Tak sedikit yang latah, ramai-ramai tanam tomat lantaran selama beberapa pekan lalu harga melambung. Kini petani pun ‘gigit jari’
LATAH. Tampaknya memang sudah budaya kalau petani seperti itu. Pedomannya hanya apa yang dilihat dan sedang terjadi, tanpa pernah menginsyafi jika pasar itu dinamis, selalu berubah. Lihat saja apa yang terjadi pada sentra produksi sayuran di Puncak Dua (Bogor – Cianjur) saat ini.
Belum lama ini, tepatnya September lalu, harga tomat melambung tinggi. Para petani yang panen selama beberapa pekan lalu ‘makan tangan’ dan bersuka ria. Seperti biasa, dan sudah merupakan ciri khas kampung-kampung di daerah Puncak Dua, para penikmat harga tinggi tersebut menjadi sorotan warga. Dipuja dan beritanya menjalar; “Si anu duitnya cair euy…!”
Maklum, begitulah kebiasaan warga kampung dimana GI berdomisili saat ini.
Kabar itu menjalar, dan demikian cepatnya memotivasi petani lain. Maka usahatani tomat pun merebak. Nyaris semua menanam komoditas jenis sayuran buah yang satu ini.
Ibu Enah dan Wak Aling, dua ibu rumah tangga di Kampung Arca, pun tak mau ketinggalan. Tetangga GI itu turut serta turun ke kebun menanam tomat, karena berharap ‘bonus’ musim harga tinggi.
Padahal sebenarnya, tanpa sadar, mereka sedang ‘terjebak’ teka-teki jahe yang hingga kini belum dipanen, karena masih menunggu harga kembali naik. Tahun lalu harga jahe mencapai Rp 30.000,- per kilogram, kini anjlok menjadi Rp 8.500,- per kilogramnya di tingkat petani Puncak Dua. Penantian hampir satu tahun itu ternyata tidak sesuai harapan. Lalu harapan baru pun digantungkan pada tomat.
Selalu Terjebak
Penanaman di saat harga melambung (hingga akhir September lalu) itu diharapkan akan panen sekitar Nopember – Desember mendatang. Namun apa daya, petani telah lemas sebelum waktunya. Memasuki pekan pertama Oktober, harga terjun bebas, dari Rp 12.000 – Rp 15.000,- menjadi Rp 2.000,- per kilogam di tingkat petani (pembelian bandar) Puncak Dua – Bogor.
Petani terjebak. Seorang petani yang boleh disebut spesialis tomat di Kampung Arca, Mang Cang (55 th), menyatakan; “Dulu normalnya sekilo tomat bisa membeli seliter beras. Sekarang mana dapat?”
Nah lho… akhirnya mengeluh.
***Riz***
No comment