Hutan Adat Bali: Dari Budaya Hingga Konservasi Biodiversitas

Ni Kadek Erosi Undaharta*)

Diperlukan kolaborasi riset lintas kepakaran dalam memperkuat riset terkait hutan adat yang ada di Bali, bahkan di Indonesia.

MENINGKATNYA aktivitas manusia, menyebabkan masalah utama terhadap degradasi lahan. Tak jarang, hutan adat menjadi tempat perlindungan terakhir bagi spesies endemik dan langka.

Namun demikian, hutan adat masih jarang dalam diskusi akademik. Padahal, hutan adat telah lama diketahui memainkan peran penting dalam pelestarian budaya, strategi konservasi dan ekosistem berkelanjutan. Hutan adat sudah ada, jauh sebelum hutan resmi dikelola negara.

Pada umumnya, hutan adat ada dengan tujuan spiritual atau ritual keagamaan, meski kontribusinya terhadap konservasi keanekaragaman hayati menjadi perdebatan. Di sisi lain, hutan adat menyimpan keanekaragaman hayati yang lebih tinggi jika dibandingkan hutan yang telah dieksploitasi.

Jelas, hutan adat memainkan peran penting dalam perlindungan dan melestarikan kenekaragaman hayati.

Tidak hanya itu, keberadaannya menjadi penting sebagai tempat perlindungan tumbuhan obat, sumber pangan, konservasi tanah dan air, berkontribusi terhadap pengelolaan serapan karbon, bahkan mengatur iklim mikro. Tidak heran, meskipun dengan luas areal kecil, namun tetap dilestarikan dan dilindungi oleh masyarakat adat.

Biodiversitas Tinggi

Teori ekologi menyatakan, bahwa petak hutan yang kecil dan terpecah dapat menimbulkan kehilangan jenis, memiliki keanekaragaman hayati yang rendah, dan terbatas pada konservasi keanekaragaman hayati.

Mekipun demikian, hutan adat memiliki jaringan petak, yang mendukung keanekaragaman hayati yang lebih tinggi. Sehingga jaringan petak kecil tersebut, jika dihubungkan oleh koridor, maka akan berpotensi mendukung jumlah jenis yang lebih banyak lagi.

Alasan ilmiah tersebut semakin memperkuat bahwa hutan adat harus dilestarikan. Bahkan konservasi keanekaragaman hayati di hutan adat menjadi hal penting pada lingkungan yang sangat rentan saat ini.

Sudah dimaklumi, bahwa hutan adat keberadaannya sangat penting bagi pelestarian budaya dan konservasi keanekaragaman hayati.  Meskipun demikian, sejumlah masalah muncul dan mengancam peran hutan adat dalam strategi konservasi jangka panjang.

Luasan hutan adat dianggap terlalu kecil dalam mendukung berbagai jenis yang diharapkan secara lengkap. Banyak lokasi yang terancam akibat tekanan antropogenik yang semakin meningkat.

Hutan Adat Bali

Di Bali, hutan adat terbukti telah berkontribusi terhadap pelestarian budaya melalui pemanfaatan keanekaragaman hayati sebagai pelestarian ekosistem, upacara keagamaan dan pengobatan tradisional. Sebagai contoh, pemanfaatan kulit batang Knema cinerea (kayu jelema) sebagai pengobatan sakit tulang atau sakit lainnya oleh masyarakat lokal.

Bagi masyarakat lokal yang akan mengambil kulit batang Knema cinerea diwajibkan untuk membawa sarana upacara keagamaan (banten daksina) dan melakukan persembahan di hutan tersebut.

Tidak hanya itu, berbagai jenis tumbuhan sebagai sarana upacara keagamaan dapat dijumpai dan dimanfaatkan oleh masyarakat lokal seperti Borassus flabellifer, Ficus benjamina, Ficus rumphii, Pinanga arinasae, Pinanga coronate, Heptapleurum ellipticum, Calamus sp., Michelia champaca, Casuarina junghuhniana, Dacrycarpus imbricatus dan Dipterocarpus hasseltii.

Masih banyak jenis tumbuhan lainnya yang dimanfaatkan sebagai upacara keagamaan dan dilindungi oleh masyarakat adat. Selain itu, banyak dijumpai pohon besar.

Salah-satunya Ficus benjamina di Hutan adat Selat di Kabupaten Buleleng. Pohon yang diselimuti dengan kain hitam putih (saput poleng) ini membuktikan, bahwa kearifan lokal yang melekat pada masyarakat Bali tidak terlepas dari budaya dan ajaran dari masyarakat Hindu di Bali pada leluhur.

Secara ilmiah Ficus benjamina sangat baik dalam konservasi tanah dan air, sehingga banyak ditemukan sumber mata air dekat pohon ini. Ficus benjamina dapat meningkatkan kadar oksigen dan menurunkan kadar CO2 di udara.

Selain itu, bagi masyarakat Hindu di Bali, melestarikan dan melindungi tumbuh-tumbuhan sebagai sumber makanan mahluk hidup adalah hal yang paling utama. Sehingga tidak heran, jika hutan adat di Bali umumnya dikeramatkan dan dianggap suci oleh masyarakat adat.  

Ada kepercayaan dan persepsi tradisional terhadap hutan dan lingkungan. Dengan demikian, hutan adat adalah sebagai praktik konservasi tradisional melalui kepercayaan dan persepsi agama tentang hutan.

Kondisi tersebut sejalan dengan keyakinan dan kepercayaan masyarakat di masa lalu yang sangat mendukung akan konservasi keanekaragaman hayati.

Tidak heran, jika di setiap hutan adat di Bali akan ditemukan pura. Masyarakat adat pun melakukan persembahyangan dan memberikan persembahan di pura tersebut. Di sini penulis melihat jelas, bahwa hutan adat sebagai kunci penting dalam mempertahankan identitas lokal dan praktek tradisional yang dimiliki, dengan mewakili lanskap budaya yang kaya akan keanekaragaman hayati.

Pada akhirnya, kepercayaan masyarakat lokal terhadap budaya, menjadikan hutan adat dilindungi dan terjaga kelestariannya.

Pengelolaan Hutan Adat

Banyak kepercayaan dan aturan yang ada di masyarakat adat dalam mengelola hutan adat. Sebagai contoh, melarang masyarakat untuk mengambil, menebang atau memanfaatkan bagian tumbuhan tanpa seijin adat. Atau mereka wajib untuk melakukan persembahan di pura setempat. Pemanfaatan hanya boleh dilakukan untuk kepentingan upacara keagamaan (persembahan) dan pengobatan.

Hukum adat (awig-awig) merupakan salah-satu aturan adat yang di dalamnya mengatur dan melindungi hutan di wilayahnya.

Sebagai contoh, perlindungan hutan dalam awig-awig di desa adat Tenganan Pagringsingan,  yang di dalamnya berisi tentang larangan penebangan beberapa jenis kayu, serta larangan mengambil buah terlarang. Sedangkan awig-awig hutan adat di Sangeh berisikan larangan mengambil buah pala. Jelas bahwa banyak cara dalam menjaga dan melestarikan lingkungan. 

Tantangan dan Harapan

Meskipun hingga saat ini masyarakat adat di Bali masih melestarikan tradisi dan budayanya, namun seiring dengan masuknya budaya asing, tentu akan menjadi ancaman bagi masyarakat di Bali itu sendiri. Perubahan sikap masyarakat, erosi kepercayaan tradisional, dan pengaruh manusia, menyebabkan degradasi hutan keramat dapat terjadi.

Untuk itu, konservasi keanekaragaman hayati dapat terjaga dengan melibatkan generasi muda. Partisipasi aktif dari masyarakat lokal akan lebih melindungi dan melestarikan keberadaan hutan adat.

Demikian juga, pelestarian hutan adat akan terkikis akibat dari perubahan tatanan sosial di masyarakat dan perubahan kepercayaan masyarakat yang disebabkan oleh sistem pendidikan modern. Penulis menilai, sulit untuk melindungi hutan adat hanya atas dasar kepercayaan agama, tradisi dan budaya.

Dengan demikian, penting untuk merevitalisasi konservasi budaya lama di masyarakat adat, dan melengkapinya dengan pengetahuan ilmiah tentang peran penting hutan adat dalam melestarikan keanekaragaman hayati, dan sebagai aset besar dalam layanan ekologi yang baik.

Jelas, bahwa pengelolaan hutan adat penting disiapkan, sehingga keberadaan hutan adat berkelanjutan dan tidak ada unsur kepentingan pribadi dan golongan di dalamnya. Intervensi yang mendesak diperlukan saat ini untuk konservasi hutan adat, sehingga hutan adat tetap bertahan dari generasi ke generasi.

Karena hutan yang baik akan menyediakan jasa ekosistem dan memastikan kesejahteraan bagi manusia.

Selain itu, hingga saat ini belum diketahui secara pasti beberapa hutan adat yang ada di Bali, bahkan di Indonesia. Untuk itu, penelitian yang mendalam terhadap kekayaan yang tersimpan di hutan adat dan lingkungan di dalamnya sangat penting dilakukan. Bahkan, diperlukan  kolaborasi riset lintas kepakaran untuk memperkuat riset terkait hutan adat yang ada di Bali bahkan Indonesia.

*)Peneliti, Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

Redaksi Green Indonesia