Debora C. Purbani, Fiddy S. Prasetiya, Danang A. Prabowo, Diah R. Noerdjito, dan Varian Fahmi*)
PERNAHKAH Anda menjumpai danau, kolam, atau tambak dengan air berwarna kehijauan? Kemungkinan besar hijaunya warna perairan tersebut disebabkan oleh kelompok sianobakteri atau Cyanophyta.
Meskipun selnya tampak berwarna hijau, kelompok mikroalga yang unik ini sebenarnya memiliki pigmen dominan biru hijau (cyan) yang menjadi dasar penamaannya sebagai alga biru hijau (blue-green algae).
Menariknya, berbeda dengan mikroalga lainnya yang masuk dalam kelompok eukariota (organisme yang memiliki membran inti sel), sianobakteri merupakan satu-satunya kelompok mikroalga yang memiliki struktur sel prokariota (organisme yang tidak memiliki membran inti sel). Seperti bakteri, namun mampu melakukan fotosintesis; fitur yang tak dijumpai pada jenis bakteri manapun.
Kelompok mikroalga ini menjadi satu-satunya kelompok mikroorganisme yang mampu mengikat nitrogen dari udara melalui heterokista dan turut berperan penting dalam produktivitas primer melalui fotosintesis serta memainkan peran kunci dalam siklus biogeokimia.
Beberapa spesies sianobakteri mampu mengikat nitrogen dari atmosfer dan mengubahnya menjadi bentuk yang dapat digunakan oleh tanaman, seperti ammonia, melalui proses yang disebut fiksasi nitrogen. Hal ini membantu meningkatkan kesuburan tanah dan mendukung ekosistem darat maupun perairan.
Perintis Kehidupan di Bumi
Ketika bumi terbentuk sekitar 4,5 miliar tahun yang lalu, kondisinya sangat berbeda dengan kondisi bumi sekarang. Saat itu, bumi memiliki atmosfer yang tereduksi, terdiri dari karbon dioksida, metana, dan uap air. Berbeda dengan atmosfer saat ini yang sebagian besar terdiri dari nitrogen dan oksigen.
Meskipun sinar matahari memecah uap air di atmosfer menjadi oksigen dan hidrogen, oksigen bereaksi cepat dengan metana dan terkunci di kerak bumi, sehingga hampir tidak meninggalkan jejak apa pun di atmosfer. Lama kelamaan, ada kekuatan misterius yang bekerja dalam senyap dan melepaskan oksigen secara bertahap, hingga komposisi atmosfer berubah.
Entitas misterius itu ternyata adalah mikroorganisme sianobakteri.
Berbagai temuan ilmiah, termasuk rekaman fosil berusia 3,5 miliar tahun, memposisikan sianobakteri sebagai salah satu bentuk kehidupan yang paling awal mendiami bumi. Lalu bagaimana mungkin sianobakteri yang sangat kecil menjadi agen perubahan sebesar itu?
Di antara semua penemuan biokimia yang dapat diciptakan oleh kehidupan, kemampuan sianobakteri dalam memanfaatkan air sebagai bahan untuk menghasilkan oksigen menjadi salah satu kemampuan yang sangat penting.
Para peneliti berhipotesis bahwa kadar oksigen yang dilepaskan ke air laut oleh sianobakteri secara bertahap meningkat seiring waktu. Oksigen yang dilepaskan oleh sianobakteri terus terakumulasi di hamparan lautan yang luas dan mengoksidasi air.
Secara bertahap, oksigen yang terakumulasi mulai terlepas ke atmosfer, yang mana oksigen kemudian bereaksi dengan metana. Ketika lebih banyak oksigen terlepas, metana akhirnya tergeser, dan oksigen menjadi komponen utama atmosfer. Peristiwa ini, yang dikenal sebagai “peristiwa oksidasi besar,” yang terjadi sekitar 2,4 2,1 miliar tahun yang lalu. Peristiwa ini tidak hanya membuka jalan bagi perkembangan kehidupan aerobik, tapi juga adaptasi dan evolusi berbagai organisme lainnya.
