Hati-hatilah Dalam Perdagangan Karbon

Perlu berhatihati dalam melakukan perdagangan karbon. Karena dikhawatirkan ada saja pihak ketiga yang bisa menunggangi rencana perdagangan carbon perusahaan.

BAGAI tersentak dari tidur, semua pihak bangkit bersemangat dalam menyikapi sebuah peluang baru, seiring derasnya isu perubahan iklim. Tentang ‘ekonomi karbon’, bagaikan suasana ‘gelap fajar’. Sebentar lagi siang,  dan pergulatan pasar akan semakin riuh.  

Berbagai pihak, mulai dari pemerintah hingga perusahaan besar, kini bersemangat mencari tahu tentang potensi ekonomi karbon dan cara menghitungnya. Lembaga berkompeten pun menggelar pelatihan, seperti yang digelar oleh PKSPL IPB misalnya.

Kegiatan yang bertajuk ‘Blue Carbon Accounting Training’ tersebut digelar mulai Senin (06/02) hingga Rabu (08/02) di Kampu IPB University Baranang Siang Bogor. Sedangkan praktek lapangan rencana dilaksanakan besok (Kamis, 09/02) di pesisir Kepulauan Seribu – Jakarta. Tercatat puluhan orang dari sejumlah instansi menjadi peserta dalam kegiatan itu.

Salah seorang pembicara dalam training tersebut adalah Dr. I Wayan Susi Dharmawan dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Kepada para peserta dijelaskannya soal metodologi, skema dan regulasi perdagangan Karbon.

Dikatakannya bahwa Forest Referance Emision Level  (FRL) penting diketahui, karena berfungsi untuk menentukan acuan dalam menilai prestasi penurunan emisi bagi perusahaan. Menurutnya, ada dua konteks yang dapat digunakan dalam penuruanan emisi menggunakan FREL.

Yang pertama; yaitu perdagangan karbon dengan basis perdagangan emisi dan offset emisi. Dalam hal ini akan nada pemindahan hak katas karbon tersebut. Kemudian yang kedua; yaitu Result Best Payment atau pembayaran berbasis kinerja penurunan emisi. “Dengan kata lain dilakukan tanpa pemindahan hak atas karbon yang dimilik kepada market. Sehingga ini menjadi alasan mengapa penggunaan metode ini perlu diketahui,” Jelas Wayan.

Dulukan Target NDC

Meski demikian, wayan menegaskan kalau saat ini belum diperbolehkan melakukan perdaganagan karbon pada market yang tesedia di internasional. Hal ini dikarenakan Indonesia sendiri harus terus berupaya secepat mungkin untuk melakukan pemenuhan National Determined Contributian (NDC) Nasional terlebih dahulu.

“Nanti, karbon dapat dijual di market international jika telah melewati ambang batas NDC yang ditentukan,” ungkap Wayan.

Wayan juga menyampaikan bahwa setiap perusahaan harus berhati-hati dalam melakukan perdagangan karbon. Karena dikhawatirkan ada saja para pihak ketiga yang bisa menunggangi rencana perdagangan carbon perusahaan.

Potensi Emisi Pesisir

Selain hutan dan perkebunan di daratan, peluang yang tak kalah besar pun terdapat di pesisir pantai. Coastal zone atau pesisir Indonesia yang terdiri dari mangrove, padang lamun (seagrass), dan rawa pasang surut, mempunyai potensi dalam menyerap emisi.

Mengutip data dari Country Overshoot Days 2021, Indonesia menempati posisi paling belakang, namun justru hal ini berarti positif. “Semakin belakang posisi suatu negara, maka pengelolaan ekosistemnya digolongkan semakin efisien,” jelas Wayan.

Dari data tersebut dapat diketahui bahwa potensi serapan karbon oleh magrove berkisar antara 613 – 892 ton CO2e/Ha. Hal ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan seagrass atau rawa pasang surut yang berkisar 1 ton CO2e/Ha.

Artinya, mangrove jauh lebih potensial dalam menurunkan emisi. Untuk mengembangkan blue carbon project di mangrove, menurut Wayan, ada empat tipikal yang dapat digunakan sebagai acuan.

“Yang pertama adalah deforestasi/degradasi tinggi dan reforestasi tinggi. Tipe ini dapat dijumpai di daerah NTT dan NTB. Yang kedua adalah deforestasi/degradasi rendah dan reforestasi tinggi. Yang ketiga adalah deforestasi/degradasi tinggi dan reforestasi rendah. Dan keempat adalah deforestasi/degradasi rendah dan reforestasi rendah,” papar Pakar dari BRIN tersebut.

***Riz***

Reporter: Fuji Ardi Kartono, Meta Dwi Yanti

Redaksi Green Indonesia