Tiga Pohon Peredam Logam Berat

Tiga jenis pohon ini mampu mengurangi dampak pencemaran logam berat timbel (Pb yang sangat berbahaya.

UDARA penuh polusi, khususnya di wilayah perkotaan dengan kawasan industri di sekitarnya. Disadari maupun tidak, aktivitas antropogenik masyarakat secara terus-menerus akan memberikan dampak buruk serta mempercepat terjadinya kerusakan lingkungan.

Salah-satu pencemaran udara yang berdampak negatif pada kualitas lingkungan adalah pencemaran logam berat timbel (Pb).

Pb merupakan salah-satu polutan yang dahulu banyak dihasilkan dari emisi buangan kendaraan bermotor maupun industri yang menggunakan bahan bakar fosil. Namun sekarang pencemaran Pb banyak disebabkan karena aktivitas daur ulang peralatan yang menggunakan bahan dasar Pb seperti aki atau baterai.

Pencemaran Pb salah-satunya dihasilkan pada proses peleburan daur ulang aki atau baterai bekas. Proses ini di samping menghasilkan logam Pb murni, juga menghasilkan efek berbahaya yang berdampak negatif terhadap kesehatan lingkungan. Meski dalam jumlah relatif sedikit saja, Pb membahayakan kesehatan manusia.

Proses jalur paparan Pb pada manusia salah satunya melalui sistem pernapasan. Sekitar 25-50% Pb diserap oleh paru-paru, karena ukurannya yang sangat kecil. Paparan Pb akan semakin meningkat dan berdampak buruk, terutama bagi kesehatan manusia yang beraktivitas/ bermukim dekat dengan sumber emisi.

Di udara bebas seperti di kawasan industri yang terdapat aktivitas peleburan aki bekas, konsentrasi Pb di udara bebas bahkan bisa mencapai 3,66 μg/m3 per 24 jam. Nilai ini sudah melebihi dari baku mutu emisi yang ditetapkan mengenai konsentrasi Pb.

Mengacu pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 tahun 1999 tentang pengendalian pencemaran udara, nilai baku mutu emisi Pb di udara yang diperbolehkan yaitu sebesar 2 μg/m3 per 24 jam.

Sedangkan National Ambient Air Quality Standards (NAAQS) menetapkan kadar baku mutu udara emisi Pb pada udara bebas sebesar 0.15 μg/m3. Salah satu upaya mitigasi yang dilakukan dalam rangka pencegahan dampak buruk Pb bagi wilayah terdampak di sekitar sumber emisi yaitu dengan penanaman pohon yang bersifat bioakumulator.

Penyerapan Pada Tanaman

Kemampuan daun dalam menyerap Pb sangat dipengaruhi oleh bentuk morfologinya, seperti ukuran daun, bentuk daun, kerapatan stomata, adanya rambut/ bulu pada permukaan daun, tekstur serta tingkat toleransi tanaman terhadap konsentrasi logam.

Daun yang memiliki bulu/ rambut pada permukaannya atau daun dengan permukaan kasar (keriput) memiliki kemampuan lebih tinggi untuk menyerap Pb, dari pada daun yang mempunyai permukaan lebih licin dan rata.

Daun yang memiliki ketebalan yang tipis lebih mudah menyerap polutan daripada daun yang tebal. Daun yang tebal umumnya memiliki jaringan epidermis yang tebal sehingga sulit untuk di tembus oleh polutan. Jumlah daun yang banyak, dan tajuk yang padat juga memiliki efektivitas penyerapan Pb yang lebih baik. Semakin padat dan banyak jumlah daunnya maka semakin banyak jumlah luas permukaan daunnya. Hal ini berhubungan dengan jumlah stomata yang semakin banyak pada permukaan daun sehingga lebih banyak volume Pb yang terserap.

Semakin besar ukuran dan semakin banyak jumlah stomatanya maka semakin besar pula penyerapan Pb masuk ke dalam daun. Lebih Jenis tanaman yang tidak membutuhkan nutrisi hara yang tinggi serta mudah untuk tumbuh, umumnya memiliki kemampuan untuk menjerap logam Pb lebih baik.

Efektivitas Pohon Menyerap Pb

Salah-satu bentuk mitigasi terhadap Pb yang diemisikan oleh sumber polutan, yaitu melalui pemanfaatan ruang terbuka dengan penanaman pohon, baik sebagai turus jalan maupun sebagai penghijauan lingkungan.

Penanaman pohon merupakan salah satu bentuk solusi alternatif terhadap pencemaran udara akibat Pb, karena pada umumnya tumbuhan mampu menyerap dan menjerap partikel Pb di udara, baik melalui udara (bagian daun) maupun dalam tanah (bagian akar).

Flamboyan (Delonix regia), Pinus (Pinus merkusii), dan Mahoni (Swietenia mahagoni), diketahui telah memiliki kemampuan menyerap Pb yang cukup efektif.

Flamboyan memiliki morfologi daun yang berbulu di permukaannya, tipis dan berbentuk menyirip rangkap dua dengan panjang 70 cm. Nilai serapan pohon Flamboyan terhadap logam Pb pada musim kemarau, yaitu mencapai 4.891,51 µg/g sedangkan pada musim hujan mampu menyerap sebesar 860,47 µg/g.

Kemudian pinus. Tumbuhan ini  memiliki nama latin Pinus Merkusii adalah tanaman berdaun jarum yang mampu untuk tumbuh hingga mencapai 10-25 m. Pohon ini memiliki batang utama silindris, lurus dan memiliki alur yang dalam.

Daun pinus memiliki nilai serapan Pb dengan kandungan total sebesar 1.686,05 µg/g pada musim kemarau serta 793,75 µg/g pada musim hujan. Hal ini menujukkan bahwa morfologi daun Pinus yang berbentuk jarum dan memiliki stomata lebih banyak daripada daun berdaun lebar, sehingga tanaman berdaun jarum lebih efisien dalam menyerap Pb di udara.

Selanjutnya mahoni. Tumbuhan ini dengan nama latin Swietenia mahagoni ini sering kali dijadikan sebagai tanaman penghijauan lingkungan, yaitu ditanam sebagai turus jalan.

Umumnya pohon ini dapat mencapai ketinggian 5-25 m. Mahoni termasuk ke dalam daun majemuk, menyirip genap, helai daun berbentuk bulat telur, tebal dan memiliki ujung yang runcing. Pada musim kemarau, nilai serapan Pb pada daun Mahoni yaitu sebesar 407,68 µg/g sedangkan pada musim hujan, nilai serapannya sebesar 276,17 µg/g.

Secara umum ketiga jenis pohon Flamboyan, Pinus, dan Mahoni memiliki potensi yang baik untuk dijadikan sebagai tanaman bioakumulator yang bisa digunakan sebagai mitigasi pencemaran Pb, khususnya di kawasan industri dan perkotaan. Ketiga jenis pohon tersebut merupakan pohon yang tidak menghasilkan buah yang dapat dikonsumsi secara langsung oleh manusia, sehingga keberadaan Pb yang terserap dalam bagian tumbuhan akan terakumulasi dan tersimpan dalam jaringan tumbuhan.

Pada konsentrasi penyerapan Pb yang sangat tinggi, tanaman bioakumaltor belum menyebabkan terjadinya nekrosis dan klorosis pada tanaman, meskipun Pb merupakan unsur non esensial yang diperlukan bagi tanaman.

Muhamad Yusup Hidayat dan Ridwan Fauzi, Peneliti ahli muda pada Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi, BRIN

Redaksi Green Indonesia