Oleh:
Kresno Agus Hendarto¹, Lukas Rumboko Wibowo¹, Sanusi¹, Dewi Ratna Kurniasari¹, dan Deddy Dwi Nur Cahyono²
PERNAHKAH melihat iklan layanan masyarakat tentang helm yang harus berbunyi “klik” ketika akan digunakan? Jika pernah, hal ini disebabkan karena selain International Organization for Standarization (ISO), di Indonesia juga memiliki standar yang dinamakan Standar Nasional Indonesia (SNI).
Perbedaan utamanya adalah bahwa ISO berlaku secara global; sedangkan SNI hanya berlaku secara nasional.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20, 2014 menyatakan bahwa adopsi Standar Nasional Indonesia (SNI) bersifat sukarela; namun demikian, dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah (PP 34, 2018 ayat 3), dinyatakan bahwa adopsi SNI dilakukan secara sukarela berdasarkan kebutuhan.
Dalam hal SNI berkaitan dengan: (a) keselamatan, keamanan, kesehatan, dan pelestarian; (b) daya saing produsen nasional dan persaingan usaha; (c) kemampuan dan kesiapan dunia usaha nasional; (d) kesiapan infrastruktur LPK; (e) budaya, adat istiadat, atau tradisi berdasarkan kearifan lokal; dan/ atau; (f) kepentingan nasional lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, menteri dan/ atau kepala pemerintah non kementerian teknis dapat memberlakukan secara wajib sebagian atau seluruh spesifikasi teknis dan atau parameter dalam SNI (Pasal 25 Ayat 1)..
Di Indonesia, dalam konteks menentukan mutu bibit yang berkualitas dapat mengacu pada SNI nomor 8420 tahun 2018 tentang Bibit Tanaman Hutan, meliputi diameter batang, kekompakan media, jumlah daun dan tinggi bibit (Djafar et al, 2024). Pemilihan jenis tanaman untuk Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) didasarkan pada permintaan masyarakat dan kesesuaian jenis tanaman dengan lokasi. Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Nomor 23, 2021) penyediaan bibit tanaman untuk kegiatan ini dapat dikatagorikan menjadi 2, yaitu pembuatan dan pengadaan. Pembuatan bibit dilakukan dalam bentuk: (1) Persemaian Permanen; (2) Persemaian Modern; (3) Kebun Bibit Rakyat dan/ atau Kebun Bibit Desa; dan (4) Persemaian yang dibuat oleh masyarakat/ badan usaha. Khusus untuk jenis Sengon, Jati, Mahoni, Gmelina, Jabon, Cendana, Kayu putih, Kemiri, Cempaka, Pinus, dan Gaharu harus menggunakan Benih yang diambil dari Sumber Benih bersertifikat (SK Menteri Kehutanan Nomor 707, 2013; SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 396, 2017 dan SK Mentri KLHK Nomor 548, 2017).
Faktor Berpengaruh
Lalu, faktor apa saja yang mempengaruhi pelaksana kegiatan RHL mengadopsi benih berserifikat?
Tulisan ini berusaha menjelaskan hal tersebut dengan menggunakan teori mecoba (Theory of Trying) dari Bagozzi and Warshaw (1990). Dalam teori tersebut, niat mencoba disebabkan oleh: (1) faktor personal, dalam hal ini adalah sikap; (2) faktor sosial, dalam hal ini adalah persetujuan atas perilaku oleh orang lain yang berpengaruh bagi dirinya; dan (3) frekuensi mencoba sesuatu pada masa lalu (Gambar 1).
Dalam kegiatan RHL ada 3 stakeholder utama yang berperan, yaitu stakeholder primer, sekunder, dan eksternal (Brown 2005).
Stakeholder primer adalah mereka yang terdampak dari output RHL (misalnya petani, nelayan dll); stakeholder sekunder adalah pembuat keputusan dan bertugas untuk melaksanakannya, meskipun hasilnya tidak berdampak langsung pada mereka; dan stakeholder eksternal adalah yang mempengaruhi opini dari kegiatan (misalnya, NGO).
Dari hasil wawancara terstruktur terhadap 330 stakeholder sekunder di bebaerapa DAS prioritas (seluruh propinsi di Pulau Jawa dan Propinsi NTB) menunjukkan bahwa teori ini dapat menjelaskan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi hal tersebut?
Dimensi yang pertama adalah adalah sikap terhadap kesuksesan yang dirasakan oleh pelaksana RHL ketika mengadopsi bibit sertifikat selanjutnya akan membentuk sikapnya terhadap proses adopsi bibit bersertifikat. Kedua adalah sikap terhadap kegagalan yang akan berpengaruh negatif pada adopsi benih bersertifikat. Dimensi yang ketiga adalah sikap terhadap proses. Sikap para pelaksana FLR terhadap proses pengadopsian benih bersertifikat akan berpengaruh pada sikap pengadopsian benih berserifikat. Ketiga dimensi ini (sikap terhadap kesuksesan, sikap terhadap kegagalan dan sikap terhadap proses) akan berpengaruh kepada faktor personal stakeholder sekunder.
Faktor social (norma Subyektif) mempunyai pengaruh positif pada niat untuk mengadopsi benih bersertifikat. Norma subjektif, atau tekanan sosial yang dirasakan untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perilaku, dapat berdampak signifikan terhadap niat untuk mencoba sesuatu yang baru. Terdapat beberapa alasan terkait dengan pengaruh norma subjektif terhadap niat mencoba, yaitu: (1) Validasi sosial. Para pelaksana RHL yang mencoba mengadopsi benih bersertifikat sering kali mencari validasi dan persetujuan orang lain atas perilaku mereka. Jika norma subjektif menyatakan bahwa mengadopsi benih bersertifikat dapat diterima secara sosial atau bahkan dianjurkan dalam lingkaran sosial atau komunitas mereka, maka pelaksana RHL tersebut akan cenderung berniat mencobanya agar sesuai dengan norma-norma tersebut dan mendapatkan persetujuan social; (2). Pengaruh teman sebaya. Teman, keluarga, kolega, dan individu penting lainnya dapat secara langsung memengaruhi niat para pelaksana RHL dalam mengadopsi benih bersertifikat melalui pendapat, rekomendasi, atau perilaku mereka. Jika orang-orang dekat seseorang menunjukkan sikap positif terhadap perilaku serupa, hal ini dapat meningkatkan niat untuk mencoba melalui pengaruh social; (3) Harapan yang dirasakan. Persepsi terhadap apa yang diharapkan pelaksana RHL dari seseorang dapat membentuk niatnya untuk mencoba mengadopsi benih bersertifikat. Jika pelaksana RHL yakin bahwa orang terdekat atau kelompok berpengaruh mengharapkan mereka untuk mencoba mengadopsi benih bersertifikat, mereka mungkin akan lebih cenderung melakukannya untuk memenuhi ekspektasi tersebut dan menghindari potensi ketidaksetujuan atau sanksi social; (4) Keyakinan normative. Jika pelaksana FLR merasa bahwa orang lain yang dianggap penting percaya bahwa mencoba mengadopsi benih bersertifikat itu bermanfaat atau diinginkan, hal ini akan meningkatkan niat mereka untuk mencoba menyelaraskan dengan keyakinan dan norma yang dianggap tersebut.
Faktor perilaku lampau mempunyai pengaruh positif pada niat untuk mengadopsi benih bersertifikat. Beberapa hal yang harus dijadikan perhatian terkait perilaku masa lalu adalah sebagai berikut: (1) Konsistensi perilaku. Pelaksana RHL cenderung menunjukkan konsistensi dalam perilaku mereka. Jika mereka sebelumnya pernah mencoba hal baru dan memiliki pengalaman positif, kemungkinan besar mereka akan memiliki niat yang lebih tinggi untuk mencoba hal serupa di masa depan. Konsistensi ini berasal dari keyakinan bahwa perilaku masa lalu mereka mencerminkan preferensi dan kecenderungan pribadi; (2) Efikasi diri. Upaya sukses di masa lalu dalam mencoba hal-hal baru dapat meningkatkan efikasi diri para pelaksana RHL; (3). Ekspektasi hasil. Perilaku masa lalu para pelaksana RHL dalam mengadopsi benih bersertifikat akan membentuk keyakinan tentang konsekuensi mencoba sesuatu yang baru; (4) Kontrol yang dirasakan. Perilaku masa lalu memengaruhi persepsi kendali atas tindakan di masa depan. Para pelaksana RHL yang telah berhasil mencoba hal-hal baru di masa lalu seperti mengadopsi benih bersertifikat mungkin menganggap dirinya memiliki kendali lebih besar atas perilakunya; (5). Umpan balik dan adaptasi. Umpan balik dari pengalaman masa lalu mereka dalam mengadopsi benih bersertifikat akan menginformasikan niatnya di masa depan untuk mengulanginya. Pengalaman positif di masa lalu dalam mencoba mengadopsi benih bersertifikat akan meningkatkan kemungkinan niat untuk mencoba aktivitas serupa di masa depan, sementara pengalaman negatif dapat mengarah pada penilaian ulang niat berdasarkan pembelajaran.
Dari sudut pandang praktis, Pemerintah yang mempromosikan benih bersertifikat harus menyesuaikan strategi yang mewajibkan dengan mempertimbangkan ketiga faktor tersebut. Dengan mempertimbangkan faktor- faktor tersebut, Pemerintah dapat menyesuaikan pesan- pesan tentang kewajiban menggunakan benih yang berserifikat agar dapat diterima oleh stakeholder sekunder. Dalam hal ini Pemerintah dapat melakukan demplot (demontasi plot), simulasi dan tutorial untuk menunjukkan bahwa kewajiban menggunakan benih bersertifikat adalah tugas yang mudah. Pemerintah juga perlu mendorong/ melakukan sertifikasi benih tanaman yang lebih banyak lagi (terutama yang endemic). Selain itu, mendorong stakeholder sekunder untuk menyampaikan masukan dan komentar mereka mengenai benih berserifikat jenis tanaman tertentu (misalnya: kecukupan sumber benih, permintaan pasar, serta penyediaan dan distribusi) juga dapat dilakukan. Hal ini akan dapat merangsang keterlibatan dan partsipasi stakeholder sekinder.
1) Badan Riset dan Inovasi Nasional, Jakarta
2) Badan Riset dan Inovasi Nasional, Cibinong
No comment