Oleh :
Agung Nugraha
Direktur Eksekutif Wana Aksara Institute
Pertengahan bulan Maret 2020, dunia usaha perkebunan kelapa sawit mendapat sebuah kado istimewa. Adalah Presiden Joko Widodo telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 44 Tahun 2020. Mengatur soal Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia. Populer dengan sebutan ISPO.
Ya. Perpres sertifikasi ISPO tersebut sangat penting. Itu pasti. Cukup besarnya penyerapan tenaga kerja, serta signifikannya kontribusi devisa kepada negara menjadikan sawit memiliki posisi tawar yang kuat. Bukan hanya dalam konteks kebijakan pembangunan di daerah. Dimana kebun kelapa sawit menjelma menjadi salah satu tulang punggung penyumbang PDRB wilayah. Lebih dari itu, sawit memiliki posisi penting dan strategis dalam konteks kebijakan politik dan ekonomi pembangunan nasional.
Persoalannya, dalam beberapa tahun belakangan komoditas sawit Indonesia mendapat tantangan. Bahkan penolakan sebagai dampak perkembangan internasional. Dampaknya nyata. Mengakibatkan anjloknya nilai ekspor sawit nasional yang cukup signifikan. Sebuah potret yang kemudian direspon Pemerintah dengan pemenuhan akan kebutuhan hukum atas kebijakan baru soal standarisasi perkebunan kelapa sawit nasional dan internasional. Demi keberterimaan dan daya saing komoditas kelapa sawit Indonesia di pasar dunia.
Yang kini menjadi soal, membaca Perpres tersebut terkesan terlalu “sederhana.” Kurang memiliki daya ledak. Belum menyentuh hal-hal substansial yang menjadi target dan harapan. Sebaliknya, Perpres yang hanya terdiri dari 7 BAB, 30 pasal dan 67 ayat itu justru melahirkan stigma kuat akan kembalinya dominasi Menteri teknis. Tidaklah mengherankan bila terdapat kesan. Meskipun setingkat Perpres, namun cita rasa implementasinya sangat bernuansa “permen” (baca : Peraturan Menteri).
Perlu 9 Permen
Sinyalemen Perpres turun derajad menjadi Permen bisa dilihat pada pengaturan berbagai tindak lanjut operasional ISPO. Sebuah upaya yang dikhawatirkan gagal paham untuk menjelma menjadi solusi. Atas kompleksitas problema perkebunan kelapa sawit yang sangat kental nuansa lintas sektoralnya.
Demi efektivitas dan optimalisasi penyelesaiannya, maka sudah benar kebijakan menerbitkan Perpres. Hal itu merujuk pada upaya menarik kebijakan sertifikasi ISPO ke ranah politis (Baca : domain Presiden). Kenyataannya, yang dikhawatirkan justru kebijakan itu akan membuat sawit kembali terjerembab ke level sektoral. Sangat teknis.
Simaklah substansi pasal demi pasal Perpres No. 44 Tahun 2020 tersebut. Setidaknya setelah membedah, terdapat tidak kurang dari 9 Permen yang harus dibuat. Agar Perpres soal sertifikasi ISPO tersebut bisa operasional.
Dimulai dengan kebutuhan Permen ketentuan lanjutan mengenai prinsip dan kriteria ISPO. Sebagaimana termaktub dalam Pasal 4 ayat (4). Prinsip dan kriteria ini sangat kompleks karena bersifat lintas sektoral. Menariknya, pengaturan penyusunannya dikembalikan ke ranah Menteri. Disini muncul kekhawatiran. Akankah mengembalikan pada persoalan lama. Kuatnya ego sektoral masing-masing kementerian.
Pada tataran berikutnya, diperlukan pula Permen mengenai pengenaan sanksi. Soal sanksi ini bahkan perlu diatur lebih lanjut melalui tak kurang dari 4 buah Permen yang berbeda. Mulai dari Permen soal sanksi administrasi kewajiban sertifikasi ISPO (Pasal 6 ayat 3), Permen sanksi administrasi lembaga sertifikasi ISPO (Pasal 12 ayat 5), serta Permen sanksi administrasi pelaku usaha yang tidak menerapkan sertifikasi ISPO (Pasal 16 ayat 3). Terakhir Permen soal sanksi administrasi lembaga sertifikasi ISPO yang tidak melakukan penilikan sertifikasi ISPO (Pasal 17 ayat 3).
Tidak terbatas hanya sampai disitu. Untuk mengimplementasikan Perpres ini, masih diperlukan Permen tata cara sertifikasi ISPO (Pasal 14). Permen soal pengaturan penilikan (Pasal 15 ayat 3). Dua kebutuhan Permen lainnya menyangkut biaya sertifikasi (Pasal 18 ayat 4). Dan terakhir, Permen soal penyesuaian sertifikasi ISPO sebelum terbitnya Perpres No 44 Tahun 2020 ini (Pasal 26 ayat 2).
Selain Permen, Perpres ini masih memerlukan satu Permenko Perekonomian. Yaitu yang khusus akan mengatur soal organisasi dan tata kerja Dewan Pengarah ISPO (Pasal 22). Mengapa Permenko ? Tersebab Dewan Pengarah Ispo secara ex officio terdiri dari kementerian teknis dan terkait ISPO.
Jelas, meskipun Perpres No. 44 Tahun 2020 ini langsung berlaku bagi korporasi -untuk pekebun masih tersedia jangka waktu 5 tahun- namun implementasinya masih akan tetap membutuhkan proses dan waktu. Tersebab banyaknya Permen yang perlu disusun dan dipersiapkan.
Harapan Yang tak Ditemukan
Selain soal-soal pengaturan berbagai aspek yang kembali ke ranah Menteri bidang perkebunan, Perpres ini juga menyisakan dua harapan yang tak kunjung ditemukan substansinya. Padahal keduanya justru menjadi mandat penting sekaligus tujuan utama Perpres ini.
Pertama. Soal keberterimaan dan saya saing –komoditas sawit- di pasar global. Sudah menjadi pemahaman bersama, bahwa pembangunan kebun kelapa sawit di Indoensia sarat problema. Sejak awal tidak “clean” and “clear” dan –bisa jadi- sangat lemah koordinasi. Sangat klasik. Bukan saja lemahnya koordinasi antar kementerian lintas sektoral. Juga antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Akibat euphoria reformasi sejak dua dekade lalu menghasilkan berbagai dampak. Mulai dari perubahan sosial, konflik dan ketegangan politik yang saling menyandera hingga in-efisiensi praktek ekonomi. Semua beriringan dalam rentang waktu yang bersamaan. Luar biasa kompleks dan demikian rumit.
Di mata komunitas internasional, sawit Indonesia terstigma sebagai salah satu penyebab deforetasi. Ini yang dinilai menjadi salah satu biang krisis pemanasan global dan perubahan iklim. Tersebab areal kebunnya masuk menerobos dan mengobrak – abrik kawasan hutan. Padahal selama ini hutan identik dengan wilayah adat masyarakat, keberadaan ekosistem dan sumber keanekaragaman hayati yang bersifat langka dan terancam punah. Resultantenya menghasilkan konflik yang bernuansa perampasan dan peminggiran masyarakat lokal. Baik oleh korporasi maupun masyarakat pendatang. Termasuk konflik dengan satwa liar.
Atas realitas faktual ini, sawit Indonesia distigmakan lemah aspek legalitasnya. Disamping cenderung abai terhadap keberadaan hak-hak masyarakat adat dan kelestarian lingkungan. Yang tercermin dari fungsi konservasi dan keanekaragaman hayati yang menjelma dalam konsep nilai penting sebuah kawasan bentang alam (Baca : HCV). Tiga hal yang selama ini identik sekaligus menjadi syarat mutlak prinsip dan kriteria sertifikasi sawit berkelanjutan. Baik ISPO apalagi RSPO.
Berbagai hal di atas yang seyogyanya termuat secara jelas dan konkrit dalam Perpres, ternyata tidak atau belum banyak diungkap. Pasal keberterimaan, daya saing pasar dan peran serta yang termaktub dalam Pasal 23 dan Pasal 24 hanya menyebutkan soal diseminasi, advokasi, dan diplomasi internasional. Perpres ini tidaklah cukup memberikan pemahaman akan keterbukaan strategi, mekanisme dan partisipasi para pihak terkait ketiga hal di atas.
Kedua. Harapan yang belum ditemukan adalah soal upaya meningkatkan percepatan penurunan emisi. Hal ini menjadi salah satu tujuan Perpres No 44 Tahun 2020. Sebagaimana termaktub pada pasal 3 butir c. Kenyataannya, dalam ulasan pasal demi pasal sama sekali tidak ada penjabarannya. Terkesan kuat bahwa ungkapan percepatan penurunan emisi ini hanyalah “tempelan” alias sekedar syarat formal. Tersebab tidak ada penjabaran secara lebih jelas dan konkrit pada pasal-pasal berikutnya.
Kalau soal keterlanjuran pengembangan sawit –katakanlah di dalam kaswasan hutan dan lahan gambut- tidak ada sikap politik sebagai “legal standing” dari Pemerintah, tentulah soal ini akan terus menjadi duri dan onak dalam diplomasi sawit nasional di dunia internasional. Termasuk kemampuan menjelaskan komitmen penyelesaian konflik sosial di lingkup perkebunan kelapa sawit yang melibatkan petani mandiri yang notabene adalah warga lokal atau bahkan bagian dari masyarakat adat yang masih eksis di lapangan.
Perpres ini ditutup dengan menyatakan bahwa semua peraturan yang ada masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan (Pasal 28). Sebuah fenomena klasik dalam sistem hukum dan peraturan administrasi pemerintahan. Faktanya, semakin banyak peraturan akan semakin berat dan tinggi kompleksitas dalam implementasinya.
Implikasi lanjutannya beban yang akan ditanggung para pihak yang terkena kewajiban melaksanakan juga akan semakin tinggi. Persoalannya, peraturan baru tidak pernah mencabut peraturan lama. Selain menimbulkan kebingungan di kalangan pelaku usaha, hal ini juga akan membuka peluang timbulnya praktek ekonomi biaya tinggi.
Pada akhirnya, Perpres No. 44 Tahun 2020 ini memang ringkas. Namun banyaknya Permen yang diperlukan, jangan sampai menimbulkan dampak berbalik. Memberikan “cek kosong” kepada Menteri teknis.
Maunya menyederhanakan, malah membuat kian rumit. Lebih dari itu, jangan sampai pula menimbulkan stigma miring. Bahwa Perpres ini tak lebih dari sekedar “gula-gula.” Tersebab Perpres namun cita rasa implementasinya masih sangat bernuansa “permen.” Ada manis, asem bahkan sedikit pahit. Bener-bener rame rasanya. Quo vadis sawit Indonesia ?
No comment