“Darah Naga”: Pusaka yang Tersia-sia

 Ini sebuah ironi;  berbagai produk dari rotan jernang harganya sangat mahal. Namun keberadaannya di Indonesia kian menipis.

Enny Widyati

HUTAN Indonesia sangat kaya. Pantas disebut sebagai salah-satu megabiodiversity di dunia. Diantara kekayaan flora tersebut adalah rotan.

Di dunia ini terdapat 13 marga rotan, delapan (8) marga diantaranya ditemukan di Indonesia. Diantaranya Calamus, Daemonorops, Korthalsia, Plectocomia, Plectocomiopsis, Calopspatha, Bejaudia, dan Ceratolobus.

Sedangkan jenis, di Indonesia ditemukan kurang lebih 312 dan baru. Sebanyak 51 jenis diantaranya telah dimanfaatkan (Jasni et al., 2012). Beberapa daerah penghasil rotan di Indonesia berada di Pulau Kalimantan, Sumatera, Jawa, Sulawesi, dan Papua.

Pada umumnya rotan dimanfaatkan batangnya. Namun ada sebagian golongan yang menghasilkan resin pada kulit buahnya. Golongan ini di Indonesia dikenal dengan nama rotan jernang. Penyebarannya terbatas di Semenanjung Melayu (Malaysia, Indonesia bagian Barat terutama Pulau Sumatera dan Kalimantan Bagian Barat) dan Thailand.

‘Darah Naga’

Produk resin buah jernang diperdagangkan secara internasional dengan nama ‘darah naga’ (dragon blood).

Secara lebih khusus, resin rotan jernang disebut dragon blood rattan. Hal ini karena dari daerah Afrika juga menghasilkan dragon blood yang berasal dari tumbuhan Dracaena cinnabari yang disebut sebagai tanaman suji Socotra.

Nilai Ekonomi

Secara umun resin dragon blood baik yang berasal dari suji Socotra maupun rotan mempunyai manfaat sebagai obat tradisional dan sebagai pewarna alami.

Masyarakat daratan China, Eropa dan Amerika memanfaatkan pewarna darah naga untuk mewarnai biola dan perabotan rumah tangga karena memiliki warna yang eksotik, merah keunguan (burgundy).

Sementara masyarakat sekitar hutan Sumatera dan Kalimantan banyak memanfaatkan getah jernang sebagai obat tradisional, antara lain untuk mengobati luka baru, sebagai pilis dan obat diare.

Hasil analisis bahan aktif resin yang berasal dari C. draco, resin jernang mengandung senyawa dracorhodin, dracorubin, dracoalban, dracoresene, dracoresinotannol, dracooxepine dan dracoflavan (Gupta et al., 2008).

Rotan jernang memiliki peranan yang penting sebagai mata pencaharian masyarakat. Buah rotan jernang dapat dijual secara langsung kepada pengepul.

Namun apabila dilakukan pemrosesan, harga resin dapat berkisar antara 1.000.000-3.000.000 rupiah per kilonya. Harga tersebut akan semakin meningkat sejalan dengan makin tingginya rantai penjualan.

Selain itu, prospek penjualan getah jernang masih sangat terbuka. Karena permintaan ekspor ke China sekitar 400-500 ton/tahun tetapi Indonesia baru mampu memenuhi 27 ton/tahun (Sumarna, 2008).

Nyaris Punah

Walaupun prospek pemasaran masih sangat terbuka lebar, namun kemampuan Indonesia untuk memenuhi permintaan pasar ekspor semakin menurun. Beberapa penyebabnya ialah praktek pemanenan yang tidak ramah.

Selama ini masyarakat mendapatkan jernang dengan cara memanen dari hutan alam. Namun para “pemburu” jernang memanen dengan cara yang sembrono. Mereka tidak menyisakan buah sedikitpun untuk dibiarkan menjadi tua dan dapat dijadikan menjadi bibit.

Bahkan seringkali mereka melakukan penebangan batang jernang yang tinggi untuk ditarik dan dipanen buahnya. Akibatnya pohon jernang akan mati dan hilang kesempatan untuk memanen pada musim berikutnya.

Budidaya rotan jernang tidak mudah. Setelah biji berkecambah perlu waktu 2 tahun untuk dapat ditanam di lapangan. Beberapa kelompok masyarakat sudah melakukan budidaya rotan jernang di Jambi, Sumatera Selatan dan di Gorontalo, namun belum ada laporan keberhasilan yang memuaskan.

Saran Strategi

Produksi bibit menggunakan teknik kultur jaringan, misalnya kultur antera, mikropropagasi, dll. pada jenis rotan jernang yang menghasilkan banyak buah dan kandungan resin tinggi.

Memanfaatkan tegakan karet tua untuk mengurangi biaya pembangunan hutan pohon panjatan, atau untuk meningkatkan produktivitas lahan perkebunan karet. Karena jernang baru dapat dipanen pada umur 7-8 tahun, maka penanaman dapat dilakukan ketika pohon karet masih produktif.

Jernang diperdagangkan dalam dalam bentuk buah, serbuk, atau dalam bentuk olahan padat (dok: Enny 2016)

Selanjutnya, perlu didorong pemberlakuan peraturan adat/daerah tentang pemanenan rotan jernang  untuk menjamin kelestarian populasinya di hutan alam. Disamping itu, peran aktif masyarakat sangat diperlukan, baik pada kegiatan restorasi hutan alam maupun melakukan budidaya di luar habitatnya.

Yang tak kalah penting lagi ialah, mencegah meluasnya deforestasi dan degradasi hutan dengan melakukan restorasi hutan alam yang menjadi habitat rotan jernang.

Enny Widyati, Peneliti Ekologi dan Etnobiologi-BRIN

Redaksi Green Indonesia