Pro kontra terkait kebijakan Penetapan Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) merebak. Meski dianggap gagal, tampaknya Perhutani masih diharapkan untuk memberikan yang terbaik.
BAGAIMANA masa depan hutan di Jawa pasca KHDPK? Pertanyaan itu merebak di sejumlah kalangan pihak akhir-akhir ini. Sebuah BUMN yang dipercaya mengelola, yakni Perhutani, pun tak luput jadi perbincangan serius.
Mengapa tidak? Sejak 1967, Perhutani telah mengelola hutan-hutan di Jawa untuk kayu jati, getah pinus, dan hasil hutan bukan kayu melalui skema Perhutanan Sosial. Skema ini telah bertransformasi sejak 1972.
Namun kini, sekitar 1,1 juta hektar hutan Perhutani diserahkan ke Kementerian LHK berdasarkan SK Menteri LHK Nomor 287 tahun 2022 tentang Penetapan Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK).
Perhutani pun dianggap gagal, khususnya dalam meredam konflik tenurial dan merehabilitasi lahan kritis di Jawa. Meskipun begitu, melalui KHDPK, BUMN yang bergerak di bidang kehutanan tersebut masih diberi kesempatan untuk berkembang. Diharapkan Perhutani bisa lebih fokus pada bisnis inti yang menguntungkan.
Namun, regulasi tentang KHDPK menuai kontroversi, baik di kalangan masyarakat maupun praktisi kehutanan. Kelompok yang pro meliputi KLHK, Dinas Kehutanan, akademisi, LSM, dan masyarakat sekitar hutan. Sementara itu, kelompok yang kontra menganggap keputusan membentuk KHDPK sebagai solusi yang tidak efektif dalam mengatasi masalah yang dihadapi Perhutani.
Banyak Penyimpangan
Untuk membahas isu tersebut, kemarin, Kamis (25/01) diadakan webinar dengan topik “Masa Depan Hutan di Jawa Pasca KHDPK”.
Dalam diskursus yang diikuti berbagai kalangan itu, kembali diingatkan, bahwa KHDPK diperuntukkan untuk enam kepentingan. Diantaranya untuk kegiatan Perhutanan Sosial (PS), untuk penataan kawasan hutan, penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi (RHL, Lahan kritis), perlindungan hutan, dan pemanfaatan jasa lingkungan (kerjasama).
Dalam diskusi webinar itu, Ary Widiyanto dari Badan Riset dan Inovasi (BRIN), mengemukakan beberapa contoh kondisi aktual di lapangan pasca penetapan KHPDK.
Di Garut misalnya. Pemerintah Daerah (Pemda) Garut meminta agar hutan lindung diserahkan pengelolaannya ke Pemda. Alasannya, karena sudah tidak diurus oleh Perhutani. Informasi negatif tentang Perhutani pun dicuatkan dari Blora – Jawa Tengah. Dikatakan bahwa ada oknum yang mulai membuat batasan-batasan atau penyerobotan kawasan hutan untuk diakui menjadi lahan lahan milik oknum tersebut.
Sementara dari Karawang, diinformasikan bahwa sekelompok masyarakat mulai memasang spanduk di pinggir hutan untuk mematok lahan. Jual-beli lahan yang diduga sebagai kawasan PS pun terjadi. Disamping itu, lahan Perhutani di Karawang kini menjadi tempat penampungan limbah B3.
Lebih jauh Ary juga mengungkapkan sejumlah pandangan dari kalangan akademisi. Dikatakannya bahwa KHDPK telah mengarah pada sentralisasi kehutanan. “Hal ini berlawanan dengan semangat desentralisasi yang menjadi mainstream pengelolaan hutan di dunia,” kata Ary.
Lalu apa kata Perhutani?
BUMN pengelola hutan di Pulau Jawa itu menyebutkan, bahwa penentuan lokasi KHDPK sepenuhnya dari KLHK, sehingga ada kemungkinan area yang tidak memenuhi kriteria ikut ditetapkan sebagai KHDPK.
Sementara itu, sejumlah peneliti menilai, bahwa KHDPK memberi peluang alih guna lahan hutan menjadi penggunaan lain. Tentunya hal ini sangat berbahaya secara ekologi.
***Riz***