Oleh: Pratiwi*)
Pemanfaatan limbah hutan sebagai mulsa organik dapat dilakukan melalui penerapan mulsa horizontal maupun mulsa vertikal. Ini akan memberi keuntungan, baik secara ekologis maupun ekonomis.
HUTAN merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati. Ekosistem ini didominasi oleh pepohonan dalam persekutuan alam lingkungan. Satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan (Undang-Undang Republik Indonesia No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan).
Terkait dengan kehidupan, termasuk kehidupan manusia, hutan memiliki peran penting dalam menunjang sistem lingkungan hidup. Beberapa fungsi hutan bagi kehidupan antara lain fungsi ekologis, ekonomis dan sosial.
Fungsi ekologis dapat berwujud sebagai sumber plasma nutfah, pengatur tata air, niche ecology bagi flora dan fauna, sumber oksigen yang menyegarkan udara, jatuhan serasah akan terdekomposisi dapat menyuburkan tanah, dan sebagainya.
Sedang fungsi ekonomis, hutan merupakan sumberdaya alam terbarukan yang dapat menghasilkan berbagai produk yang bernilai ekonomi tinggi, seperti kayu, rotan, sumber pangan (buah-buahan, umbi-umbian) dan sebagainya. Hutan adalah sumber dan ruang kehidupan bagi masyarakat sekitar hutan.
Sehubungan dengan itu pemerintah memperkenalkan hutan sosial guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat, menjaga keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya. Bentuk-bentuk hutan sosial adalah hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, hutan adat, dan kemitraan kehutanan (PP No. 23 Tahun 2021).
Pertambahan penduduk Indonesia terus meningkat dengan laju 1,7 persen/ tahun pada tahun 2022, sementara luas lahan Indonesia tetap. Dengan demikian, multifungsi hutan bukan hanya bertujuan konservasi lingkungan, namun dituntut juga menjadi lahan budidaya yang lebih produktif, dengan tetap berorientasi pada kelestarian lingkungan.
Di kawasan hutan produksi, selain konsesi dan hutan tanaman industri, pemerintah memperkenalkan berbagai jenis sistem budidaya di kawasan hutan berikut sistem kelembagaannya seperti: agroforestry, hutan tanaman, serta berbagai bentuk hutan sosial, dan sebagainya.
Pupuk dan Mulsa Organik
Dalam berbagai sistem budidaya dalam kawasan hutan, senantiasa dijumpai limbah hutan yang bersifat organik yang tidak dimanfaatkan dengan baik. Limbah hutan, dapat dijumpai di berbagai tempat di kawasan hutan, seperti di hutan bekas tebangan maupun hutan tanaman.
Di hutan bekas tebangan, adanya pemanenan kayu seringkali menyisakan limbah berupa serpihan kayu, ranting-ranting berdaun, potongan kayu-kayu yang mulai melapuk dan sebagainya. Sedangkan di hutan tanaman, limbah hutan seringkali ditemui dalam bentuk serasah hasil pembersihan gulma yang ada di sekitar tanaman.
Jika limbah tersebut dibiarkan menumpuk atau dibakar, maka akan menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, termasuk polusi udara dan juga emisi gas rumah kaca. Padahal sebenarnya, limbah hutan ini mengandung unsur hara yang dapat memperbaiki kesuburan tanah dan dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan jika telah terdekomposisi oleh mikroorganisme pengurai.
Dengan demikian limbah hutan merupakan salah-satu pupuk organik yang dapat memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah, sehingga limbah hutan ini dapat dipakai sebagai mulsa organik. Bahan mulsa ini mudah diperoleh, murah, ramah lingkungan dan penerapannya mudah diaplikasikan oleh masyarakat.
Sampai saat ini pemanfaatan limbah hutan sebagai mulsa organik di bidang kehutanan belum banyak dilakukan, padahal potensi limbah hutan ini cukup banyak. Sebagai contoh, limbah yang dihasilkan dari kegiatan pemanenan hutan alam dapat mencapai sekitar 768 ribu hingga 821 ribu m3/ tahun, dan dari kegiatan pemanenan di hutan tanaman akasia dan ekaliptus mencapai 288.963 m3/ tahun (Santoso, 2020).
Horizontal atau Vertikal
Pemanfaatan limbah hutan sebagai mulsa organik dapat dilakukan melalui penerapan mulsa horizontal maupun mulsa vertikal. Penerapan mulsa horizontal dilakukan dengan meletakkan serasah di permukaan tanah di sekitar pohon biasanya dengan cara piringan (Gambar 1).
