Oleh: Tri Atmoko*)
“Manakala jendela terbuka lebar, nampak beragam burung sedang berkicau di sela-sela rerimbunan pepohonan. Sinar mentari pagi menerobos tajuk pohon menghangatkan embun pagi, menciptakan kabut tipis di udara. Tak berapa lama sekelompok lutung kelabu mulai bergerak dari pohon tidurnya menuju pohon Palaquium yang sedang berbuah lebat, menikmati menu paginya dengan bahagia. Seekor induk betina swinging diantara dahan dengan bayi orangenya yang menggelayut erat di dadanya.“
ITULAH sebuah scenes singkat pagi hari yang kerap penulis nikmati di belakang rumah pada sebuah sudut hutan di Tahura Bukit Suharto. Mungkin itu salah satu pengalaman yang diangankan oleh Presiden Joko Widodo untuk bisa dinikmati oleh warga Ibu Kota Nusantara di masa depan. Sebuah kehidupan kota modern nan cerdas yang hidup dan berkembang selaras dengan alam.
Ibu Kota Negara Baru
Wilayah Jakarta sejak abad ke-16 telah menjadi pusat pemerintahan Hindia Belanda dengan nama Batavia. Hingga akhirnya Kemerdekaan Indonesia diproklamirkan oleh Soekarno-Hatta pada tahun 1945 di Jakarta dan sejak itu secara de facto Jakarta menjadi Ibu Kota Negara Indonesia.
Mengingat dinamika keamanan negara tidak kondusif saat itu, perpindahan ibu kota pernah terjadi, yaitu ke Yogyakarta dan Bukittinggi. Akhirnya pada tahun 1961 secara de jure Jakarta ditetapkan sebagai ibu kota negara.
Kondisi perkembangan ekonomi, sosial, politik yang sangat dinamis di Jakarta dalam kurun waktu enam dasawarsa telah mengubah kondisi Jakarta secara drastis. Daya tarik ibu kota sebagai pusat pemerintahan sekaligus pusat perekonomian dan bisnis, menimbulkan arus urbanisasi yang berakibat tingginya kepadatan penduduk di Jakarta.
Hal tersebut memicu munculnya berbagai permasalahan sosial dan lingkungan hidup. Kepadatan penduduk yang tinggi, kemacetan lalu lintas, polusi, banjir, ketersediaan air bersih dan berbagai permasalahan sosial muncul. Hal inilah yang mendorong perlunya dilakukan pemindahan ibu kota negara.
Rencana pemindahan ibu kota telah digagas sejak tahun 1957 oleh Presiden pertama RI, Ir. Soekarno. Hingga akhirnya pada bulan Agustus 2019, Presiden Joko Widodo mengumumkan pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Kalimantan Timur. Ini membawa perubahan besar terkait cara pandang terhadap Indonesia yang awalnya Jawa-sentrik menjadi Indonesia-sentrik, di mana Kalimantan Timur secara geografis berada di pusat kepaulauan Indonesia di antara Sabang hingga Merauke dan Pulau Miangas hingga Pulau Rote. Nama Nusantara dipilih untuk merepresentasikan hamparan ribuan pulau sebagai negara kepulauan Indonesia.
Berkonsep Forest City
Sangat tepat jika pembangunan IKN di Kalimantan Timur berkonsep forest city. Seperti yang sudah diketahui bersama, bahwa Borneo yang berada di garis khatulistiwa pada awalnya merupakan hamparan hutan tropis yang berperan penting sebagai paru-paru dunia.
Hasil penelitian Mark de Bruyn dan timnya dari Bangor University-Inggris, menunjukkan bahwa Borneo adalah salah satu hotspot dari 34 hotspot keanekaragaman hayati dunia. Hasil penelitian Bruyn dan timnya yang diterbitkan di Jurnal bereputasi tinggi, Systematic Biology tahun 2014, membuktikan bahwa Borneo merupakan rumah bagi kekayaan spesies tumbuhan dan mamalia tertinggi di Asia Tenggara.
Meskipun tekanan terhadap hutan tropis di Kalimantan semakin tinggi, namun dengan mengusung konsep forest city, setidaknya pembangunan IKN akan tetap menghadirkan kembali bagaimana suasana hutan tropis Kalimantan di masa depan.
Sebuah impian kota modern yang didominasi bentang lanskap berstruktur hutan, dengan pendekatan lanskap yang mengintegrasikan kehidupan masyarakat perkotaan yang berdampingan dengan alam. Dalam Undang-undang IKN juga telah mengamanatkan bahwa ibu kota negara yang baru 75% diantaranya berupa green cover, 65% dalam bentuk hutan dan 10% lainnya tutupan hijau yang berfungsi sebagai daya dukung sumber pangan.
Prinsip Forest City
Dalam mewujudkan konsep forest city, maka dalam dokumen One Map, One Planning, One Policy pembangunan IKN telah dirumuskan enam prinsip yang akan digunakan sebagai landasan.
Beberapa tantangan harus dihadapi dalam melaksanakan keenam prinsip tersebut, yaitu zero deforestasi, konservasi keanekaragaman hayati, peningkatan stok karbon, pelibatan masyarakat adat/lokal, pengelolaan hutan berkelanjutan, dan perbaikan tata kelola dan tata guna lahan.
Zero deforestasi: Kawasan hutan yang masuk ke dalam Kawasan IKN diantaranya adalah kawasan hutan produksi, yaitu areal konsesi PT Inhutani dan hutan konservasi Tahura Bukit Suharto. Saat ini tekanan terhadap kedua kawasan hutan tersebut masih terjadi. Kondisi existing menunjukkan bahwa sebagian dari kawasan Tahura Bukit Suharto telah menjadi kebun sawit, permukiman, ladang dan lahan alang-alang bekas terbakar. Pengamanan kawasan dan potensi konflik dengan masyarakat di dalamnya memerlukan solusi yang tidak sederhana. Badan Otorita IKN perlu berkolaborasi dengan berbagai pihak terutama para pemangku kawasan sebelumnya dan lembaga terkait di sekitar kawasan lainnya.
Konservasi keanekaragaman hayati: Keanekaragaman hayati mencakup keanekaragaman jenis, keanekaragaman genetik dan keanekaragaman ekosistem. Sehingga upaya yang dapat ditempuh dalam mendukung prinsip ini adalah dengan menjaga tempat sumber daya hayati tersebut berada, yaitu hutan.
Konsep forest city tidak hanya terfokus pada menjaga dan memperbaiki kondisi tegakan pohon sebagai hutan. Namun lebih dari itu, fungsi hutan harus berjalan baik sebagai pengatur tata air dan iklim mikro juga yang tidak kalah penting adalah sebagai habitat bagi berbagai satwa liar. Jangan sampai hutan yang dibangun menjadi silent forest, sebuah hutan yang sepi karena tanpa penghuni.
Sejauh ini, data keanekaragaman jenis hayati khususnya flora dan fauna di wilayah IKN belum terkompilasi dengan baik. Berdasarkan data yang dimiliki penulis dari hasil berbagai kegiatan survei yang telah dilakukan bersama tim di wilayah IKN dan sekitarnya, tidak kurang dari 500 jenis flora pohon dan sebanyak 430 jenis satwa liar mamalia, burung, amphibia dan reptile diketahui ada di wilayah IKN dan sekitarnya.
Sedangkan berdasarkan keanekaragaman ekosistem, wilayah IKN juga memiliki beberapa tipe ekosistem diantaranya adalah hutan dataran rendah, hutan pantai, hutan mangrove, hutan kerangas, hutan rawa, dan daerah karst.
Peningkatan stok karbon: Upaya yang dilakukan dalam peningkatan karbon di antaranya adalah menjaga dan mempertahankan hutan eksisting serta mencegah hutan terdegradasi akibat pembalakan dan kebakaran hutan.
Target tutupan hijau sebesar 65% dari areal hutan dan 10% dari tutupan hijau untuk penguatan ketahanan pangan adalah salah satu upaya untuk peningkatan stok karbon di wilayah IKN. Selain itu, hutan mangrove dikenal mempunyai kandungan karbon tinggi. Hutan mangrove di IKN masih ditemukan di Teluk Balikpapan dan Muara Jawa dan areal esensial tersebut penting untuk dipertahankan.
Pelibatan masyarakat adat/lokal: Pelibatan masyarakat setempat perlu dilakukan dalam mendukung konsep forest city melalui berbagai upaya perhutanan sosial, perkebunan dan pertanian. Secara umum masyarakat yang ada di wilayah sekitar Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIP) IKN di daerah Kecamatan Sepaku, kabupaten Penajam Paser Utar adalah pendatang.
Sebagian wilayah tersebut adalah daerah transmigran dari jawa Barat dan Jawa Timur pada tahun 1975, sehingga sebagian besar masyarakatnya adalah suku Jawa dan Sunda. Suku asli di daerah tersebut sebenarnya adalah suku Paser, meskipun tidak mendominansi namun keberadaaanya masih dijumpai di Kelurahan Sepan, Kecamatan Penajam.
Saat ini, masyarakat sudah berbaur dan banyak terjadi perkawinan antara pendatang dengan suku Paser. Di sisi lain, adanya masyarakat pendatang dari Jawa menjadi peluang yang baik dalam mendukung upaya peningkatan luasan green area sebesar 10% untuk ketahanan pangan dalam bentuk lahan pertanian/perkebunan. Mengingat masyarakat Jawa umumnya sudah berpengalaman dalam kegiatan pertanian dan perkebunan.
Terdapat beberapa budaya masyarakat Paser yang tinggal di wilayah Kawasan IKN. Beberapa budaya mereka masih berkaitan erat dengan alam dan hutan. Kelengkapan upacara adat memerlukan berbagai jenis tumbuhan yang umumnya hanya tumbuh di dalam hutan. Oleh karena itu upaya pelestarian hutan juga akan berimplikasi pada pelestarian budaya asli masyarakat lokal.
Pengelolaan hutan berkelanjutan: Tujuan pengelolaan hutan lestari (Sustainability Forest Management/SFM) adalah untuk memastikan bahwa hutan menyediakan sumber daya untuk memenuhi kebutuhan saat ini dan masa depan serta berkontribusi terhadap pembangunan masyarakat yang berkelanjutan.
Salah satu upaya yang dilakukan adalah melalui penerapan multiusaha kehutanan. Usaha pengembangan ekowisata adalah salah satu pemanfaatan jasa lingkungan yang potensial di wilayah IKN.
Beberapa lokasi obyek ekowisata di dalam dan sekitar IKN diantaranya adalah wisata alam “Canopy Bridge” di Bukit Bangkirai, air terjun Tembinus, wisata air panas, ekowisata bekantan di Sugai Hitam, wisata alam Batu Dinding, puncak Gunung Parung dan berbagai obyek daya Tarik wisata (ODTW) lainnya.
Perbaikan tata kelola dan tata guna lahan: Tata Kelola dan tata guna lahan sangat penting untuk menjadi perhatian dalam perencanaan IKN. Hal tersebut dikarenakan kondisi existing wilayah IKN meliputi berbagai fungsi lahan dan kawasan. Tata kelola dan tata guna lahan yang baik harus diawali dengan perencanaan tata ruang wilayah yang baik pula. Selain itu juga harus ada kepastian hukum dalam status lahan dan pengelolaannya.
Perencanaan pola ruang
Konsep forest city dalam pembangunan IKN harus berbasiskan landscape, sehingga perencanaan tata ruang adalah hal fundamental yang akan menjadi acuan berbagai pembangunan yang akan dilakukan.
Menurut UU No 3 tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara, menyatakan bahwa wilayah Ibu Kota Nusantara seluas sekitar 324 ribu ha meliputi wilayah daratan dan perairan. Wilayah daratan meliputi sekitar 200 ribu ha sebagai Kawasan Pengembangan IKN, 56 ribu sebagai Kawasan IKN, dan 6,67 ribu ha diperuntukkan sebagai Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) IKN. Sebagai acuan implementasi lebih lanjut, pemerintah kemudian menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 64 tahun 2022 tentang Rencana Tata Ruang (RTR) Kawasan Strategis Nasional (KSN) Ibu Kota Nusantara 2022-2042.
Berdasarkan RTR KSN IKN, rencana pola ruang di IKN secara umum dibagi menjadi dua, yaitu Kawasan Lindung dan Kawasan budidaya. Pemenuhan green cover sebagian besar akan dipenuhi dari Kawasan Lindung, namun demikian kawasan budidaya juga mempunyai andil dalam menyumbang 10% dari areal yang digunakan untuk pemenuhan suber pangan.
Sebagaimana yang tertuang dalam Perpres No 64/2022 terdapat beberapa bentuk kawasan lindung di IKN yaitu:
Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya: Kawasan ini merupakan kawasan hutan lindung yang berada di kawasan penyangga lingkungan dan ketahanan pangan yang berada di Kawasan Pengembangan IKN seluas lebih dari 300 ha. Areal lindung ini tersebar di Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai artanegara, meliputi Kelurahan Karya Merdeka, Kelurahan Salok Api Darat, dan Kelurahan Tani Bhakti.
Kawasan perlindungan setempat: Kawasan ini merupakan ruang yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan terhadap sempadan sungai, sempadan pantai, dan kawasan sekitar waduk atau danau. Kawasan IKN merupakan daerah hulu bagi sungai dan anak sungai yang bermuara di Teluk Balikpapan. Beberapa sungai utama meliputi Sungai Sepaku, Sungai Pemaluan, dan Sungai Tengin. Selain itu masih banyak anak-sungai yang berada di Kawasan KIPP IKN.
Ruang Terbuka Hijau (RTH): Areal ruang terbuka hijau mempunyai fungsi ekologis, resapan air, ekonomi, sosial budaya, estetika, dan untuk menciptakan kehidupan yang berdampingan dengan alam.
Beberapa bentuk RTH yang dimaksud adalah rimba kota, taman kota, taman kecamatan, taman kelurahan, jalur hijau (green belt), dan pemakaman. Beberapa areal yang berperan sebagai rimba kota adalah areal ex. hutan tanaman Eucalyptus di wilayah KIKN yang tidak semua arealnya dibangun infrastruktur, tapi sebagian akan dipulihkan mendekati kondisi hutan alam.
Kawasan konservasi: Kawasan konservasi merupakan kawasan yang mempunyai ciri khas tertentu sebagai satu kesatuan ekosistem yang dilindungi, dilestarikan, dan dimanfaatkan secara berkelanjutan. Satu-satunya kawasan konservasi yang ada di wilayah IKN adalah Taman Hutan Raya Bukit Soeharto dengan luas lebih dari 64 ribu ha yang berada di kawasan penyangga lingkungan dan ketahanan pangan di KPIKN.
Ekosistem mangrove: Ekosistem mangrove memiliki fungsi penting dalam perlindungan keanekaragaman hayati pengendalian sedimen dan perlindungan dari abrasi pantai, penyimpanan karbon, pengaturan tata air dan mitigasi banjir rob serta mendukung perwujudan kota spons (sponge city).
Areal mangrove yang luas di IKN dan sekitarnya berada di Teluk Balikpapan, Pesisir Samboja, dan di Muara Jawa. Areal tersebut juga menjadi habitat bagi satwa endemik dilindungi, bekantan. Selain itu juga menjadi habitat penting bagi buaya muara, pesut dan dugong.
Strategi
Strategi untuk mencapai target green cover sebesar 75% dapat dilakukan dengan mengacu pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 tahun 2020 tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan sebagai berikut:
Rehabilitasi hutan: Rehabilitasi hutan bertujuan untuk memulihkan, melestarikan, dan meningkatkan fungsi hutan untuk meningkatkan daya dukung, produktivitas, dan fungsi memelihara sistem penyangga kehidupan.
Kegiatan ini dapat dilakukan di hutan konservasi (Tahura Bukit Suharto), Hutan Produksi, dan Hutan Lindung. Rehabilitasi hutan secara intensif dapat dilakukan pada lahan kritis tanpa aktivitas masyarakat, sedangkan model Agroforestri dapat dilakukan di lahan kritis yang ada aktivitas masyarakat di dalamnya.
Rehabilitasi lahan: Tujuan rehabilitasi lahan adalah memulihkan, melestarikan, dan meningkatkan fungsi lahan untuk meningkatkan daya dukung, produktivitas, dan fungsi memelihara sistem penyangga kehidupan. Salah satu penerapannya adalah penghijauan yang dilakukan di luar kawasan hutan baik yang kondisinya masih bertutupan hutan atau lahan terbuka.
Skema penghijauan yang dilakukan melalui pembangunan hutan hak, penghijauan lingkungan, dan pembangunan hutan kota (tipe kawasan permukiman, kawasan industri, kawasan rekreasi, pelestarian plasma nutfah, tipe perlindungan dan pengamanan).
Reklamasi bekas tambang: Reklamasi adalah upaya, memperbaiki atau memulihkan kawasan hutan yang terdegradasi agar dapat berfungsi secara optimal dan sesuai peruntukannya. Hutan terdegradasi dengan perubahan lahan dan vegetasi akibat dari pemanfaatan yang dilakukan, misalnya kegiatan pertambangan.
Terdapat banyak areal pertambangan dan bekas tambang batubara di wilayah Pengembangan IKN, terutama di Samboja dan sekitarnya. Upaya revegetasi dilakukan dengan penanaman pohon dan pemeliharaan hutan pasca pemanfaatan untuk memulihkan vegetasi yang terdegradasi.
Perhutanan Sosial/Wanatani: Masyarakat lokal sebagai unsur utama dalam pengelolaan hutan lestari untuk meningkatkan kesejahteraan, keseimbangan lingkungan, dan dinamika sosial/budaya. Implementasinya dapat dilakukan melalui Hutan Desa, Hutan Adat, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, dan Kemitraan Kehutanan/Konservasi.
Penutup
Pembangunan IKN harus didasarkan pada perencanaan yang baik dan matang melalui pertimbangan teknis dan akademis yang kuat. Kajian dampak lingkungan menjadi rambu-rambu yang harus ditaati di atas tuntutan target capaian pembangunan infrastruktur yang sangat ketat.
Peran serta berbagai stakeholder, lembaga riset, akademisi, dan pelibatan masyarakat lokal sangat penting. Perencanaan yang dilakukan saat ini menentukan apakah di masa depan warga Ibu Kota Nusantara masih bisa menikmati secangkir kopi di balkon apartemen diiringi kicauan burung-madu sepah-raja, atraksi bekantan menikmati pucuk Sonneratia, dan di kejuhan great call owa terdengar berasal dari hutan Tembinus.
*)Senior Researcher, Pusat Riset Zoologi Terapan, BRIN