Kekayaan alam Indonesia ini harus dijaga. Jangan sampai semua punah.
KAPAL perikanan akan banyak berhadapan dengan peristiwa laut, seperti badai besar, gelombang tinggi, bahkan kondisi cuaca yang anomali. Untuk itu, kapal perikanan perlu dibuat dengan perencanaan yang baik dan konstruksi yang kuat. Tujuannya, agar kapal selalu laik laut dan layak tangkap.
Kapal perikanan di Indonesia mayoritas masih berbahan dasar kayu, karena kepiawaian para pengrajin kapal dalam membuat kapal dengan berbekal ilmu yang sudah diturunkan sejak dahulu. Tidak main-main, kayu yang digunakan adalah kayu dengan kayu mutu kelas awet dan kelas kuat nomor satu atau dua seperti Laban, Bengaris, Meranti, dan Walikukun.
Kayu meranti sangat cocok untuk digunakan pada bagian “jantung” kapal, yaitu Lunas. Jika lunas kapal yang digunakan tidak memenuhi standar Biro Klasifikasi Indonesia (BKI) 1996, maka umur kapal untuk melaut akan berkurang. Oleh karena itu para pengrajin kapal akan sangat selektif dalam memilih jenis kayu yang akan dipakai.
Agar Tak Punah
Namun sekarang ukuran kayu yang diinginkan para pengrajin kapal cenderung tidak sesuai, contohnya kayu meranti. Menurut Kepala Balai Gakum, Subhan, meranti termasuk kayu langka yang kini keberadaannya dilindungi undang-undang sehingga. Jika kasus perambahan liar dan ilegal loging kerap terjadi, meranti terancam punah.
“Mungkin di Pulau Kalimantan atau Papua masih lumayan banyak. Tapi di Sumatera dan Jawa, kayu ini sudah sangat jarang ditemukan. Kalau ini terus berlanjut tidak ada upaya kita untuk menghentikan mungkin berapa tahun ke depan juga akan punah,” ungkapnya.
Kekayaan alam Indonesia ini harus dijaga. Jangan sampai semua punah.
Dengan menjaga hutan, maka keberlangsungan ekonomi masyarakat pesisir juga akan terjaga. Sehingga ekonomi keberlanjutan yang diusung dalam program SDGs (sustainable development goals) akan dapat terwujud di Indonesia dalam generasi sekarang hingga mendatang.***
Mizan Toyibun