Kerjasama Global AFOLU Dalam Hadapi Krisis Iklim  

Oleh: Prof. Dr. Rizaldi Boer*)

KRISIS iklim semakin mengancam kehidupan di muka bumi ini. Jelas, ini menjadi sebuah pertaruhan besar bagi transisi sistem pertanian, kehutanan dan penggunaan lahan (AFOLU). Disamping itu, pertaruhan pun harus dihadapi terkait  krisis keanekaragaman hayati, dan meningkatnya kesenjangan kehiduoan, baik  dalam hal nutrisi serta mata pencaharian dan pendapatan penduduk.

Untuk itu, transformasi pertanian, kehutanan dan tata guna lahan harus memenuhi tujuan mitigasi, adaptasi, keanekaragaman hayati, ketahanan pangan dan sosial ekonomi.

Mengapa tidak? Sektor penggunaan lahan (AFOLU) merupakan sumber dari 22% (13GtCO2eq.) gas rumah kaca tahunan global, terutama emisi CO2 yang terkait dengan konversi hutan, lahan gambut dan ekosistem kaya karbon lainnya untuk pertanian. Demikian pula emisi metana yang terjadi pada produksi peternakan dan penanaman padi, serta emisi N2O terkait penggunaan pupuk (IPCC, 2022(a)).

Jika seluruh emisi yang terkait dengan berfungsinya sistem pangan secara global dimasukkan (yaitu emisi hulu untuk produksi input seperti pupuk dan mesin, dan emisi hilir yang terkait dengan transportasi dan penjualan eceran makanan dan produk lainnya), maka porsi emisinya adalah 34% (Crippa et. al., 2021). Selain itu, ekosistem darat juga menyerap sejumlah besar karbon dalam biomassa dan tanah, sehingga berperan sebagai penyerap karbon.

Pertanian dan ekosistem alami bumi sangat rentan terhadap perubahan iklim, dan hasil pertanian telah terkena dampak negatif perubahan iklim selama beberapa dekade terakhir. Termasuk pula ancaman menurunnya ketahanan pangan dan air (IPCC, 2022(b)).

Masih banyak lagi risiko yang akan melanda, mulai dari berkurangnya kapasitas untuk penyerap karbon, hilangnya hasil panen, hama dan penyakit, dan lain sebagainya.

Mitigasi-Adaptasi Perubahan Iklim

Sistem pertanian pangan menyediakan lapangan kerja bagi 1,23 miliar orang, dan berkontribusi terhadap penghidupan 3,83 miliar jiwa di seluruh dunia (Davis et. al., 2023). Jelas sekali, bahwa pertanian dan hutan memainkan peran penting dalam menjamin ketahanan pangan di muka bumi ini.

Namun, kerawanan pangan global sedang meningkat, dengan 9,2% populasi dunia mengalami kekurangan gizi saat ini. Selain itu, sistem pertanian pangan dan tata guna lahan global tidak menyediakan pangan yang sehat dan terjangkau, karena 42% populasi dunia tidak mampu membeli pangan sehat (FAO, IFAD, UNICEF, WFP dan WHO, 2023).

Oleh karena itu, transformasi pertanian, hutan, dan sistem penggunaan lahan harus memenuhi tujuan-tujuan seputar mitigasi dan adaptasi terhadap poerubahan iklim. Disamping itu,  yang tak kalah penting juga ialah upaya konservasi keanekaragaman hayati, lapangan kerja dan mata pencaharian, serta ketahanan pangan.

Berbagai hal tersebut memerlukan transformasi sistemis pada sektor ini, termasuk meningkatkan pelestarian dan restorasi ekosistem, transformasi praktik pertanian, mengurangi kerugian dan limbah pertanian, dan tindakan lebih lanjut dari sisi permintaan terhadap pola makan, serta tindakan terhadap bioenergi (Svensson et. al., 2021 ).

Jalur dan kebijakan nasional yang paling tepat untuk melakukan hal ini bergantung pada kondisi eko-iklim, geografi nasional, serta keadaan dan prioritas politik, ekonomi, dan kelembagaan nasional.

Secara global, kemajuan menuju tujuan-tujuan ini masih belum memadai. Oleh karena itu, target jangka panjang harus ditingkatkan. Lalu  kebijakan serta rencana jangka pendek dan menengah pun harus diupayakan bisa meningkatkan percepatan tindakan untuk memenuhi target global (IPCC, 2022(a); IPCC, 2022(b); IPBES, 2019; IPCC, 2019 ).

Rencana dan kebijakan nasional yang ambisius bergantung pada koordinasi yang kuat di antara para pemangku kepentingan nasional, ambisi politik, dan lain-lain. Selain itu, peningkatan ambisi dan tindakan juga bergantung pada berbagai faktor secara global.

Perhutanan Sosial di Indonesia

Di Indonesia, hilangnya lahan gambut dan hutan merupakan sumber utama emisi GRK dan hilangnya keanekaragaman hayati. Emisi dari LULUCF menyumbang 26% dari emisi nasional pada tahun 2020, dengan variabilitas antar tahunan yang tinggi karena puncak dan penurunan emisi dari kebakaran lahan gambut.

Mengurangi emisi LULUCF secara signifikan akan menjadi hal penting dalam mencapai strategi jangka panjang negara ini. Ekspansi pertanian merupakan penyebab utama hilangnya ekosistem alam, yang berarti bahwa untuk mengurangi deforestasi dan hilangnya serta degradasi lahan gambut, diperlukan transformasi penggunaan lahan dan pertanian.

Untuk mengurangi tekanan terhadap konversi lahan baru, peningkatan produktivitas tanaman melalui peningkatan hasil panen dan intensitas tanam, serta optimalisasi penggunaan lahan tidak produktif dan marjinal untuk ekspansi pertanian, diidentifikasi sebagai tindakan utama di tingkat nasional.

Hal utama yang perlu dilakukan ialah; peningkatan pengelolaan air dan unsur hara (pupuk presisi dan pupuk hayati), rotasi dan diversifikasi tanaman, serta percepatan pemulihan daerah tangkapan air untuk menjamin pasokan air yang berkelanjutan. Untuk yang disebutkan terakhir,  memerlukan peningkatan kesuburan tanah dan perbaikan keseluruhan perencanaan penggunaan lahan nasional, regional dan lokal.

Meningkatkan kesuburan tanah di lahan marginal pun merupakan hal yang kritis, dan hal ini memerlukan ketersediaan teknologi inovatif bagi petani, dan dukungan masyarakat untuk mempercepat penerapan teknologi dan praktik baru.

Selain memulihkan ekosistem yang terdegradasi untuk keperluan pertanian, percepatan restorasi dan rehabilitasi hutan, lahan gambut, dan bakau yang terdegradasi juga merupakan hal yang penting.

Dalam konteks dimana 42% penduduknya tinggal di pedesaan, dan sebagian besar diantaranya berada dalam kemiskinan, maka menyelaraskan tujuan iklim dan keanekaragaman hayati, dengan penghidupan di pedesaan, juga merupakan hal yang penting. Oleh karena itu, kepastian  bahwa masyarakat lokal dapat mengeksploitasi hutan secara berkelanjutan,  merupakan prinsip utama transisi penggunaan lahan di Indonesia.

Perhutanan sosial merupakan kebijakan utama untuk mencapai tujuan itu, dimana masyarakat lokal dapat terlibat dalam polikultur di ekosistem hutan, dan memanfaatkan hasil hutan non-kayu, serta menerima dukungan pemerintah (akses terhadap keuangan, layanan penyuluhan, teknologi, pasar)  tanpa merugikan ekosistem. Hal ini juga mencakup perluasan paludikultur, yaitu pertanian di lahan gambut yang tidak menyebabkan degradasi gambut.

Penanganan permasalahan tenurial pun penting dilakukan. Disamping itu, perluasan program pelatihan oleh pemerintah untuk membantu mengubah pola pikir petani, tak kalah penting untuk dipacu. Saat ini, 12 juta hektar hutan dialokasikan untuk perhutanan sosial.

Selain itu, berbagai hasil penelitian menunjukkan, bahwa tindakan sampingan permintaan untuk mengurangi kehilangan pangan dalam rantai pasokan pangan pertanian nasional, dan menahan peningkatan konsumsi daging seiring dengan bertambahnya penduduk Indonesia, akan menjadi hal yang penting untuk menahan ekspansi pertanian di Indonesia.*

 *) Kepala Lembaga Riset Internasional Lingkungan & Perubahan Iklim IPB University

Redaksi Green Indonesia