Gerak Lamban Perhutanan Sosial

Meski berbagai upaya telah dilakukan untuk memacu langkah pencapaian target itu, namun capaian target Perhutanan Sosial nasional masih sangat rendah

Bak ‘gerak roda pedati’, hingga saat ini capaian Pogam Perhutanan Sosial (PS) masih rendah. Sampai bulan oktober 2020 baru mencapai luasan 4.4 juta ha (35 % dari target 12.7 juta ha), yang terdistribusikan kepada kelompok masyarakat sebanyak 873.670 KK.

Capaian tersebut masih termasuk pencadangan indikatif Hutan Adat seluas 1.099.994, 72 hektar. Sehingga realisasi atau capaian penetapannya baru mencapai luasan 3.301.116,97 hektar (sekitar 26% dari target 12.7 juta hektar). Padahal, Perhutanan Sosial merupakan kebijakan dan Program Prioritas Nasional. Hal tersebut merupakan perwujudan Nawacita yang dituangkan dalam RPJMN 2015-2019 dengan target 12,7 juta hektar dan dilanjutkan pada periode 2019-2024.

Tapi begitulah kenyataannya, meski berbagai upaya telah dilakukan untuk memacu langkah pencapaian target itu. Diantaranya ialah penyederhanaan proses perizinan melalui penerbitan Peraturan Menteri LHK P.83/2016, Penyediaan PIAPS. Disamping itu, PS juga pernah dimasukkan dalam Proyek Strategis Nasional (Perpres 56 Tahun 2018), bahkan sudah ada dukungan kebijakan dari intas sektor (Peraturan Menteri Desa  PDTT dan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri kepada Gubernur dan Bupati).

Banyak Strategi

Berbagai strategi pun dilakukan agar upaya pencapaian target berjalan sesuai harapan. Diantaranya ialah penguatan organisasi pelaksananya telah dilakukan pembentukan eselon 1 (ditjen PSKL) KLHK dan Unit Pelaksana Teknisnya yang tersebar di 5 wilayah/regio, pembentukan Pokja Percepatan Perhutanan Sosial sebagai kelembagaan pendukung yang melibatkan partisipasi masyarakat sipil di tingkat pusat (nasional) hingga provinsi).

Ditjen PSKL juga telah membentuk Tim Penggerak Percepatan Perhutanan Sosial (TP2PS) sebagai Langkah pro-aktif untuk “Kerja Bareng/Bersama Jemput Bola” (Jareng Jebol), yakni “menjemput” inisiatif-inisiatif yang berkembang di tingkat tapak dan tidak hanya bersifat “menunggu” usulan permohonan dari masyarakat.

Tak hanya itu. Dukungan kebijakan proaktif juga telah dilakukan oleh beberapa pemerintah provinsi, seperti Pemerintah provinsi Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Barat dan Sulawesi Tengah. Kebijakan proaktif tersebut berupa penerbitan Peraturan Daerah, Peraturan Gubernur atau keputusan gubernur tentang pelaksanaan perhutanan sosial dan pemberdayaan masyarakat, dalam rangka membangun sinergitas program lintas sector dan pengalokasian anggarannya.

Sementara untuk pelaksanaan Perhutanan Sosial di Pulau Jawa telah dilakukan melalui pendekatan yang berbeda dengan yang di luar Jawa, yaitu dengan diterbitkannya Permen LHK P.39 Tahun 2017 tentang Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS). Disamping  itu, pelaksanaan Perhutanan Sosial di Kawasan konservasi juga telah diatur dengan penerbitan Perdirjen KSDAE P.6/2018 juncto P.2/2019 sebagai pedoman teknis partisipasi masayarakat dalam pengelolaan Kawasan konservasi melalui Kemitraan Konservasi.

Namun, seperti diungkapkan Suwito, Community Development & Social Forestry Specialist LSM Kemitraan/ Partnership for Governance Reform in Indonesia (PGRI), capaian pogram Perhutanan  Sosial hingga saat ini masih rendah.

Suwito

Dari Perizinan ke Persetujuan

Penyederhanaan proses perizinan yang telah dilakukan selama ini, menurut penilaian Suwito, masih belum memadai untuk percepatan pelaksanaannya. PermenLHK P.83/2016 merupakan regulasi yang mengatur penyelenggaraan Perhutanan Sosial dan prosedur pemberian izin atau hak sebagai akses legal bagi masyarakat dalam mengelola Kawasan hutan.

“Dalam implementasi peraturan tersebut masih ditemukan banyak kendala dan tantangan, baik dari aspek pelayanan birokrasi, dukungan alokasi pendanaan maupun dari aspek kapasitas masyarakat dalam penyiapan kelembagaan dan pemenuhan kelengkapan persyaratan yang ditentukan,” jelasnya dalam tulisan yang disampaikan ke Redaksi GI beberapa hari lalu.

Tantangan dan kendala dalam aspek layanan birokrasi bisa dikaji dari proses tahapan yang telah diatur dalam Permen LHK P.83/2016 dan realitas pelaksanaannya. Dari gambar proses tahapan ini dapat dilihat setidaknya ada 12 tahapan proses di unit kerja birokrasi dalam KLHK yang dalam praktiknya bisa memakan waktu berbulan-bulan, bahkan ada yang lebih setahun proses penetapanan izinnya.

Perlu Pendamping

Suwito mengatakan, pada umumnya masyarakat tidak bisa melakukan sendiri dalam penyiapan dokumen-dokumen kelengkapan persayaratan usulan promohonan PS tersebut, perlu dibantu oleh pendamping.

Dalam alur proses tahapan tersebut di lingkungan birokrasi KLHK ditetapkan layanannya memakan waktu tidak lebih dari 20 hari. Namun dalam prakteknya bisa lebih sebulan, dua bulan, tiga bulan, satu tahun, bahkan masih ada yang belum diterbitkan SKnya setelah 2 tahun dari tanggal pengajuannya. Dari hasil pengamatan proses di internal eselon 1 KLHK (ditjen PSKL) dijumpai bahwa adanya keterbatasan jumlah SDM yang memberikan layanan tersebut.

Proses legalitas akses masyarakat ini lebih sulit lagi pelaksanaannya dengan terbatasnya ketersediaan pendamping masyarakat di tingkat tapak dalam memfasilitasi proses penyiapan dokumen usulan permohonanannya.

Pada draft RPP XVIII Bab VI Pengelolaan Perhutanan Sosial dinyatakan bahwa pengelolaan perhutanan sosial diperlukan pemberian persetujuan, pengakuan dan peningkatan kapasitas kepada masyarakat (pasal 10). Rumusan dalam RPP itu tampaknya akan bisa memberikan angin segar dalam memberbaiki mekanisme implementasi perhutanan sosial ke depan.

Menyimak rumusan dalam draft RPP Kehutanan tersebut, proses perizinan yang telah berjalan selama ini akan dikoreksi melalui pemberian persetujuan, pengakuan dan pningkatan kapasitas.  Seperti apa bentuk atau wujud proses yang akan dirancang untuk keperluan tersebut?

Menurut Suwito, Mekanisme pemberian persetujuan perhutanan sosial dalam RPP itu perlu dirumuskan dengan lebih tegas dan sederhana, serta tidak mengulangi bentuk kerumitan pada masa sebelumnya. “Bagaimana agar peningkatan kapasitas masyarakat dalam pelaksanaan pemberdayaan masyarakat melalui perhutanan sosial itu tidak hanya menjadi domain KLHK sebagaimana yang terjadi pada masa seselumnya,” ungkapnya.

Revitalisasi PIAPS

Konsep awal PIAS dibangun dari sumber data dengan 4 Kriteria Utama, yaitu (K.1.1a) Kawasan hutan produksi yang diarahkan untuk Kelola sosial yang tidak dibebani izin, (K.1.1b) lokasi areal yang tidak masu peta TORA; (K.1.2.) Potensi kemitraan 20% dari IUPHHK-HT; (K.2) Sistem Hutan Kerakyatan yang dipetakan

oleh JKPP/KPSHK; (K.3) Usulan PS (HKM, HD, HTR) yang sedang berproses, dan (K.4) areal gambut yang bebas izin.

Menteri LHK menerbitkan Keputusan PIAPS pertama melalui SK.22/Menlhk/Setjen/PLA.1/1/2017 seluas 13.462.102 ha. Kemudian dilakukan revisi secara periodic: Dalam revisi pertama (SK.4685/MENLHK-PKTL/REN/PLA.0/9/2017) seluas 13.887.069 ha dan hingga [ada saat ini telah mengalami revisi ke-lima (SK.2111/MENLHK-PKTL/REN/PLA.0/4/2020) seluas 13.911.867 ha.

Dari sisi luasan, perubahan atau revisi PIAPS tersebut relative tidak berubah atau bahkan ada kecenderungan penambahan luasannya. Namun dinamika perubahan yang terjadi di lapangan sangat beragam. Ada perubahan yang lebih menguntungkan untuk perluasan Perhutanan Sosial, artinya yang semula tidak merupakan bagian dari areal PIAPS di kemudian gari menjadi PIAPS. Ada areal PIAPS yang konflik dengan usulan areal untuk konsesi IUPHHK-HTI yang kemudian dirubah menjadi areal untuk PS. Namun juga tidak sedikit areal-areal PIAPS yang telah diusulkan oleh masyarakat untuk PS ternyata juga diproses perubahannya menjadi bagian dari areal konsesi perusahaan (usulan PS terkalahkan).

PermenLHK P.83/2016 telah memberikan arahan yang tegas dan jelas, bahwa PIAPS diprioritaskan untuk penyelesaian konflik, kegiatan restorasi gambut dan/atau restorasi ekosistem. Namun dalam implementasinya masih sering dijumpai kendala atau hambatan, baik hambatan secara structural (kelembagaan pemerintah) maupun hambatan sosial (konflik horizontal antar masing-masing kelompok masyarakat yang memiliki basis klaim terhadap lahan).

Oleh karena itu perlu dilakukan revitalisasi kebijakan PIAPS, bahwa perubahannya justru diprioritaskan untuk pengelolaan Perhutanan Sosial atau Reforma Agraria sesuai dengan kondisi di lapangan, terutama berorientasi untuk penyelesaian konflik dan restorasi gambut dan/atau restorasi ekosistem.

Selama ini sosialisasi PIAPS masih belum bisa terjadi secara massal dan merata di berbagai daerah yang memiliki alokasi PIAS. “Tampaknya perlu didorong penguatan sosialisasi PIAPS oleh KPH sebagai organisasi Pemerintah Daerah Provinsi yang diberikan mandat penyelenggaraan pengelolaan Kawasan hutan di tingkat tapak,” tutur Suwito.

Ditambahkannyya bahwa KPH perlu didorong agar bersinergi dengan Pemerintahan Desa dalam sosialisasi PIAPS tersebut. Sehingga pemahaman masyarakat terhadap PIAPS akan lebih menyebar merata di tingkat tapak, dan memberikan peluang kepada masyarakat untuk memberikan koreksi terhadap PIAPS tersebut.

Beberapa pengalaman “ground check” sebelumnya telah ditemukan alokasi PIAPS pada desa-desa definitive yang arealnya sudah berupa bangunan fasilitas umum dan fasilitas sosial (seperti Gedung pemerintah desa, sekolah, rumah ibadah) atau pemukiman, sehingga bisa jadi sebagian areal PIAPS tersebut bisa direkomendasikan menjadi TORA (Tanah Obyek Reforma Agraria) berdasarkan hasil ground check.

Hal lain yang perlu dikaji dan didiskusikan lebih lanjut tentang PIAPS, menurut penilaian Suwito, yaitu terkait dengan wacana perubahan bentuk legalitas perhutanan sosial dari perizinan ke persetujuan. “Mungkin PIAPS bisa dinyatakan sebagai sebuah “Deklarasi” semacam persetujuan prinsip yang ditujukan untuk optimalisasi pemanfaatan lahan Kawasan hutan. Deklarasi tersebut bisa menjadi dasar dalam penguatan fungsi hutan melalui penguatan partisipasi masyarakat, yakni dalam bentuk perhutanan sosial ataupun reforma agraria,” tegasnya.

Pemanfaatan lahan milik di pulau Jawa untuk pengembangan hutan rakyat bisa menjadi contoh bahwa reforma agraria di Kawasan hutan bisa sekaligus merupakan model pembinaan pemanfaatan lahan yang tetap memperhatikan fungsi hutan untuk mempertahan keseimbangan lingkungan.

Optimalisasi Peran Pemerintah Daerah

Sebagaimana telah dimandatkan dalam UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa Pemerintah Kabupaten tidak lagi memiliki kewenangan urusan Kawasan hutan (kecuali Tahura), kewenangan pengurusan di daerah oleh Pemerintah Provinsi. “Hal ini berimplikasi terhadap kesimpang-siuran pemahaman terhadap perhutanan sosial,” ungkap Suwito.

Program Perhutanan Sosial tidak hanya terkait urusan kawasan hutan, tetapi juga pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar Kawasan hutan. Oleh karena itu perlu terus dibangun pemahaman di tingkat pemerintah provinsi dan kabupaten untuk terus mengembangkan implementasi Perhutanan Sosial di tingkat tapak.

Pemerintah provinsi telah membentuk Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) sebagai penyelenggara pengelolaan hutan di tingkat tapak sesuai dengan wilayah kerjanya. KPH memiliki peranan strategis dalam membangun jembatan komunikasi para pihak di tingkat tapak, kabupaten dan provinsi. Oleh karena itu peran KPH perlu semakin dikuatkan dalam implementasi perhutanan sosial.

Sementara pemerintah desa sebagai unit pemerintahan di tingkat tapak selama ini masih sering kurang mendapatkan informasi yang memadai terkait dengan perhutanan sosial. Oleh karena itu ke depan perlu dilakukan penguatan peran pemerintah desa dalam pelaksanaan perhutanan sosial, mulai dari penyiapan arealnya (PIAPS) hingga pasca izin (persetujuannya).

Bila dicermati capaian perhutanan sosial berdasarkan skemanya, maka Hutan Desa merupakan skema yang capaiannya paling tinggi, yaitu 1.632.238,15 hektar atau sekitar 50% dari total luas perhutanan sosial yang telah ditetapkan (3.301.116,97 hektar). Hutan Desa adalah hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa. Dalam peraturan operasionalnya, Lembaga desa yang dibentuk berdasarkan Peraturan Desa diberikan kewenangan sebagai pengelolanya (LPHD – Lembaga Pengelola Hutan Desa).

“Fenomena ini perlu mendapatkan perhatian untuk dikaji lebih lanjut, terutama terkait dengan problematika lambatnya capaian perizinan dan masalah pembinaan pasca izin atau penetapan persetujuan. Mungkinkah ke depan justru lebih strategis memberikan kewenangan kepada Pemerintah Desa untuk mengatur pemanfaatan sumber daya hutan yang ada di wilayah administrasi desa?” demikian tandas Suwito menutup wawancara virtualnya dengan GI beberapa waktu lalu.

**Riz***

No comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *