Oleh:Muhammad Ridwan*)
Blue Carbon (BC) kini sedang jadi primadona. Dimana – mana orang bicara BC. Sejak keluarnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 98 tahun 2021, BC resmi sudah menjadi nomenklatur baru di Indonesia. Sejak itu pula BC jadi buah bibir, dibicarakan dan diharapkan. Apakah harapan akan jadi kenyataan atau hanya sekedar fatamorgana?
BENARKAH BC sebagai sebuah kebijakan negara baru dimulai tahun 2021 ? Secara harfiah iya. Tetapi secara prinsip, BC sudah ada sejak lama, terutama sudah tercantum pada UUD pasal 28H yang menyebutkan negara harus menjamin kehidupan dan lingkungan yang layak bagi warga negaranya. Selain itu pada Pasal 33 UUD ayat 4 juga disebutkan tentang perekonomian yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Inilah dasar berpijak BC di Indonesia yang sudah ada pada konstitusi negara.
Mungkinkah pendekatan BC di Indonesia bisa diterima masyarakat global? Pertanyaan ini menggelitik dan menarik. Untuk bisa diakui di nasional dan internasional, standar BC harus sesuai dengan Standar Nasional Indonesia dan mengacu pada aturan – aturan teknis pada dokumen standar internasional yaitu IPCC guideline.
Setelah Perpres 98 tahun 2021, Pemerintah Indonesia bergerak cepat, menindaklajuti dengan keluarnya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor 21 tahun 2022 tentang Tata Laksana Penerapan Nilai Ekonomi Karbon (NEK). Dengan keluarnya Permen LHK tahun 2022 semakin jelas bagi parapihak siapa dan dimana bisa melakukan upaya pengurangan emisi sektor kehutanan, lahan dan blue carbon.
BC Mangrove dan Lamun
BC di Indonesia bisa dilakukan pada areal mangrove dan padang lamun. Untuk mangrove sudah jelas definisi dan tata cara pengurangan emisinya. Mangrove dapat berpartisipasi dalam mengurangi emisi nasional karena sudah diatur dalam Pereturan Menteri Kehutanan Nomor 14 tahun 2004 yang menyebutkan definisi mangrove (hutan) dengan syarat luas minimal 0,25 ha, tutupan tajuk minimal 30% dan tinggi tanaman bisa mencapai 5 meter. Tantangan selanjutnya adalah bagaimana mendefinisikan padang lamun dalam konteks penghitungan biomassa, karbon dan emisi.
Pemerintah dan parapihak, terutama akademisi yang concern dengan isu blue carbon perlu segera membuat definisi padang lamun. Apakah ada syarat minimal luas untuk istilah padang lamun ? Atau adakah syarat tutupan minimal untuk padang lamun ? Hal – hal teknis ini perlu didefinsikan sehingga semua pihak yang ingin berpartisipasi dalam upaya pengurangan emisi BC sudah memiliki pemahaman dasar yang sama.
Tantangan BC
Selain definisi padang lamun, hal yang tidak kalah penting untuk implementasi pengurangan emisi BC adalah ketersediaan metodologi di nasional. BC bisa belajar cepat dari pengalaman sektor kehutanan dan lahan. Saat ini untuk implementasi pengurangan emisi sektor kehutanan dan lahan sudah tersedia perangkat Standar Nasional Indonesia (SNI), standar yang sudah diakui pada Sistem Registrasi Nasional dan juga sudah bisa mengacu pada standar dari UNFCCC.
Dalam konteks metodologi, BC bisa memulai dengan membuat Standar Khusus dalam upaya BC untuk menurunkan emisi. Penyediaan metodologi dalam bentuk Standar Khusus ini penting agar dalam waktu yang relatif cepat, BC bisa segera ikut berpartisipasi membuat Dokumen Rancangan Aksi Mitigasi (DRAM). Secara bertahap selanjutnya pemerintah dan parapihak menyiapkan metodologi pengurangan emisi dalam bentuk SNI.
Ketersediaan metodologi pengurangan emisi BC ini sangat penting. Tanpa adanya metodologi pengurangan emisi BC, maka parpihak tidak akan bisa mendaftarkan kegiatan pengurangan emisi dari BC ke SRN. Apabila tidak bisa mendaftarkan DRAM ke SRN maka BC akan makin lama untuk diterima dalam konteks pengurangan emisi di Indonesia.
Provinsi dan Kabupaten Percontohan
Upaya pengurangan emisi di nasional bisa dilakukan oleh pemerintah (pemerintah pusat, daerah, BUMN dan BUMD), swasta dan masyarakat. Dalam konteks aksi mitigasi yang dilakukan oleh pemerintah, bisa dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN dan BUMD. Untuk pemerintah daerah bisa dilakukan oleh pemerintah provinsi dan pemerintah level kabupaten/kota.
Pelaksanaan aksi mitigasi pada level provinsi atau kabupaten/kota bisa dilakukan dengan basis yurisdiksi. Pola pengurangan emisi dengan yurisdiksi berupa batasan administratif pemerintah provinsi, kabupaten/kota. Contoh pelaksanaan aksi mitigasi yurisdiksi sudah dilakukan oleh Provinsi Kalimantan Timur yang bekerjasama dengan Word Bank. Kelebihan aksi mitigasi yurisdiksi adalah wilayah cakupan yang luas dan dilakukan pada berbagai tipe tutupan lahan.
Untuk BC, kegiatan berbasis yurisdiksi bisa dilakukan pada provinsi atau kabupaten/kota percontohan. Dengan adanya percontohan ini, maka akan diperoleh pembelajaran menarik berupa mekanisme kerjasama, kelembagaan yang sesuai, metodologi yang tepat, capacity building yang dibutuhkan dan benefit sharing mechanism atau pola bagi hasil untuk parapihak.
Momentum BCL
Sekaranglah saatnya Blue Carbon Lover (BCL) harus berlari kencang. Momentum berbagai pihak di dalam dan luar negeri sedang demam BC, menjadi peluang dan harus dimanfaatkan. Moementum ini perlu disambut dengan menyediakan perangkat regulasi, metodologi dan lokasi percontohan BC. Dengan tersedianya provinsi atau kabupaten/kota percontohan BC, maka parapihak dapat saling belajar, diskusi dan koreksi.
Kegiatan United Kingdom-Indonesia Consortium for Interdisciplinary Sciences (UKICIS)-IPB yang dibiayai oleh Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) sudah meloloskan beberapa studi. Salah satu yang terpilih dari IPB adalah Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) – IPB yang bekerasama dengan Sekolah Ilmu Lingkungan – Universitas Indonesia dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Kerjasama riset Blue Economy dari IPB, UI dan BRIN ini melakukan studi pada empat Pulau yaitu Pulau Bintan (Sumatera), Kepulauan Seribu (DKI Jakarta) mewakili Pulau Jawa, Lombok Barat – mewakili Nusa Tenggara dan Raja Ampat – mewakili Pulau Papua.
Studi UKICIS pada 4 pulau ini sudah menghasilkan hal – hal yang penting berupa faktor emisi lokal untuk mangrove dan lamun. Selain itu juga diperoleh hasil studi referensi emisi pada empat pulau dan juga proyeksi emisi dari mangrove dan lamun.
Hangatnya sambutan parapihak di dalam dan luar negeri, BCL perlu berlari lebih kencang untuk pengembangan riset, percontohan dan bisnis carbon dari BC. Tantangan BC berupa ketersediaan panduan measurement, Reporting dan Verification (MRV) sebaiknya dapat diselesaikan tidak lebih dari tiga tahun ke depan. Apabila pada sektor kehutanan dan lahan ada istilah Forest reference Emission Level (FREL/FRL) maka untuk Blue Carbon perlu segera membuat dokumen Seagrass Reference Emission Level (SREL). Momentum BC yang sedang hangat, perlu disambut oleh BCL dengan berlari cepat atau tertinggal jauh dan makin terlambat.
*)Blue Carbon Accounting Specialist – Peneliti PKSPL IPB – Anggota Peneliti Kegiatan UKICIS.