Ketika sianobakteria berevolusi, oksigen yang diproduksi kemudian bertindak sebagai racun dan memusnahkan sebagian besar kehidupan anaerobik, sehingga menciptakan peristiwa kepunahan. Namun, sulit bagi para peneliti untuk memperkirakan garis keturunan tertentu yang menghilang, karena kurangnya bukti fosil yang konkret dan kesulitan dalam memperkirakan hilangnya spesies.
Seiring waktu, kehidupan kemudian menemukan cara untuk bertahan hidup di lingkungan oksigen yang beracun dengan memanfaatkan potensi oksigen yang kaya dalam respirasi. Karena oksigen memiliki potensi redoks yang tinggi, ia bertindak sebagai akseptor elektron terminal yang ideal untuk menghasilkan energi setelah pemecahan nutrisi. Oksigen menjadi sangat diperlukan untuk aktivitas metabolisme.
Organisme juga mengembangkan strategi untuk mendetoksifikasi spesies oksidatif reaktif yang dihasilkan dari metabolisme aerobik. Meskipun analisis sekuensing dan filogenetik memperkirakan evolusi enzim detoksifikasi ROS bahkan sebelum munculnya mikroba aerobik, peristiwa oksidasi besar bertindak sebagai katalisator untuk membentuk evolusi terarah enzim seperti superoksida dismutase dan katalase.
Organisme yang tidak dapat beradaptasi cukup baik terhadap oksigen tetap berada dalam lingkungan anaerobik. Pelepasan oksigen oleh sianobakteri dengan demikian bertanggung jawab atas perubahan komposisi atmosfer bumi, peningkatan metabolisme aerobik, dan, akhirnya, evolusi multiseluler.
Oksigen adalah molekul utama yang menjadikan bumi seperti sekarang ini, jauh lebih ramah dan indah daripada bumi purba. Tentu saja tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa keberadaan kita dalam bentuk sekarang ini berkat sianobakteri.
Kemampuan Adaptasi yang Luar Biasa
Kemampuan sianobakteria untuk beradaptasi dalam berbagai kondisi, menjadikan kelompok mikroalga ini dapat ditemui di hampir semua jenis lingkungan di bumi, mulai dari lautan hingga ke perairan tawar seperti danau dan sungai, kawasan pesisir dan mangrove di dataran rendah hingga perairan di pegunungan. Mikroorganisme ini dapat hidup juga di berbagai jenis tanah, termasuk tanah gurun, tanah hutan, dan tanah pertanian.
Beberapa spesies bahkan mampu bertahan di tanah yang sangat sedikit air serta menempel pada batuan. Selain itu sianobakteria dapat ditemukan di lingkungan ekstrem seperti sumber air panas (termofil), salinitas tinggi (halofil), dan lingkungan dengan pH ekstrem (asam atau basa). Mereka juga dapat ditemukan di kutub dengan suhu yang sangat rendah (psikrofil), bahkan di udara atau atmosfer, terbawa oleh partikel debu atau droplet.
Melalui fotosintesis, fiksasi nitrogen, adaptasi pigmen, mekanisme perlindungan sel, simbiosis dan kemampuan dormansi menjadikan sianobakteria dapat berfungsi sebagai spesies pionir yang mampu menjajah dan memodifikasi lingkungan baru.
Di Indonesia, keragaman sianobakteria telah diteliti antara lain oleh Purbani dkk pada dinding batuan Candi Borobudur di Jawa Tengah pada tahun 2020, di tanah budidaya sorgum di Jawa Barat pada tahun 2019, di perairan laut Tambrauw di Papua Barat pada tahun 2019, serta di air terjun Pongkar, Karimu, Riau pada tahun 2018.
Potensi yang Belum Banyak Dieksplorasi
Sianobakteri banyak menarik minat peneliti karena potensinya yang besar untuk dimanfaatkan dalam berbagai sektor industri, mulai dari farmasi, pertanian, pangan, hingga energi terbarukan. Sianobakteria diketahui mampu menghasilkan berbagai senyawa bioaktif yang memiliki sifat antimikroba, antikanker, antivirus, dan antiinflamasi.
Beberapa penelitian terkait senyawa bioaktif dari sianobakteri antara lain Siklosporin (obat imunosupresan yang penting dalam transplantasi organ, Dolastatin 10 (senyawa antikanker yang dikembangkan menjadi obat kemoterapi), dan Mycosporine-like Amino Acids (MAAs senyawa yang berfungsi sebagai tabir surya alami dan melindungi kulit dari radiasi UV).
Penelitian terbaru terkait sianobakteria telah dilakukan oleh Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi BRIN bekerjasama dengan Pusat Riset Vaksin dan Obat, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Universitas Brawijaya, Universitas Airlangga, dan Suranaree University of Technology Thailand serta Universitas Brawijaya dan Airlangga.
Penelitian yang dilakukan oleh Rosyidah dkk pada tahun 2024 ini, telah diterbitkan di Kuwait Journal of Science dengan mengembangkan metode pembuatan nanopartikel emas (AuNPs) melalui jalur sintesis hijau yang melibatkan ekstrak ethanol spesies mikroalga dari kelompok sianobakteri, sehingga menghasilkan produk nanopartikel emas yang terkarakterisasi sebagai penghasil antioksidan, antimikroba dan antikanker.
Spesies sianobakteri seperti Anabaena dan Nostoc telah banyak dimanfaatkan sebagai pupuk hayati untuk meningkatkan kesuburan tanah tanpa memerlukan pupuk kimia, karena kemampuannya dalam melakukan fiksasi nitrogen.
Beberapa spesies sianobakteri juga diketahui dapat menghasilkan hormon pertumbuhan tanaman seperti auxin dan cytokine yang dapat merangsang pertumbuhan tanaman, sehingga dapat digunakan sebagai biopestisida alami untuk mengendalikan hama tanaman. Spesies sianobakteria lainnya seperti Spirulina dikenal kaya akan protein, vitamin, mineral dan asam lemak esensial yang dapat digunakan sebagai suplemen makanan dan dianggap sebagai superfood karena kandungan nutrisinya yang tinggi.
Dengan demikian sianobakteri menawarkan solusi untuk ketahanan pangan dengan kebutuhan lahan dan air yang lebih sedikit dibandingkan dengan pertanian konvensional. Mikroorganisme ini dapat dikembangkan menjadi berbagai produk pangan seperti pasta, roti, dan minuman, maupun dalam bentuk fortifikasi pangan.
Selain itu sianobakteri juga memiliki potensi besar dalam produksi biofuel karena dapat menghasilkan lipid dan karbohidrat yang dapat diubah menjadi biodiesel dan bioethanol. Sadvakasova dkk pada tahun 2020 telah melakukan penelitian dan review mengenai bioproses produksi hidrogen dari sianobakteri, yang merupakan sumber energi terbarukan yang bersih.
Beberapa negara seperti Amerika Serikat, India, China, Australia, Spanyol, dan Belanda juga telah mengembangkan bioremediasi atau teknologi pengelolaan limbah menggunakan sianobakteri untuk menghilangkan nutrient berlebih seperti nitrogen dan fosfor yang membantu mencegah eutrofikasi dan memperbaiki kualitas air.
Sisi Lain yang Mengancam
Layaknya dua sisi mata uang, meskipun sianobakteri memiliki manfaat yang besar, pada kondisi tertentu kelompok mikroorganisme ini juga memiliki sisi gelap yang dapat menyebabkan masalah serius pada lingkungan, organisme lain, termasuk kesehatan dan aktivitas manusia, terutama ketika sel sianobakteri tumbuh secara cepat dengan jumlah yang berlebihan sehingga memicu terjadinya fenomena algal bloom (marak alga).
Peristiwa ini ditandai dengan perubahan warna perairan yang signifikan (Gambar 2) dan apabila disertai dengan dampak negatif, maka fenomena ini selanjutnya disebut dengan harmful algal bloom (HAB) atau marak alga berbahaya.
Perkembangbiakan sianobakteri secara eksplosif, seringkali disebabkan karena peningkatan kadar nutrien seperti nitrogen dan fosfor di perairan, yang biasanya berasal dari limpasan pertanian, limbah domestik, dan industri. Hal ini tentu saja dapat mengganggu keseimbangan ekosistem.
Ketika mikroalga ini mati dan terurai, proses ini menghabiskan oksigen di air, menyebabkan kondisi anoksik yang mematikan bagi ikan dan organisme air lainnya, sehingga dapat mengurangi keanekaragaman hayati dan merusak rantai makanan.
Lalu apakah algal bloom dapat berdampak pada kesehatan manusia?
Kontaminasi air minum dan makanan dari perairan yang terdampak peristiwa tersebut diketahui dapat meningkatkan risiko kesehatan masyarakat. Beberapa jenis sianobakteri menghasilkan racun sianotoksin yang berbahaya bagi manusia dan hewan.
Paparan terhadap sianotoksin tersebut dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan, seperti kerusakan hati, gangguan saraf, dan penyakit kulit. Perairan yang tercemar oleh sianotoksin juga menjadi tidak layak untuk mendukung aktivitas berenang, memancing, atau kegiatan rekreasi lainnya, sehingga berdampak negatif pada sektor pariwisata dan ekonomi lokal yang bergantung pada aktivitas tersebut.
Kasus algal bloom yang melibatkan sianobakteri di Indonesia pernah dilaporkan di beberapa wilayah perairan, seperti di Danau Toba, Sumatera Utara pada tahun 2016 yang menyebabkan perubahan signifikan warna permukaan air dan kematian ikan secara massal.
Penyebab utama peristiwa algal bloom ini adalah meningkatnya kadar nutrien (eutrofikasi) seperti nitrogen dan fosfor di dalam air akibat limbah domestik dan industri, serta aktivitas pertanian yang berlebihan di sekitar danau ini.
Danau Maninjau juga pernah mengalami bloom alga yang disebabkan oleh peningkatan kadar nutrien dari limbah domestik dan pertanian. Peristiwa ini mengakibatkan perubahan warna air dan penurunan kualitas air, serta kematian ikan yang berdampak pada ekonomi masyarakat lokal yang bergantung pada perikanan.
Algal bloom juga pernah dilaporkan di Rawa Pening, Jawa Tengah akibat eutrofikasi yang berdampak negatif pada ekosistem rawa dan kesehatan ikan. Di kawasan laut, wilayah Teluk Jakarta juga sering mengalami algal bloom akibat pencemaran air yang tinggi dari limbah domestik, industri, dan pertanian.
Algal bloom di Teluk Jakarta turut menyebabkan penurunan kualitas air, terganggunya ekosistem laut, dan terdampaknya kesehatan masyarakat di sekitarnya.
Mitigasi Resiko
Berbagai langkah pengelolaan dan mitigasi yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak negatif algal bloom, khususnya yang disebabkan oleh sianobakteri, antara lain: (1) mengurangi pencemaran air dari limbah domestik, industri, dan pertanian melalui pengelolaan limbah yang efektif dan penggunaan pupuk yang bijak; (2) memantau kualitas air secara rutin untuk deteksi dini potensi algae bloom dan mengambil langkah-langkah pencegahan; (3) meningkatkan kesadaran masyarakat tentang dampak negatif algal bloom dan pentingnya menjaga kebersihan perairan; dan (4) melakukan restorasi ekosistem perairan yang terkena dampak algal bloom untuk memulihkan keseimbangan ekosistem dan meningkatkan kualitas air.
Dengan langkah-langkah ini diharapkan kejadian algal bloom di Indonesia dapat dikurangi dan dampaknya terhadap lingkungan, kesehatan, dan ekonomi dapat diminimalkan.
Tantangan di Masa Mendatang
Penelitian lanjut terkait eksplorasi jenis-jenis sianobakteri di berbagai ekosistem di Indonesia, karakterisasi (morfologi, molekuler, serta biokimia), serta pengembangan teknologi perlu terus dilanjutkan. Terutama terkait penemuan jenis dan senyawa baru untuk pemanfaatannya serta mengatasi tantangan teknis yang mungkin muncul dalam penerapannya.
Pengelolaan yang efektif dan peningkatan kesadaran masyarakat juga diperlukan untuk mengoptimalkan manfaat sianobakteri dan meminimalkan dampak negatifnya.
*)Kelompok Riset Fikologi, Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi, Badan Riset dan Inovesi Nasional, JL. Raya Jakarta Bogor-KM.46, KST. Soekarno, Bogor-Indonesia, 16911.
No comment