Mencegah lebih baik sebelum terlanjur terbakar. Untuk itu cukup banyak solusi yang sebenarnya bisa dilakukan di sekitar hutan, seperti yang berhasil digelar di KPH Kubu Raya. Sebenarnya saat ini yag terjadi lebih banyak kebakaran lahan (Karla), bukan hutan.
Api berkobar, pemadam pun datang. Hal ini, menurut Prof. Dr. Bambang Hero Saharjo, Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), dipandang sexy selama ini. Pasalnya, mau tidak mau, biaya yang dikucurkan lebih banyak dan jelas. Sementara upaya-upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) tampaknya kurang mendapat perhatian. “Kurang menarik, kurang sexy,” tutur Bambang.
Demikian disampaikan Dosen dan sekaligus Pakar Kehutanan dari IPB itu dalam kapasitas sebagai pembicara pada acara Diskusi Pojok Iklim di Ruang Rimbawan III Manggala Wanabhakti Jakarta, pagi hingga siang tadi (7 Agustus 2019).
Menurutnya, salah-satu kunci solusi Karhutla adalah memberi pilihan kreatifitas ekonomi kepada masyarakat di sekitar hutan. Jika tidak, maka aktifitas turun temurun, yakni memenuhi kebutuhan, terutama pangan, akan terus berjalan. Diantaranya ialah dengan membuka lahan dengan cara membakar.
Hal yang tak kalah penting, menurut Prof. Bambang, adalah dalam hal akses pasar serta jaringan bisnis berbagai produk yang dihasilkan oleh masyarakat di sekitar hutan. “Dengan terjaminnya pasar, maka sustinability pola usaha masyarakat dapat terjaga,” jelasnya. Yang dimaksud ialah pola usaha setelah meninggalkan kebiasaan perladangan berpindah dan membakar hutan.
Paparan Sang Profesor tersebut tampaknya pantas mendapat perhatian berbagai pihak.
Mengapa tidak? Seperti banyak kasus di berbagai daerah, inovasi usaha memang menjanjikan solusi, agar perilaku lama membakar hutan dan lahan ditinggalkan. Banyak produk olahan dari sekitar hutan yang bernilai ekonomi tinggi. Sebut saja cuka kayu atau biomassa lainnya. Namun setelah warga sekitar hutan telah berproduksi, ternyata terkendala pasar dan akhirnya sia-sia, maka frustrasi pun tiba.
“JIka tidak ada bantuan dalam memasarkan hasil produksi kami akan kembali membakar hutan,” demikian ancaman sekelompok warga sekitar hutan seperti dicontohkan oleh Prof. Bambang. Disini peran pemerintah daerah (Pemda) sangat diharapkan.
Kasus Kubu Raya
Kemarau yang sudah berlangsung cukup lama di berbagai daerah tahun ini, akhirnya mulai berbuah keresahan. Asap membubung di sejumlah daerah akibat semak dan belukar terbakar. Kasus klasik kembali terulang, salah-satunya –yang banyak disorot akhir-akhir ini– adalah kebakaran lahan di Kubu Raya, Kalimantan Barat.
Ini cukup sexy, karena telah ramai diberitakan di sejumlah media. Disamping itu, seperti dimaklumi, hutan Kalimantan tampaknya cukup sensitif jika terbakar.
Padahal sebenarnya yang terjadi bukan kebakaran hutan, tapi lahan di luar hutan. Hal ini dijelaskan oleh Kapala UPT KPH Kabupaten Kubu Raya, Ponty Wijaya. Dalam Diskusi Pojok Iklim tersebut, Ponty memaparkan bahwa pihaknya selama ini telah bekerja keras dalam mengatasi Karhutla di berbagai lokasi. Tercatat luas hutan di KPH Kubu Raya mencapai lebih dari 300 ribu hektar.
Menurut pemaparan Ponty, berbagai program terobosan yang dilakukan di wilayah kerjanya terbukti berhasil mengajak masyarakat untuk mengakhiri kebiasaan membakar dan merambah hutan. Serentetan kegiatan pemberdayaan ekonomi masyarakat di sekitar hutan telah digelar KPH tersebut, mulai dari pengembangan budidaya kepiting bakau, agribisnis jengkol, hingga upaya perlindungan bekantan. Program lainnya ialah dengan menggalang kerjasama dalam pencegahan Karhutla yang melibatkan masyarakat desa, Manggala Agni, BPBD serta Pemkab Kubu Raya. Keberhasilan tersebut menjadikannya sebagai KPH teladan bagi KPH lainnya di Indonesia.
“Selama ini menurut pengamatan kami di lapangan, kebakaran lahan disebabkan oleh berbagai faktor. Diantaranya adalah peladangan berpindah, ketidakjelasan status pemilikan lahan sehingga yang ada hanya petani penggarap, serta kegiatan pemancingan di sungai atau rawa di dalam hutan.
Ulah Manusia
Beberapa peserta diskusi pun menyampaikan sejumlah pendapatnya. Namun banyak juga yang menyayangkan, kenapa kasus seperti ini
terus berulang. Bukankah hukum dan undang-undangnya sudah jelas?
Hal tersebut ditanggapi oleh Prof. Dr. Bambang Hero. Dikatakannya bahwa perangkat peraturan dan undang-undang memang sudah ada. Namun yang menjadi permasalahan adalah sejauh mana hal tersebut diimplementasikan di lapangan. “Bahkan kita masih banyak menemukan kasus penegakkan hukum yang tebang pilih soal Karhutla,” tegasnya.
Hal itu pun diakui oleh Eva Famurianty, S.Hut, Kepala Seksi Peringatan dan Deteksi Dini – Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, Ditjen PPI, KLHK. Dikatakannya, 95% kasus Karhutla disebabkan ulah manusia –yang memang sengaja membakar lahan. Senada dengan Prof. Bambang, Eva pun tidak menampik, bahwa masih banyak korporasi besar, terutama yang terkait dengan perkebunan, menggunakan cara mudah dalam membuka lahan, termasuk dengan membakar.
***Fit, Riz***
No comment