Rangkaian bencana ini adalah bukti nyata untuk segera memperkuat upaya mitigasi perubahan iklim Indonesia yang saat ini sedang menjadi sorotan dunia sebagai Presidensi G20 mendatang.
BEBAN berat kian bertambah, saat pandemi Covid-19 belum usai. Sejumlah bencana hidrometeorologi, seperti banjir dan tanah longsor, terjadi di beberapa wilayah Indonesia sepanjang musim hujan, mulai Desember 2021 hingga awal Maret 2022.
Seperti dilaporkan melalui Siaran Pers ID.com yang dikirim ke Redaksi GI (Selasa 08/03), dikatakan bahwa bencana banjir dan longsor pada periode tersebut antara lain terjadi di Jawa Tengah (Semarang, Salatiga, dan Dataran Tinggi Dieng, Wonosobo), Jawa Timur (Jember, Probolinggo dan kawasan Gunung Lawu, Magetan), Bengkulu (terjadi di delapan daerah), dan Kalimantan Barat (Kabupaten Sintang).
Selain banjir dan longsor, curah hujan dengan intensitas tinggi juga diduga menyebabkan terjadinya banjir lahar di Gunung Semeru pada Desember lalu.
BMKG pun telah mengeluarkan beberapa peringatan dini cuaca ekstrem. Sejumlah wilayah yang masuk ke dalam kategori waspada potensi cuaca ekstrem meliputi beberapa kawasan dari Sabang sampai Merauke, mulai dari Aceh sampai dengan Papua Barat.
La Nina Masih Berlanjut
“Sejumlah badan meteorologi dari berbagai negara seperti Amerika Serikat, Jepang dan Australia sepakat, bahwa tahun ini La Nina masih terjadi. Saat air hangat masuk ke perairan Indonesia, maka pembentukan awan akan lebih banyak dari biasanya. Fenomena alam inilah yang mendorong terjadinya peningkatan intensitas hujan di Indonesia. Tingginya curah hujan telah mengakibatkan banjir dan tanah longsor,” jelas Prof Edvin Aldrian, Profesor Meteorologi dan Klimatologi BRIN, Intergovernmental Panel on Climate Change WG 1 Vice Chair.
Disinyalir curah hujan yang tinggi juga diduga sebagai penyebab terjadinya banjir lahar di Gunung Semeru pada akhir tahun 2021. Dengan kata lain, bencana hidrometeorologi ini ternyata ikut memperparah bencana vulkanologi yang masih berpeluang untuk terjadi di waktu mendatang.
“Bencana vulkanologi pada Gunung Semeru saat musim hujan menunjukkan kegiatan erupsi. Proses magmatisme bergerak ke atas dan membeku di puncak gunung. Pembekuan inilah yang kemudian membentuk kubah. Adanya perubahan iklim, menyebabkan hujan yang sangat ekstrem, sehingga tumpukan dari material tersebut bercampur dengan tambahan air dari hujan. Untuk itu, saat hujan turun dengan intensitas tinggi, material vulkanik pun ikut terbawa melalui sungai. Banjir lahar ini terbawa arus melalui lembah dan menerpa pemukiman dengan kecepatan yang sangat tinggi,” tambah Prof. Dr. Nana Sulaksana, Ir., M.SP, Guru Besar Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran.
Lebih Buruk Dari Pandemi
Rangkaian peristiwa bencana hidrometeorologi di atas terjadi saat penyelenggaraan Presidensi Indonesia di G20, saat pemerintah berkomitmen untuk mengatasi perubahan iklim dan mengelola lingkungan secara berkelanjutan melalui aksi yang nyata. Singkatnya, langkah pemerintah untuk menuju nol emisi 2060 semakin mendesak.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani sudah menyampaikan bahwa negara G20 harus berupaya mencari cara memperoleh pembiayaan dan investasi ekonomi hijau dalam Pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 pada pertengahan Februari 2022. Bahkan, ia menekankan bahwa perubahan iklim bisa berdampak lebih besar dibandingkan pandemi. Untuk itu, langkah yang diambil negara-negara G20 saat ini akan menjadi penentu keberlanjutan kehidupan dunia depannya, baik untuk masyarakat Indonesia maupun global.
***Riz***
No comment