Oleh: Nashwa Maheswari Wannawijaya1 dan Latifa Nuraini2
ANGGREK dikenal sebagai tanaman hias yang memikat. Kepopuleran tanaman ini sudah ada sejak 100 tahun lalu, terbukti dengan penelitian dari tanaman ini pertama kali tercatat sejak tahun 1872. Kemudian kepopuleranya meningkat sangat masif setelah masa pandemi COVID-19.
Anggrek memiliki corak warna bunga yang eksotis dan beragam, yang menjadikan daya tarik utama bagi para peminatnya. Bahkan, banyak komunitas anggrek sudah tersebar di Indonesia. Akan tetapi, banyak orang mengenal tanaman ini langka dan sulit tumbuh. Padahal, iklim tropis di Indonesia sangat cocok untuk pertumbuhan tanaman berbunga ini. Oleh karena itu, sekarang sudah mulai banyak dikenal pelaku bisnis anggrek yang sekaligus mengkonservasinya.
Dibalik pesonanya, keanekaragaman anggrek yang dimiliki Indonesia sudah mulai tercium potensinya oleh para peneliti terutama sebagai tanaman obat. Akan tetapi, hal ini menimbulkan pertanyaan apakah termasuk eksplorasi tanaman yang bijaksana atau justru menggelitik ke eksploitasi yang berlebihan?
Sebenarnya, anggrek sebagai tanaman obat bukanlah hal baru. Di belahan dunia lain yaitu Cina, salah satu genus anggrek yaitu Dendrobium sudah menjadi pengobatan tradisional selama lebih dari dua ribu tahun. Tanaman ini dipercaya bisa mengatasi demam dan meningkatkan kekebalan tubuh.
Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, dimulai dari penelitiaan terhadap kandungan kimianya seperti alkaloid, flavonoid, dan lain sebagainya dapat dimanfaatkan sebagai pengobatan modern seperti antikanker. Potensi anggrek sebagai salah satu sumber biodiversitas Indonesia ini mulai dilirik oleh para peneliti sebagai sumber bahan aktif farmasi. Namun, yang menjadi keresahan mengenai keberlanjutannya di masa depan.
Dilema baru antara eksplorasi dan eksploitasi bukan tanpa alasan. Sebagian besar spesies anggrek dikenal tumbuh lambat dan budidaya dalam jumlah besar sering sulit dilakukan. Deforestasi semakin mengancam anggrek yang langka dan hanya bisa tumbuh di kondisi habitat tertentu. Permintaan pasar yang tinggi baik sebagai tanaman hias maupun sebagai bahan obat dapat mendorong aksi penangkapan liar terutama di habitat aslinya. Jika hal ini terjadi secara berkelanjutan, ancaman kepunahan tidak dapat dihindari lagi.
Akan tetapi, pemanfaatan teknologi untuk pengembangan anggrek sebagai bahan aktif obat tidak selalu bertentangan dengan konservasi. Kedua hal tersebut dapat berjalan beriringan. Untuk mencegah eksploitasi berlebihan, budidaya anggrek berkelanjutan perlu ditingkatkan.
Salah satu kemajuan teknologi yang sudah tidak asing yaitu kultur jaringan. Teknologi kultur jaringan bisa menjadi pilihan memperbanyak anggrek secara cepat, efektif, dan efisien. Teknologi ini menawarkan solusi terhadap peningkatan jumlah populasi anggrek spesies dialam begitu pula dengan sifat genetik yang diturunkan dari tetuanya.
Pemerintah, peneliti, akademisi, pihak swasta, maupun masyarakat umum harus dapat bekerja sama menciptakan regulasi yang ketat untuk menjaga anggrek dari habitat aslinya, sekaligus dapat secara bijaksana memanfaatkan anggrek sebagai tanaman hias maupun mengungkap potensinya sebagai tumbuhan obat.
Anggrek menyimpan potensi besar bagi kesehatan manusia. Tumbuhan berbunga ini merupakan salah satu harta karun kekayaan tumbuhan Indonesia yang harus dilindungi dan dijaga. Oleh karena itu, pemanfaatannya harus dilakukan dengan bijak agar tidak berujung ke eksploitasi merugikan. Ekplorasi harus disertai pelestarian sehingga keindahan maupun potensinya dapat dimanfaatkan sampai generasi mendatang.***
1Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah Mada. 2Badan Riset dan Inovasi Nasional
No comment