Penerapan mulsa horizontal memberikan hasil yang efektif di lahan dengan topografi relatif datar. Beberapa penelitian menunjukkan mulsa horizontal dapat mengurangi penguapan, mencegah permukaan tanah dari erosi percik sehingga struktur tanah tidak rusak serta dapat mempertahankan kelembaban dan suhu tanah.
Disamping itu mulsa yang diletakkan di permukaan tanah di sekitar tanaman dapat menekan pertumbuhan gulma. Mulsa juga merupakan niche ecology bagi micro dan macro fauna yang akan membantu proses dekomposisi, sehingga dengan berjalannya waktu hasil dekomposisi ini dapat menyuburkan tanah.
Sedangkan mulsa vertikal dilakukan di areal dengan kelerengan yang relatif tinggi. Dalam teknik ini ada tiga unsur penting yang berperan yaitu: limbah hutan, saluran dan guludan.
Saluran dibuat dengan jarak antar saluran 5 – 6 meter, kedalaman 0.40 – 0.60 meter dan lebar saluran 0.20 – 0.50 meter, dilengkapi teras kredit untuk areal dengan kelerengan >15 %. Untuk areal dengan kelerengan <15%, maka jarak antara saluran yang dapat diterapkan adalah 10 – 20 meter, dengan kedalaman saluran 0.40 – 0.80 meter, dan lebar saluran 0.20 – 0.50 meter, dilengkapi teras gulud (Pratiwi, 2007).
Setelah saluran dibuat, kemudian limbah hutan dimasukkan ke dalam saluran tersebut. Pada areal yang tanamannya sudah mulai tumbuh, pemanfaatan limbah hutan yang berupa mulsa organik ini dapat dilakukan melalui penempatan mulsa dalam piringan yang diletakkan di bagian hilir tanaman, dengan bentuk setengah lingkaran (Gambar 2 dan 3).
Penerapan mulsa vertikal ini secara ekologis sangat menguntungkan karena limbah hutan/ organik yang masih segar dapat berfungsi sebagai spons yang menyerap air, sehingga pada musim kemarau persediaan air di dalam tanah menjadi tercukupi.
Jika limbah hutan ini dimasukkan ke dalam saluran, maka akan mencegah penyumbatan pori mikro dinding saluran, sehingga air yang masuk kedalam saluran akan lebih lancar. Mulsa vertikal ini akan di dekomposisi oleh macro maupun micro fauna yang menghasilkan pupuk organik, sehingga tanah menjadi subur dan agregat tanah menjadi lebih mantap.
Disamping itu adanya saluran, maka air yang masuk ke dalam tanah akan meningkat sehingga erosi dapat dicegah. Saluran juga menyimpan partikel-partikel tanah yang terbawa bersama aliran air dari areal yang ada di atasnya, sehingga kesuburan tanah meningkat.
Sedangkan guludan berfungsi menahan aliran permukaan dan partikel-partikel tanah akan tertahan sebelum tererosi ke bagian hilir. Inipun ikut membantu mempertahankan kesuburan tanah.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan, bahwa pemberian perlakuan mulsa, baik itu mulsa vertikal maupun mulsa horisontal, terbukti mengurangi laju erosi, sedimentasi dan kehilangan unsur hara. Dengan demikian pertumbuhan tanaman menjadi lebih baik, namun demikian tentunya diperlukan biaya dalam penerapannya.
Sangat Menguntungkan
Sehubungan dengan biaya, sebagai contoh penerapkan mulsa vertikal di areal yang baru dibuka dengan jarak antar saluran 10 meter, membutuhkan limbah segar sebesar 112.5 kwintal/ ha, dengan biaya sebesar Rp 400.000,-/ ha. Sedangkan jika jarak antar saluran 6 meter, untuk areal seluas 1 hektar, membutuhkan biaya sebesar Rp 600.000,- dan diperlukan 250 kwintal serasah (Pratiwi 2007).
Walaupun ada biaya yang harus dikeluarkan untuk menerapkan teknik ini, namun secara ekologis, penerapan mulsa horizontal dan vertikal sangat mendukung program zero waste. Mengapa demikian?Karena limbah hutan dapat dipakai kembali (re-use), didaur ulang sebagai pupuk (re-cycle), dan dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman karena dapat memperbaiki sifat-sifat tanah baik itu sifat fisik, kimia maupun biologi tanah.
Jika mulsa organik ini diterapkan, maka dapat meningkatkan produktivitas lahan, sehingga dapat memperbaiki kondisi lingkungan (recovery), yang pada akhirnya dapat mendukung kesejahteraan masyarakat.
*)Peneliti Ahli Utama-Bidang Konservasi dan Pengaruh HutanKelompok Riset Pengaruh Hutan- Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi-BRIN
***Riz***