MENCEGAH SESAT PIKIR KEHUTANAN PASCAKAYU

Oleh :

Agung Nugraha

Direktur Eksekutif Wana Aksara Institute

Konsep kehutanan pascakayu yang digagas dan diusung Presiden Jokowi sungguh patut memperoleh apresiasi. Pun hal yang sama layak diberikan kepada Menteri LHK Dr. Ir. Siti Nurbaya MSc. Sekalipun bukan seorang berlatar belakang –pendidikan- kehutanan, namun mampu memahami apa yang digagas presiden yang rimbawan.

Kehutanan Indonesia memasuki babak baru. Adalah ideologi kehutanan pascakayu yang digagas Presiden Jokowi. Diusung dan  diaktualisasikan sejak periode pertama kepemimpinannya tahun 2014 lalu. Dioperasionalkan Menteri  Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Dr. Siti Nurbaya, MSc. Ya, menteri yang memiliki rekam jejak panjang sebagai politisi dan birokrat itu, sangat memahami kontekstualisasi kehutanan pascakayu. Lebih dari itu, Dr. Ir. Siti Nurbaya MSc., -yang bukan seorang berlatar belakang disiplin ilmu kehutanan- justru kini sangat fasih menjelaskan apa dan bagaimana ideologi kehutanan pascakayu. Bukan hanya menjelma menjadi jargon politis semata. Namun benar-benar diimplementasikan secara riil dan konkrit di lapangan. Mewujud secara aktual dalam pembangunan kehutanan dan lingkungan hidup sejak tujuh tahun terakhir.

Seperti biasa, aktualisasi konsep politik kehutanan baru cenderung menimbulkan polemik. Pro dan kontra.  Ada kelompok yang mendukung. Namun ada pula kelompok yang “wait and see”. Bagi yang gagal paham, dipastikan menolak. Apapun pemahaman dan tanggapan para pihak, menjadi penting untuk menjelaskan makna kehutanan pascakayu. Agar tidak menimbulkan salah tafsir. Yang dikhawatirkan berujung pada sesat pikir.

Rasionalitas Kehutanan Pascakayu

Dunia berkembang pesat. Masyarakat dan negara bangsa di berbagai belahan lima benua terus berubah. Baik dinamika yang bersifat evolutif maupun perubahan radikal revolutif.  Perubahan-perubahan di bidang lingkungan dimaksud, merupakan bagian dari perubahan peradaban kehutanan. Sangat mendasar. Bukan hanya bersifat nomenklatur. Atau sekedar menyentuh kulit luar dan permukaan yang masih sangat prematur. Lebih dari itu, telah pula merubah secara nyata sistem dan nilai-nilai yang menjadi kultur.

Kehutanan pascakayu yang kini menjadi ideologi kehutanan  baru, mutlak mewujud dalam langkah kerja keseharian. Dalam evolusi  kebijakan. Dalam operasional dan implementasi kerja. Seluruhnya melibatkan tidak hanya jajaran pemerintah, tetapi juga semua elemen terkait aktivitas bidang kehutanan. Pada akhirnya akan sampai pada suatu  revolusi mental. Sesuatu yang tidak mungkin dapat menghindar lagi. Apalagi diabaikan.

Sejarah  membuktikan pembangunan kehutanan era kayu telah berperan besar bagi terwujudnya industrialisasi kehutanan. Berhasil membangun pusat-pusat pertumbuhan ekonomi. Mewujudkan integrasi sosial kultural komunitas. Mengangkat harkat dan martabat Indonesia di kancah percaturan politik ekonomi kehutanan dunia. Menjadikan Indonesia  produsen komoditas hasil hutan kayu paling disegani di seantero jagat.

Namun kehutanan era kayu juga melahirkan ekses sosial yang tak terhindarkan. Beragam persoalan.  Antara ain marginalisasi masyarakat desa hutan, hilangnya jati diri dan identitas kultural masyarakat adat, maraknya konflik lahan, dan ancaman kelaparan. Hingga meningkatnya kondisi kemiskinan akut masyarakat sekitar hutan. Demikian pula dampak kerusakan lingkungan. Indonesia menempati posisi sebagai tertuduh. Menjadi penyebab meningkatnya gejala pemanasan global dan perubahan iklim. Tak lain adalah deforestasi dan kebakaran hutan sebagai maskot persoalan yang menjadi perhatian dunia.  Terkadang diantaranya menjadi  “alat propaganda buruk kepada Indonesia, yaitu deforestasi dan kebakaran hutan dan lahan.” Terkadang juga disajikan dengan data yang “fake”. Salah. Menghadirkan  data lama tapi seolah baru. Tersebab berita daur ulang serta bukan kondisi yang sesungguhnya atas alasan metode excercises. Atau hanya sebagai ilustrasi. Namun sangat jelas hal itu menjadi bias. Bahkan didesain menjadi informasi yang  menyesatkan publik.   Melahirkan sesat pikir hutan dan kehutanan.

Deforestasi dan degradasi hutan menjadi perhatian banyak negara. Itu fakta. Indonesia mulai menghitung tingkat deforestasi sejak tahun 1990. Faktanya pula, deforestasi tertinggi terjadi pada periode tahun 1996 sampai 2000. Sebesar 3,5 juta ha per tahun. Periode 2002 sampai 2014 menurun. Laju deforestasi mencapai titik terendah pada tahun 2020 sebesar 115 ribu ha.

Kebakaran hutan di tahun 2015 dengan luas areal terbakar 2,6 juta ha  dari interpretasi citra satelit serta  1,6 juta hektar pada tahun 2019. Memberikan pelajaran sangat berharga dan kemudian terus diupayakan dengan kerja keras untuk  dapat diatasi. Akhirnya pada tahun 2020 ditetapkan kebijakan dan langkah pencegahan secara permanen dan ekstra hati-hati. Melalui upaya-upaya  monitoring hotspot dan patroli. Pengembangan sistem paralegal untuk membangun kesadaran bersama masyarakat. Termasuk pengembangan   teknik modifikasi cuaca dan  tata kelola gambut. Diperkuat upaya penegakkan hukum secara konsisten dan non diskriminasi. Tidak mudah. Dan penyelesaian selama beberapa tahun. Dalam turbulensi  interaksi yang cukup berat antar berbagai elemen stakeholders. Terutama dengan dunia usaha. Dan pada tahun 2020 lalu Pemerintah berhasil menekan areal kebakaran hutan. Hanya menjadi sekitar 290 ribu hektar.

Kehutanan pascakayu juga penting sebagai penegasan komitmen perubahan iklim. Pada konteks emisi karbon bisa dihitung emisi GRK pada 2015. Sebesar 1,5 Gton CO2 eq. Pada tahun 2019 menjadi 0,9 Gton CO2eq. Diantara 09 Gton CO2eq tersebut,  yang berasal dari kebakaran hutan dan lahan tercatat  sebesar 0,45 Gton CO2 eq.  Pada tahun 2020 turun menjadi 0,03 Gton CO2 eq. Ini artinya bahwa kebijakan Presiden Jokowi terkait pengendalian kebakaran hutan dan lahan, dengan pencegahan permanen, telah menunjukkan hasil kerja nyata. Tentu diyakini masih harus  dipertahankan. Bahkan komitmennya menjelma menjadi kebijakan untuk terus ditingkatkan.

Dalam kaitan itu, paradigma pembangunan bidang kehutanan yang dikembangkan di era Presiden  Jokowi –kehutanan pascakayu-   menjadi realistis. Bahkan sangat relevan menjawab permasalahan yang ada. Tak kalah penting bagaimana tindak lanjut ke depan. Dengan kata lain, sesungguhnya ideologi kehutanan pascakayu lahir sebagai antitesis. Pendekatan paradigma baru. Mewujudkan era baru dimana kayu tidak lagi menjadi orientasi utama dan satu-satunya. Potensi kayu yang menurut berbagai literatur hasil penelitian tak lebih hanya 5 persen, kini harus dikembangkan setara dan bersama-sama dengan aktualisasi 95 persen potensi bentang alam hutan beserta seluruh potensinya. Mulai dari hasil hutan bukan kayu, jasa lingkungan hingga karbon.

Meluruskan Kehutanan Pascakayu

Polemik pro kontra merupakan respon alamiah atas sebuah konsep baru. Agar sebuah gagasan tidak menjelma menjadi cek kosong. Menghasilkan perbedaan antara konsep dan implementasi. Karena itu, polemik pro dan kontra harus tetap diwadahi dalam sebuah ruang dialog dan ajang dialektika. Tujuannya jelas. Tidak terdapat penyimpangan yang justru akan menghasilkan sesat pikir.

Kehutanan pasca kayu yang digagas dan diusung Presiden Jokowi mengandung esensi substansial.   Pun secara rinci dan metodologis diikuti perkembangannya. Sehingga setiap masalah dapat selesai secara jelas, lugas dan tuntas. Makna utamanya ialah bahwa kehutanan pascakayu comitted  terhadap kelestarian fungsi lingkungan hidup. Antara lain meliputi aspek kelestarian DAS yang semakin ditekankan pada aspek konservasi tanah dan air. Terjaganya FEG fungsi lindung dalam Kawasan Hidrologis Gambut (KHG). Terjaganya konservasi  spesies wildlife serta koridor landscape yang menghubungkannya guna menjaga  kekayaan mega biodiversity Indonesia.

Begitupun, refleksi keberhasilan mewujudkan ideologi kehutanan pascakayu tercermin pula dari parameter penting yang lain. Tak lain pembangunan kehutanan yang berkeadilan sekaligus mewujudkan pemerataan distribusi penguasaan sumberdaya hutan bagi masyarakat. Aktualisasinya

melalui kebijakan dan program perhutanan sosial yang mampu menopang pengembangan sosial, ekonomi dan kelembagaan usaha.

Era pemerintahan Presiden Jokowi melalui Nawa Cita berhasil mengidentifikasi beragam masalah kehutanan. Mulai permasalahan tenurial, konflik lahan dan berbagai persoalan akut dan kronis lainnya. Begitu pula kesenjangan dalam land holding pengelolaan lahan. Data perijinan menunjukkan bahwa tidak kurang dari 43 juta areal kawasan hutan telah diberikan ijin sejak tahun 1980-an. Sebagian besar dalam bentuk konsesi HPH dan HTI. Termasuk pelepasan menjadi penggunaan lain seperti kebun, tambang dan kepentingan lainnya. Perijinan di waktu yang lalu lebih banyak diberikan kepada korporat.  Sekitar 96 %. Sedangkan hanya sekitar 4 % dalam bentuk perijinan bagi masyarakat.

Presiden Jokowi –lagi-lagi- melalui Nawa Cita melakukan langkah korektif. Mengubah dan menjadikan keberpihakan kepada raky

at lebih mengemuka, diaktualisasikan. Areal berijin tersebut, ditata dengan areal ijin hutan sosial seluas 12,4 juta hektar serta pencadangan kawasan untuk tanah reforma agraria (TORA) 4,1 juta ha. Perijinan korporat dikendalikan. Dapat diproyeksikan akan terjadi perubahan proporsi perjinan. Bergeser dari 96 % korporat dan 4 % rakyat. Berubah  menjadi sekitar 29-31 % untuk rakyat dan sekitar 71-26 % untuk korporat.  Pendekatan kebijakan Presiden Jokowi adalah pemerataan ekonomi.

Program Perhutanan Sosial  (PS) menjadikan penanda baru era Presiden Jokowi untuk membangun kesejahteraan masyarakat. Kebijakan PS era Presiden Jokowi sangat penting bagi kemajuan rakyat yang  ditandai dengan karakter serta ciri utuh. Tidak sekedar pemberdayaan masyarakat sebagai pekerja. Tetapi masyarakat dalam kapasitas sebagai  pelaku usaha.  Ada fasilitasi yang utuh.  Akses terhadap lahan usaha disertai akses fasilitasi pemerintah. Antara lain sarana usaha tani. Termasuk permodalan  usaha serta perintisan bersama pola off-taker, penerima produk akhir, dan dalam cluster usaha. Harapannya akan timbul interaksi ekonomi dan sentra ekonomi domestik. Juga terbangun kohesi sosial masyarakat dalam kondisi yang jauh lebih baik. Rakyat dipastikan akan lebih optimis menatap masa depan.

Dengan demikian pada banyak aspek pembangunan bidang kehutanan, Presiden Jokowi melalui konsep kehutanan pascakayu telah  melakukan perubahan dan penyesuaian selama tujuh tahun terakhir. Nyata dan konkrit dengan langkah-langkah korektif (corrective actions) yang meliputi :

(1)          Penurunan signifikan laju deforestasi dan degradasi hutan dan lahan,

(2)          Pencegahan permanen kebakaran hutan dan lahan;  dan mengatasi pengaruh negatifnya pada lingkungan dan sosial ekonomi masyarakat;

(3)          Aktualsiasi prinsip daya dukung dan daya tampung lingkungan kedalam penyusunan revisi RKTN sebagai arahan spasial makro pembangunan kehutanan tahun 2011-2030,

(4)          Pencegahan  kehilangan kehati dengan konservasi kawasan serta perlindungan kehati.

(5)          Menyelaraskan arah kebijakan KLHK ke depan sesuai dengan tujuan pembangunan berkelanjutan, SDGs, Perubahan Iklim Paris Agreement, Aichi Target Biodiversity, Pengendalian Degradasi Lahan dan berbagai konvensi internasional lainnya.

(6)          Mengurangi emisi GRK sesuai NDC baik dengan usaha sendiri maupun  dengan dukungan kerjasama internasional dalam teknologi dan finansial termasuk kerjasama dunia usaha.

(7)          Membangun ketahanan iklim dengan  restorasi, pengelolaan dan pemulihan lahan gambut, rehabilitasi hutan dan pengendalian deforestasi

(8)          Mengubah arah pengelolaan hutan yang semula berfokus pada pengelolaan kayu semata ke arah pengelolaan berdasarkan ekosistem sumber daya hutan dan berbasis masyarakat

Penutup

Konsep kehutanan pascakayu yang digagas dan diusung Presiden Jokowi sungguh patut memperoleh apresiasi. Pun hal yang sama layak diberikan kepada Menteri LHK Dr. Ir. Siti Nurbaya MSc. Sekalipun bukan seorang berlatar belakang –pendidikan- kehutanan, namun mampu memahami apa yang digagas presiden yang rimbawan. Dr. Ir. Siti Nurbaya, MSc., sebagai representasi politik nasional sekaligus pemegang mandat kewenangan kehutanan –dan lingkungan hidup- saat ini telah berhasil memaknai terminologi kehutanan pascakayu. Sebagai frasa yang harus diartikan “kehutanan bukan hanya mengurusi soal kayu.”

Pada akhirnya sungguh menggembirakan. Penyelenggaraan serial webinar yang mengusung konsep kehutanan pascakayu memberikan perspektif keberhasilan Menteri LHK Dr. Ir. Siti Nurbaya MSC., dalam menarik energi rimbawan yang kini tengah tertidur lelap. Membangunkan dan membangkitkan spirit rimbawan untuk melakukan kerja besar. Sebuah konsolidasi nan solid. Demi mendorong aktualisasi  eksistensi dan peran politik ekonomi kaum rimbawan.

Bahwa, terhadap semua segmen tanggapan yang masih dan belum setuju dengan frasa kehutanan pascakayu, harus tetap dihargai. Bagaimanapun frasa kehutanan pascakayu dipilih sebagai sebuah tawaran paradigma. Sebagai komitmen mengafirmasi paradigma nonkayu dan jasa lingkungan yang selama ini relatif jalan di tempat. Menyebabkan  belum mampu membawa politik dan ekonomi kehutanan benar-benar berhasil memanfaatkan hutan sebagai sumberdaya (baca : resources) secara efektif dan optimal. Bahkan yang terjadi dan berkembang kemudian adalah kecenderungan realitas rimbawan (baca : pelaku usaha) yang selalu mengeluhkan beban (baca : enviroment).

Akhirnya, pro dan kontra adalah biasa. Terlepas dari polemik tersebut para pihak harus pula melihat realitas politik yang berkembang.  Faktanya, kehutanan pascakayu telah berkumandang. Bahkan bergaung dan bergulir kencang. Menggelinding kian gegap gempita bak irama kendang. Memasuki berbagai forum dialektika berbagai sidang. Memenuhi mimbar-mimbar diskursus akademik maupun praksis pengelolaan hutan. Karena itu, menjadi sangat penting dan strategis bagi seluruh pemangku kepentingan untuk meluruskan setiap tafsir. Sekaligus mencegah berkembangnya sesat pikir. Selamat datang era kehutanan pascakayu.***

* Tulisan bersumber dari pidato Keynote Speech Menteri LHK, Dr. Ir. Siti Nurbaya, MSc. Dalam Serial Webinar #1 dalam rangka HUT 60 tahun Presiden Joko Widodo. Tanpa mengubah substansi.

***

No comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *