Kepel: Berawal dari Titah Sang Raja

Konon, para tetua kampung dan pemimpin masyarakat mengeluarkan keputusan, bahwa rakyat jelata tidak dibenarkan menanam pohon itu. Inilah pangkal musabab langkanya pohon kepel.

ALKISAH, di jaman kerajaan dulu, Raja Mataram sempat bertitah agar menanam pohon burahol atau kepel di halaman istana. Begitu pentingnya, dikarenakan buah tanaman tersebut menjadi konsumsi  para putri keraton.

Mengapa? Karena buah dengan nama ilmiah Stelechocarpus burahol itu bisa  mengharumkan bau keringat, sampai dipakai sebagai deodoran oleh para putri keraton Raja Mataram. Hanya dengan memakan buah kepel yang sudah masak, para putri sudah bisa berbau bunga violces. Keringatnya wangi, dan nafasnya pun harum.

Kebiasaan makan buah kepel kemudian ditiru oleh para putri keraton raja-raja kecil lainnya di Jawa Tengah dan Timur. Kerajaan kecil-kecil ini kemudian menanam pohon itu juga di halaman keratonnya masing-masing.

Begitu hebatnya, maka di tengah masyarakat Jawa feodal waktu itu ada semacam kepercayaan, bahwa orang yang meniru cara hidup raja dan anggota keluarganya hanya orang yang kuat, baik lahir maupun batin, seperti para adipati (semacam gubernur zaman sekarang), pangeran, pejabat kerajaan, dan panglima perang. Sementara masyarakat lainnya akan kualat jika meniru kebiasaan itu.

Akibatnya, para tetua kampung dan pemimpin masyarakat mengeluarkan keputusan, bahwa rakyat jelata tidak dibenarkan menanam pohon itu. Bahkan pohon yang sebelumnya sudah ada di desa-desa harus ditebangi dan dimusnahkan. Barangsiapa yang tidak mengindahkan akan diusut dan dijatuhi hukuman. Konon, atas kejadian itu, hingga kini kepel atau burahol menjadi tanama langka.

Di dalam Wikipedia juga disebutkan, Stelechocarpus burahol adalah penghasil buah hidangan meja yang menjadi flora identitas Daerah Istimewa Yogyakarta. Buah kepel ini dipercaya menyebabkan keringat beraroma wangi dan membuat air seni tidak berbau tajam.

Indah dan Berkhasiat

Pohonnya tegak, tingginya mencapai 25 meter. Tajuknya teratur berbentuk kubah meruncing ke atas (seperti cemara) dengan percabangan mendatar atau agak mendatar. Diameter batang utamanya mencapai 40 cm, berwarna coklat-kelabu tua sampai hitam, yang secara khas tertutup oleh banyak benjolan yang besar-besar.

Buahnya yang matang dimakan dalam keadaan segar. Disebutkan bahwa dagingnya yang berwarna jingga dan mengandung sari buah itu memberikan aroma seperti bunga mawar bercampur buah sawo pada ekskresi tubuh (seperti air seni, keringat, dan napas).

Dalam pengobatan, daging buahnya berfungsi sebagai peluruh kencing, mencegah radang ginjal dan menyebabkan kemandulan (sementara) pada wanita. Oleh para wanita bangsawan kepel digunakan sebagai parfum dan alat KB; di Jawa, penggunaannya secara tradisional terbatas di Kesultanan Yogyakarta.

Kayunya cocok untuk perkakas rumah tangga. Batangnya yang lurus setelah direndam beberapa bulan dalam air, digunakan untuk bahan bangunan rumah dan diberitakan tahan lebih dari 50 tahun.

Kepel merupakan tanaman hias pohon yang indah, daunnya yang muncul secara serentak berubah dari merah muda pucat menjadi merah keunguan sebelum berubah lagi menjadi hijau cemerlang.

Perawakan pohonnya berbentuk silindris atau piramid dengan banyak cabang lateral yang tersusun secara sistematik, dan sifatnya yang kauliflor (cauliflory) menambah keindahannya.

Dulu, tanaman ini sering banyak ditemui di dalam benteng keraton tempat tinggal raja-raja di Jawa. Sekarang tanaman ini sudah jarang ditemui alias langka. Mengapa demikian? Ternyata kisah seperti di awal tadi yang menjadi pangkal kelangkaannya.

***Riz***

No comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *