambahnya.
Senada dengan Wayan, praktisi penghitungan karbon – yang juga Direktur Eksekutif PT. Cedar Karyatama Lestarindo (CKL), Muhammad Ridwan, menyampaikan bahwa ‘suara-suara miring’ seiring maraknya pembicaraan terkait perubahan iklim itu, sudah biasa.
“Adanya para pihak yang menyampaikan aspirasi menolak bursa karbon dan sebagainya, tidak akan mampu menghentikan derasnya trend perkembangan ekonomi karbon, baik di tingkat nasional maupun internasional,’ jelas Ridwan.
***Riz***