Prospek agribisnis jahe di Kampung Arca Puncak Dua Bogor sangat cerah, namun perlu perhatian pemerintah, terutama dalam permodalan dan pembinaan pasar yang ‘berkeadilan’.
SENYUM bahagia menghiasi wajah beberapa petani jahe di Kampung Arca, Sukawangi – Bogor, sejak beberapa pekan terakhir. Harga membaik yang ditunggu selama dua tahun, akhirnya datang juga.
Seperti diketahui, pada musim panen tahun lalu harga umbi pedas tersebut berada di kisaran angka yang sangat rendah. Para ‘pemain’ pasar yang sering berseliweran di sentra pertanian Puncak Dua itu hanya sanggup membeli jahe emprit dibawah Rp 5000,- per kilonya. Para petani yang seharusnya panen akhirnya menahan diri. “mbung….. mending panen di tahun depan saja, dijadikan jahe dua tahunan,” ucap sejumlah petani.
Dengan harga tersebut, petani mengaku merasa rugi, karena biaya produksi usaha tani jahe cukup tinggi. Budidaya jahe pun membutuhkan waktu yang panjang, yakni nyaris satu tahun. “Puasanya panjang,” tutur Nur, seorang petani perempuan di Kampung Arca.
Selain itu, agribisnis jahe butuh lahan yang cukup luas. Beda dengan usaha tani sayuran lain yang bisa ditanam di lahan terbatas dan dengan jangka waktu yang pendek.
Kartel?
Biang kerok yang membuat ciut hati petani jahe tersebut, disinyalir adalah ‘permainan’ para bandar (pedagang pengepul). “Mereka sepertinya membuat kesepakatan bersama untuk menekan harga dari petani,” ungkap Dedi, tokoh petani di lokasi itu.
Akibat dari kejadian tahun lalu itu, nyaris semua petani jahe pun menunda masa panennya menjadi dua tahun. Dan untunglah, di tahun 2023 ini harga mulai naik. Naga-naganya mulai terbaca sejak beberapa bulan lalu. Dari pekan ke pekan, harga berangsur naik, mulai dari Rp 2000,- per kilogram di awal Mei, menjadi Rp kisaran Rp 5000,- sampai Rp 7000,- per kilogramnya di bulan Juli, lalu melambung ke angka Rp 10.000,- di Agustus ini.
Angka tersebut cenderung stabil hingga berita ini ditulis.
Dedi Durohman, salah-seorang petani dengan lahan jahe terluas di Kampung Arca, berharap agar para ‘pemain pasar’ jahe tidak terlalu ‘menekan’ petani. “Mari bekerjasama yang saling menguntungkan agar agribisnis jahe bisa berkesinambungan di lokasi ini,” jelasnya kepada GI.
Seperti diketahui, bahwa jahe emprit sangat cocok di kawasan yang dikelilingi hutan negara tersebut, khususnya sekitar Kampung Arca. Hal itu, menurut banyak pihak, mungkin disebabkan karena jenis tanahnya yang gembur dan kaya bahan organik.
“Jahe di sini mampu berproduksi tinggi dengan kualitas di atas rata-rata jahe dari daerah lain,” ucap Dedi.
Untuk itu, tampaknya wajar bila pemerintah, khususnya Dinas Pertanian Kabupaten Bogor mencurahkan perhatian pada agribisnis jahe di kawasan tersebut, termasuk dalam pembinaan kelembagaan petani serta pengawasan pasar.
“Jahe bisa menjadi produk unggulan agribisnis Puncak Dua, disamping bunga potong hortensia dan kopi,” jelas Dedi. Ditambahkannya bahwa sejak beberapa waktu terakhir pihak perbankan, khususnya BRI, tampaknya cukup peduli dan menyatakan siap mendukung usahatani jahe di Sukawangi.
***Riz***