Industri kerajinan rotan bukannya makin berkembang, tapi malah makin lesu dan merosot.
SEBUT saja ‘manau’ (Calamus manan). Tumbuhan ini umumnya tumbuh di bawah tegakan hutan alam. Bahan baku industri permeubelan ini tersedia dan melimpah di hutan-hutan alam Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua.
Sementara industri pengoalahan rotan sebagian besar berada di Pulau Jawa. Lalu eksportir dan pengrajinnya tersebar dari ujung barat Jawa sampai Ujung Jawa Timur.
Pada saat kondisi hutan alam masih dalam keadaan yang normal, maka stok bahan baku rotan aman-aman saja. Tetapi saat kondisi hutan alam yang –sekarang ‘centang perenang’– mengalami degradasi dan deforestasi, maka ketersediaan stok bahan baku rotan menjadi tidak aman.
Lesu dan Merosot
Berdasarkan informasi dari seorang pengrajin rotan, di daerah Desa Trangsan Sukoharjo, bahwa sejak tahun 1980, ia sudah tidak menggunakan rotan manau. Alasannya, karena mahal, langka, dan sulit mencarinya.
Dijelaskannya bahwa industri kerajinan rotan bukannya makin berkembang, tapi malah makin lesu dan merosot. Jumlah pengrajin pun kemungkinan tinggal 20% saja.
Di Habitatnya Sulawesi, Sumatera, Kalimantan, tidak ada masyarakat yang menanam dan membudidayakan rotan, mereka semua mengambil dari alam.
Pada saat terakhir kunjungan ke Desa Trangsan, 2022 yang lalu, terlihat industri rotan mulai menggeliat lagi. Jumlah pengrajin meningkat menjadi 120 pengrajin. Artinya, permintaan bahan baku juga akan meningkat. Lalu bagaimana dengan ketersediannya? Apalagi jika melihat gencarnya serangan kelapa sawit terhadap hutan alam.
Ketika ditanyakan kepada seorang pengerajin; bagaimana kalau tanaman rotan manau ada di Pulau Jawa? Ia senang, karena berarti harga manau akan lebih murah sampai ke pengerajin. Tetapi ketika ditanyakan, apakah bapak ingin menanam rotan? Maka Ia pun bingung. Alasannya, tidak tahu tanam-menanam dan tidak mempunyai lahan.
Pertanyaan tersebut memang tidak tepat apabila ditanyakan kepada pengrajin, pabrikan ataupun eksportir yang hanya tahu ketersediaan bahan baku dan bahan jadi siap eksport. Pertanyaan tersebut harusnya ditanyakan kepada para pengambil keputusan agar mereka berpikir cepat dan integral, mengambil keputusan secara cepat dan tepat, bagi hidup dan kehidupan rakyatnya.
Desa Wisata Rotan
Menanam rotan, khususnya manau, sebenarnya mudah. Resiko serangan hama dan penyakit pun kecil. Hama rotan manau yang terutama adalah babi hutan, landak, dan kera. Sedangkan penyakitnya belum banyak ditemui.
Budidaya rotan manau dapat ditumpangsarikan dengan beberapa jenis pohon-pohonan.
Banyak yang beranggapan, menanam manau dapat mengganggu tanaman/pohon pokoknya, karena rotan manau dianggap benalu. Padahal tidak. Fungsi pepohonan untuk rotan manau adalah untuk sandaran dan lanjaran.
Hutan rakyat yang telah berkembang di tanah Jawa pada umumnya dan Solo Raya pada khususnya, secara umum belum memanfaatkan rotan manau sebagai tanaman lapis keduanya. Apabila hal ini dilakukan, maka rotan manau dapat berperan dalam pemanfaatan lahan yang lebih optimal, alias optimalisasi lahan.
Selain itu, rotan manau tersebut dapat menjadi tambahan pendapatan petani hutan rakyat.
Berdasarkan hasil penelitian, rotan manau yang ditanam pada hutan rakyat yang terpelihara dengan baik, sudah dapat dipanen pada umur delapan hingga sepuluh tahun, dengan diameter yang sudah masuk dalam kriteria eksport.
Riap tinggi rotan manau adalah 2,5 meter per tahun. Sehingga apabila petani menanam Mahoni dengan umur daur/ rotasi 40 tahun, maka petani maksimal akan memanen manau empat kali, minimal satu atau dua kali dengan panjang manau lebih dari 20 meter.
Dengan adanya tanaman rotan manau di Jawa, semoga geliat industri perotanan bangkit lagi, baik secara kualitas maupun kuantitas. Serta pendapatan asli daerah dari sektor kehutanan dapat meningkat.
Desa Trangsan, sebagai Desa Wisata Rotan, dalam waktu dekat akan meningkatkan gelarnya menjadi Desa Devisa Rotan. Semoga…
Heru Dwi Riyanto, Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi. Badan Riset dan Inovasi Nasional
***Riz***