CKL Gelar Training Penyusunsan DRAM di Bogor

Pelatihan penyusunan rancangan aksi mitigasi di sektor kehutanan dan perkebunan. Ini langkah konkret melawan perubahan iklim

SEOLAH berkejaran dengan trend perubahan iklim, penyebaran Iptek dan peningkatan kompetensi SDM dalam hal aksi mitigasi perubahan iklim itu pun terus dipacu. Salah-satunya oleh sebuah lembaga berbasis sains di Bogor, yakni PT. Cedar Karyatama Lestarindo (CKL).

Bekerjasama dengan Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) IPB University, mulai hari ini, Kamis (5/09/24) digelar Training Penyusunan Penyusunan Dokumen Rancangan Aksi Mitigasi (DRAM) sektor Kehutanan dan Perkebunan.  Kegiatan yang berlangsung selama tiga hari, yakni sampai Sabtu (7/09/24) tersebut diikuti oleh 40 peserta dengan latar belakang yang beragam—mulai dari Non-Governmental Organization (NGO), Perusahaan Berbasis Hutan Produksi (PBPH), yayasan, hingga pensiunan.

Selama tiga hari pelatihan, para peserta tidak hanya mendapatkan pengetahuan teknis, tetapi juga pengalaman langsung dalam menyusun DRAM yang komprehensif dan siap diaplikasikan di lapangan. Dari sini, diharapkan langkah-langkah konkret dalam mitigasi perubahan iklim bisa diwujudkan melalui sinergi berbagai pihak, termasuk pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat luas.

Pada kesempatan hari pertama, Dr. Irfan Syauqi Beik, Dekan Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB, dalam sambutannya menegaskan pentingnya dokumen Rancangan Aksi Mitigasi dalam konteks penurunan emisi karbon di sektor kehutanan dan perkebunan. “Ini berperan kunci dalam isu tersebut,” jelas Irfan via Zoom dari Korea Selatan.

Peserta Antusias

Setelah sesi pembukaan dan foto bersama, suasana lebih santai dengan sesi perkenalan dan coffee break selama 30 menit. Para peserta mulai mengenal satu sama lain, mencairkan suasana sebelum memasuki sesi inti pelatihan.

Materi pertama adalah tentang analisis Forest Reference Level (FRL) yang disampaikan oleh Dr. I Wayan Susi Dharmawan, dari BRIN. “FRL adalah indikator penting dalam penilaian capaian penurunan emisi, yang berfungsi sebagai patokan historis untuk memproyeksikan pola emisi di masa mendatang—baik dengan atau tanpa intervensi,” ungkap pemateri tersebut.

Lebih dalam Wayan menjelaskan, FRL bisa digunakan dalam dua konteks: yakni perdagangan karbon dan pembayaran berbasis kinerja penurunan emisi (Results-Based Payment, RBP).

Dia mencontohkan, di Kalimantan Timur misalnya, mekanisme yang digunakan adalah RBP, di mana pembayaran dilakukan berdasarkan capaian penurunan emisi tanpa adanya pemindahan hak atas karbon.

Periset Utama BRIN itu menambahkan, bahwa dalam konteks penurunan emisi, tiga aspek utama yang perlu diperhatikan adalah emisi historis, baseline, dan aksi mitigasi. “Jika data emisi historis tidak tersedia, pemodelan ke depan bisa menjadi solusi. Di beberapa wilayah, seperti Gunung Kidul, hutan rakyat sudah banyak ditanami, sehingga penurunan emisi lebih difokuskan pada peningkatan stok karbon,” jelas Wayan.

Sangat Bermanfaat

Periset BRIN itu pun menekankan pentingnya prinsip keadilan dalam analisis manfaat non-karbon, terutama dalam penggunaan dana dari Biocarbon Fund (BCF). Tantangan ke depan adalah memastikan bahwa aksi mitigasi memberikan “additionality” yang berarti—tambahan manfaat nyata yang bisa dihitung dan diakui.

Pada sesi ini, peserta juga diajak memahami bahwa penyusunan DRAM harus mematuhi prinsip transparansi, akurasi, konsistensi, dan kelengkapan. Misalnya, dalam pengukuran karbon pool, setiap unsur, seperti kayu mati, harus diperhitungkan dengan lengkap. Data yang akurat sangat penting, terutama karena akan diverifikasi oleh Lembaga Verifikasi Validasi (LVV).

Lebih lanjut, Wayan mengingatkan, bahwa dalam RBP, konsistensi adalah kunci. Data yang digunakan untuk baseline dan faktor emisi harus sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh pedoman SRN (Sistem Registrasi Nasional).

“Untuk kegiatan penanaman, penggunaan data tapak (tier 3) dianjurkan, meski tingkat ketidakpastian hingga 15% masih dapat ditoleransi,” jelasnya.

Di akhir sesi, peserta diajak untuk memahami pilihan metodologi dalam menentukan FRL di Indonesia. Pendekatan yang digunakan lebih fokus pada penurunan emisi, bukan sekadar menghindari emisi, seperti dalam mekanisme penghindaran deforestasi.

M. Rizqi

No comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *