PEMBANGUNAN, PERUBAHAN IKLIM DAN KEPEMIMPINAN

Oleh :

Agung Nugraha

Direktur Eksekutif Wana Aksara Institute

Dalam seminggu terakhir, pembicaraan tentang masa depan keberlanjutan planet bumi menjadi dialektika hangat. Adalah The Leaders Summit on Climate, 22-23 April 2021 bertema  “Tackling The Climate Crises: Transitioning to a Global Green Economy”. Diinisiasi Presiden Amerika Serikat Joe Biden. Selama dua hari – bertepatan Hari Bumi 22 April – telah diselenggarakan Konferensi Pemimpin Dunia melibatkan 40 pemimpin negara.

Seakan menjadi tonggak sejarah baru, seluruh dunia merasakan euforia. Ya, kembalinya “si anak hilang” sang negara adidaya –USA- ke pangkuan komunitas dunia. Demi pencegahan dan mitigasi perubahan iklim. Dalam bingkai Perjanjian Paris. Memberikan gelontoran amunisi. Menjadi sebuah “Neo Spirit”  bahkan menjelma sebagai sebuah “New Hope”. Harapan baru. Bahwa, target-target ambisius yang telah dicanangkan dalam naskah Perjanjian Paris 2015 akan segera terwujud.

Konsistensi Indonesia

Indonesia menjadi salah satu negara yang diundang dalam konferensi. Seperti biasa, Presiden Jokowi berpidato ringkas dalam forum high level tersebut. Lugas dan tidak bertele – tele. Langsung ke pokok persoalan. Menyampaikan narasi  yang terfokus pada intinya. Ada tiga hal utama yang disampaikan sang rimbawan RI satu itu.

Pertama, Indonesia sangat serius dalam pengendalian perubahan iklim dan mengajak dunia untuk melakukan aksi-aksi nyata, to lead by example. Sebagai negara kepulauan terbesar dan pemilik hutan tropis, penanganan perubahan iklim adalah kepentingan nasional Indonesia, melalui kebijakan, pemberdayaan, dan penegakan hukum. Laju deforestasi Indonesia saat ini turun terendah dalam 20 tahun terakhir. Penghentian konversi hutan alam dan lahan gambut mencapai 66 juta hektare, lebih luas dari gabungan luas Inggris dan Norwegia. Penurunan kebakaran hutan hingga sebesar 82 persen di saat beberapa kawasan di Amerika, Australia, dan Eropa mengalami peningkatan terluas.

Jelas sekali Presiden mengungkapkan fakta-fakta aktual. Keseriusan itu tercermin dari prestasi kinerja Pemerintah RI beserta seluruh rakyatnya. Dalam upaya implementasi komitmen Perjanjian Paris. Termasuk berbagai konvensi PBB lain yang relevan. Selama periode kepemimpinannya.

Dengan kompleksitas kondisi Indonesia yang sedang giat membangun, disertai ujian pandemi Covid-19  yang mendorong resesi ekonomi global, serta terjerembabnya pertumbuhan ekonomi nasional, menjadikan apa yang dicapai Indonesia jelas merupakan sesuatu yang sangat fundamental. Sebuah kerja keras tak kenal lelah.

Kedua, Presiden menyampaikan bahwa Indonesia dan masyarakat global harus memajukan pembangunan hijau untuk dunia yang lebih baik. Indonesia telah memutakhirkan NDCs (nationally determined contributions) untuk meningkatkan kapasitas adaptasi dan ketahanan iklim. Presiden juga menyambut baik penyelenggaraan Konvensi Kerangka Perubahan Iklim ke-26 di Inggris untuk hasil yang implementatif dan seimbang. Presiden menyambut baik target sejumlah negara menuju net-zero emissions tahun 2050. Namun agar kredibel, komitmen tersebut harus dijalankan berdasarkan pemenuhan komitmen NDCs tahun 2030. Negara berkembang akan melakukan ambisi serupa, jika komitmen negara maju kredibel disertai dukungan riil. Dukungan dan pemenuhan komitmen negara-negara maju sangat diperlukan.

Jelas sekali bahwa Presiden Jokowi selalu merespon dinamika dan perubahan lingkungan strategis di segala aspek dan tingkatan. Untuk kemudian menjadi bahan bagi penyesuaian komitmen. Sebagaimana tertuang dalam up date NDC Indonesia terkini.

Indonesia sebagaimana negara-negara di dunia sudah sama-sama kenyang makan “asam garam” negosiasi komitmen komunitas global. Seringkali berbeda dalam implementasi di tataran kepentingan domestik masing-masing negara. Kenyataannya, seringkali semua komitmen indah dan ideal hanya ada dalam tataran konsep. Sebaliknya, miskin implementasi.  Termasuk konsistensi komitmen untuk saling membantu dan berbagi.

Bagi Presiden Jokowi, ungkapan yang termaktub dalam pidatonya mungkin terasa datar –bahkan biasa-biasa saja- bagi sebagian negara maju dan raksasa multinasional lainnya. Yang kini justru berbalik mengungkapkan komitmen pencapaian ambisi baru dalam bentuk target zero emisi 2050. Padahal realitas sebelumnya justru banyak negara maju yang meninggalkan komitmen. “Tinggal glanggang colong playu”. Mengedepankan geopolitik domestik demi kepentingan nasional masing-masing. Meskipun secara substantif hal itu bertentangan dengan komitmen Perjanjian Paris. Memberi contoh buruk diplomasi global. Merusak “trust” yang telah  terbangun sebagai modal sosial di tingkat global.

Ketiga, untuk mencapai target Persetujuan Paris dan agenda bersama berikutnya, kemitraan global harus diperkuat. Masyarakat global harus membangun kesepahaman, harus membangun strategi dalam mencapai net-zero emissions dan menuju UNFCCC – COP 26  Glasgow. Indonesia sedang mempercepat pilot percontohan net-zero emissions, antara lain dengan membangun Indonesia Green Industrial Park seluas 12.500 hektare di Kalimantan Utara yang akan menjadi yang terbesar di dunia. Indonesia sedang melakukan rehabilitasi hutan mangrove seluas 620 ribu hektare sampai 2024, terluas di dunia dengan daya serap karbon mencapai empat kali lipat dibanding hutan tropis.

Jelas terungkap. Pendekatan Presiden Jokowi memang selalu fokus. Berbasis outcome. Meskipun dalam skala kecil. Namun rill dan konkrit. Karena implementasi konsep dalam skala terukur dan aplikatif, maka tingkat keberhasilannya akan jauh lebih besar. Pun bisa selalu dipantau dan dikontrol secara langsung. Dengan “blusukan” turun ke bawah. Khas kehutanan di tingkat tapak. Keberhasilannya menjadi cikal bakal replikasi dan duplikasi di tapak lain. Dalam skala program yang jauh lebih massif. Itu yang disebut “lead by example”. Nyata dan konkrit. Tak terbantahkan. Bukan sekedar konsep indah ideal. Namun utopis di lapangan.

Persoalannya, bagi sebagian politisi dan tokoh-tokoh yang selalu riuh dalam keramaian, gaduh seperti kaleng-kaleng kosong, apa yang diungkap Presiden Jokowi tentu bukan sesuatu yang mengesankan. Tidak akan menghasilkan tepuk tangan meriah. Apalagi “standing applause”.

Gagal Paham

Presiden Joko Widodo sudah biasa menerima kritik. Bukan hanya kritik. Bahkan seringkali hujatan dan serangan hebat. Tidak terbatas hanya dari kalangan oposisi. Namun juga dari politisi maupun kalangan aktivis. Termasuk tokoh-tokoh lainnya. Sungguh mematikan karakter.

Dalam konteks The Leaders Summit on Climate Presiden Joko Widodo kembali menuai kritik. Bahkan sangat keras. Disayangkan tidak memanfaatkan momentum menyampaikan komitmen menurunkan zero emission 2050. Bahkan tidak sedikit kritik sangat keras berasal dari para mantan pejabat pemerintahan, tokoh publik dan aktivis LSM. Semua merasa diri sangat paham, lebih progresif dan lebih responsif.

Memang, hingga tahun ketujuh periode kepemimpinan sebagai Presiden RI, sungguh nyata betapa masih banyak pihak yang “gagal paham” akan karakter alumni Padepokan Bulaksumur itu. Presiden Jokowi bukanlah tipe pemimpin “hiperbolik” yang senang menggunakan ungkapan jargon. Berbunga-bunga. Namun hanya sebatas slogan belaka. Mantan Ketua Asmindo Solo Raya itu selalu menjaga satunya kata dan perbuatan. Walau kecil, namun nyata dan konkrit. Apa gunanya komitmen besar namun hanya mimpi. Pada akhirnya tidak terwujud dan hanya menjadi omong kosong. Isapan jempol belaka. Sebaliknya, tidak menjadi sebuah beban moral yang harus dipertanggung jawabkan.

Banyak yang tidak belajar kultur dan karakter birokrasi Indonesia. Bahwa, untuk mewujudkan sebuah rencana, dibutuhkan waktu, anggaran biaya dan berbagai dukungan sumberdaya lainnya. Seringkali prosesnya memakan waktu yang sangat lama. Bertahun-tahun. Seringkali bertele-tele. Bahkan ada kalanya saat pejabat yang merencanakan sudah tidak lagi menjabat, rencana itupun belum kunjung terwujud. Masih terus dibahas, dikoreksi dan disempurnakan. Maka, wajar bila banyak rencana, kebijakan dan program pembangunan nasional tidak cepat terwujud. Kalaupun terlaksana lalu terjadi pergantian pemimpin sebelum selesai proyek pembangunannya, akhirnya mangkrak menjadi besi tua.

Itulah manajemen proyek sesungguhnya yang kini didobrak Presiden Jokowi. Bedakan manajemen proyek –kalau itu memang disebut proyek- ala Presiden Jokowi. Presiden menginstruksikan, Presiden memantau pelaksanaannya. Termasuk merubah aturan dan “mencopot” pejabat bila ada yang menghambat. Presiden pun menuntaskan serta mempersembahkan hasilnya langsung kepada rakyat. Lihat buktinya. Berapa ratus kilometer tol Trans Jawa dan Trans Sumatera, waduk dan bendungan, pelabuhan laut hingga bandara yang telah dieksekusi dan selesai dibangun. Tentu masih banyak lagi.

Dalam konteks perubahan iklim yang bersifat lintas sektoral dan “cross cutting issue.” Implementasi jelas bukan merupakan hal mudah. Kuatnya kepentingan ego sektoral seringkali menghambat implementasi di lapangan. Bahkan sering timbul analog kuatnya ego sektoral itu seperti negara dalam negara. Karena itu, menyampaikan komitmen tanpa mengetahui karakter birokrasi dan paham kondisi aktual lapangan hanya akan menghasilkan mimpi. Pasti gagal. Ibarat kata, kultur birokrasi di Indonesia bagaikan jebakan “batman”. Tak terlihat namun bila dimasuki akan menyergap dan menyandera. Itulah perlunya reformasi birokrasi. Belum lagi “mentalitas” sebagian politisi dan para aktivis yang selalu bermain dalam pro kontra yang bersifat remeh temeh. Sudah menjadi rahasia umum.

Karena itu, sungguh jelas kiranya. Membaca, memahami dan memaknai pidato Presiden Jokowi. Bahwa apa yang disampaikan itu memang sudah sangat terukur dan sepenuhnya berada dalam kontrol sosial, politik dan ekonomi yang menjadi kewenangan Sang Presiden.

Akhirnya,  The Leaders Summit on Climate sesungguhnya baru sebuah pemanasan. Ibaratnya menjadi wahana “testing the water”. Memantau dan mengintip kebijakan para kepala negara di dunia. Sebagai bahan negosiasi sesungguhnya yang akan bersifat mengikat. Ya, negosiasi hingga pertempuran kepentingan yang sesungguhnya itu baru akan berlangsung beberapa bulan mendatang. Di arena COP 26,  November 2021 di Glasgow, Skotlandia.

Bagaimanapun soal pembangunan dan perubahan iklim sesungguhnya sangat terkait erat dengan aspek kepemimpinan. Kepemimpinan yang paham geopolitik kepentingan nasional. Untuk menjadi bahan penyusunan geostrategik nasional. Demi memenangi semua konstestasi bagi terwujudnya amanat konstitusional.

Ibarat catur, Presiden bersama Menteri LHK Dr. Siti Nurbaya, MSc., sangat membutuhkan sekondan-sekondan hebat dan patriotik yang bisa membantunya memenangi kontestasi global. Bukan justru sebaliknya. Kehadiran pengganggu dengan kegaduhan. Membuat riuh rendah suasana yang justru mengganggu konsentrasi dan mengancam konsistensi. Tapi Indonesia memang bukanlah China atau Rusia. Yang rakyatnya hanya bisa diam membisu. Tersebab selalu “terpasung” demokrasi komando ala kepemimpinan tunggal maupun sistem politik negara. Pasca reformasi, semua orang di Indonesia bebas berpendapat. Termasuk berpendapat terhadap apapun, kapanpun dan dimanapun. Entah positip atau negatip. Quo vadis ?

***

No comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *