Climate Change, Daging Sapi dan Tempe

Semakin terasa. Perubahan iklim telah mengganggu, dan mengancam ketahanan pangan. Berkurangnya produksi mengakibatkan harga pangan melambung tinggi. Kasus tahu, tempe dan daging sapi misalnya, telah membuat konsumen ‘menjerit’.

HARGA-HARGA melambung tinggi, masyarakat resah. Diawali kenaikan harga tahu-tempe, lalu menyusul daging sapi. Bukan hanya konsumen rumah tangga, pedagang kedua bahan pangan itu pun sempat mogok berjualan.

Dua bahan pangan itu diproduksi di Indonesia, namun jumlahnya tak mampu memenuhi kebutuhan ratusan juta penduduk negeri ini. Sejak puluhan tahun lamanya, sebagian besar kacang kedele dan daging sapi (bakalan) berasal dari negara lain, alias impor. Bahan baku tahu-tempe tersebut diimpor dari negara lain seperti Brazil dan Argentina, sementara sapi bakalan berasal dari Australia dan Selandia Baru.

Dampak kelangkaan kedua bahan pangan tersebut cukup meresahkan. Pasalnya, kedele misalnya, selain sebagai bahan baku tahu-tempe, juga merupakan pelengkap pakan ternak. Alhasil, efek selanjutnya, harga daging ayam dan telurpun bisa melambung.

Kasus yang terjadi akhir-akhir ini sebenarnya bukan barang baru bagi Indonesia. Kejadiannya sudah berulang kali sejak beberapa tahun belakangan. Bahkan untuk daging sapi, menurut Dicky A. Adiwoso, tokoh feedlot (penggemukan sapi) nasional, seperti dikutip sebuah mediamassa, bahwa sebenarnya peristiwa seperti ini gejalanya sudah dirasakan sejak 30 tahun lalu.

Salah-satu penyebabnya ialah perubahan iklim. Bagaimana tidak? Kekeringan dan bahkan kebakaran lahan di negara produsen sapi terbesar dunia (Australia) itu, akan berdampak pada produktivitas peternakan sapi.

Suka atau tidak suka, Indonesia harus mengantisipasinya. “Politik pertanian dan kebiajakan pedagangan kita dituntut untuk mampu beradaptasi dengan kondisi global,” ungkap Tulus Abadi dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dalam sebuah wawancara Kompas TV beberapa hari lalu.

Ancam Produksi Kedelai

“Cuaca ekstrem dapat sangat berdampak pada sektor pertanian. Kekeringan yang ekstrem dan curah hujan yang tinggi dapat berdampak buruk pada hilangnya produktivitas tanaman,” jelas Kepala Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta, dalam siaran persnya, Minggu (14/2/2022) yang dikutip bisnis.com.

Menurutnya,  perubahan iklim dapat mengganggu ketersediaan pangan dan mengancam ketahanan pangan. Secara sederhana, berkurangnya produksi akan mengakibatkan harga pangan menjadi lebih mahal. Kenaikan harga dapat berdampak pada akses, keterjangkauan dan pemanfaatan pangan.

Cuaca ekstrim turunkan produksi kedelai. Berdasarkan data Chicago Board of Trade (CBOT), harga kedelai dunia pada minggu kedua Januari 2022 sekitar US$13,77 per bushel, atau setara dengan US$505 per ton, naik dari kondisi minggu pertama Januari 2022 yaitu US$13,15 per bushel atau setara US$483 per ton. Kenaikan itu membuat landed price diperkirakan berada di kisaran Rp8.500 per kilogram (kg), dan harga di tingkat importir diperkirakan Rp9.300 per kg.

Harga tersebut lebih tinggi dari posisi pada Desember 2021, dimana landed price berada pada kisaran Rp7.695 per kg, dan di tingkat importir sebesar Rp8.378 per kg. Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag Oke Nurwan menjelaskan bahwa kenaikan harga kedelai disinyalir terjadi sebagai dampak dari cuaca ekstrem yang terjadi di negara produsen kedelai, seperti Argentina dan Brasil.

Iklim dan Daging Sapi

Krisis daging sapi sempat melanda di Australia. Sebagai salah satu negara yang paling sering melakukan ekspor daging sapi ke Indonesia, jumlah ekspor itu akhirnya harus menurun.
Seperti dilaporkan detik.com, Menteri Pertanian dan Menteri untuk Wilayah Utara Australia, David Littleproud, bercerita soal ngerinya krisis ternak sapi di negaranya. Menurutnya semua terjadi karena adanya perubahan cuaca besar-besaran di Australia. Dia mengatakan selama dua tahun ini Australia pernah dilanda kekeringan yang membuat peternak kesulitan mendapat pakan. Di sisi lain, banjir besar juga sempat terjadi dan membuat banyak ternak mati.

“Tantangan dengan ekspor kami adalah perubahan iklim. Kami mengalami salah satu kekeringan terburuk dalam sejarah negara kami. Dan kemudian dalam periode 24 jam, kami kehilangan setengah juta sapi karena banjir,” ungkap David saat melakukan kunjungan pada salah satu supermarket di Jakarta Selatan, Rabu (26/1/2022).

David bercerita para peternak di Australia selama dua tahun sedang melakukan pemulihan besar-besaran. Terlebih lagi Australia dikenal sebagai salah satu negara pemasok daging sapi terbesar di dunia.

Adaptasi & Sistem Pangan

“Oleh karena itu, masa depan sistem pangan kita bergantung pada kemampuan kita untuk beradaptasi dan menciptakan sistem pangan yang tangguh. Menciptakan sistem pangan yang tangguh untuk beradaptasi dengan dampak perubahan iklim harus menjadi prioritas utama bagi Indonesia,” lanjut Felippa.

Sudah sejak lama, pemerintah – dalam hal ini Kementerian Pertanian, mencanangkan swasembada daging dan kedelai, namun tekad berulang kali itu tak kunjung tercapai. Meski sudah puluhan tahun, dan telah beberapa menteri berganti, pencanangan itu hanya bagai wacana semata. Sementara perubahan iklim terus berlanjut.

***Riz***

No comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *