Terobosan Baru; HPH Bisa Hitung Emisi GRK Sendiri

Mulai sekarang setiap perusahaan HPH sudah menghitung sendiri emisi gas rumah kaca (GRK) sendiri pada lingkup perusahaan mereka. Dengan demikian, perusahaan HPH juga bisa berpartisipasi dalam mendukung Nationally Determined Contribution (NDC).

TANPA perhitungan, pohon ditebang. Hutan dibabat. Maka tanpa sadar, alam pun binasa. Kondisi inilah yang terjadi selama ini, hingga saatnya muncul ketentuan dan cara menghitung dampak pembalakan hutan terhadap perkembangan karbon di atmosfir.

Standar penghitungan yang baru diumumkan jelang tutup tahun 2021 lalu tersebut tentunya menjadi sesuatu yang penting bagi banyak pihak, terutama dunia usaha bidang kehutanan.

Seperti pemberitahuan Pusat Standardisasi Lingkungan dan Kehutanan – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), bahwa pihaknya bersama unit kerja dan instansi terkait telah menyepakati sebuah Rancangan Standar Khusus Penghitungan Emisi pada Penerapan Teknik Pembalakan Berdampak Rendah (Reduced Impact Logging/RIL) pada tanggal 20 Desember 2021 lalu.

“Jadi bagi HPH di Indonesia sekarang sudah bisa menghitung emisi gas rumah kaca (GRK) sendiri pada lingkup perusahaan mereka,” ungkap Muhammad Ridwan, salah-seorang Konseptor Rancangan Standar Khusus tersebut

Menurutnya, kegiatan  RIL merupakan salah-satu terobosan penting bagi kelestarian hutan pada lingkup perusahaan pengelola hutan alam. “Jadi, perusahaan HPH juga bisa berpartisipasi dalam menurunkan emisi GRK untuk mendukung Nationally Determined Contribution (NDC),” tambah pakar  dari Centre for Climate Risk and Opportunity Management in Southeast Asia Pasific (CCROM-SEAP) IPB tersebut.

Inovasi Baru   

Standar Khusus ini merupakan standar baru yang ditujukan sebagai salah satu upaya mendukung program penurunan emisi nasional sektor kehutanan melalui Pengelolaan Hutan Lestari atau Sustainable Forest Management (SFM) dengan melakukan inovasi berkelanjutan untuk memberikan dampak lingkungan rendah pada kegiatan pemanenan. Dikatakan bahwa SFM merupakan aksi mitigasi yang dilakukan dalam mereduksi emisi Gas Rumah Kaca (GRK).

Komponen aksi mitigasi Pengelolaan Hutan Lestari salah satunya yaitu Pembalakan Berdampak Rendah (Reduced Impact Logging/RIL) yang merupakan praktik pemanenan yang dilakukan oleh pemegang izin untuk mengurangi kerusakan hutan termasuk emisi. Lebih jauh disebutkan bahwa Standar tersebut disusun berdasarkan praktik terbaik pengelolaan hutan yang dilakukan oleh praktisi.

Standar Khusus ini disusun oleh Komite Teknis Standar Khusus bersama stakeholders terkait dan telah dibahas serta disepakati dalam rapat teknis pada tanggal 20 Desember 2021 melalui teleconference yang dihadiri oleh perwakilan dari pemerintah, pelaku usaha, konsumen, dan pakar pemanenan hutan.

Perlu diperhatikan bahwa kemungkinan beberapa unsur dari dokumen standar ini dapat berupa hak paten. “Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan cq. Pusat Standardisasi Lingkungan dan Kehutanan tidak bertanggungjawab untuk pengidentifikasian salah satu atau seluruh hak paten yang ada,” tulis laporan itu.

RIL

Indonesia memiliki luas kawasan hutan mencapai 125,92 juta hektar, yang meliputi: Kawasan Konservasi (27,43 juta hektar), Hutan Lindung ((29,66 juta hektar), Hutan Produksi Terbatas (26,79 juta hektar), dan Hutan Produksi Tetap (29,22 juta hektar).

Disamping itu tercatat pula adanya Hutan Produksi yang dapat Dikonversi seluas 12,82 juta hektar (PermenLHK P.41/MENLHK/SETJEN/KUM.1/7/2019 tentang RKTN 2011-2030). Diantara beragam jenis hutan tersebut, Hutan Produksi memiliki areal yang paling luas, yaitu kurang lebih 55% dari total luas kawasan hutan Indonesia.

Terkait dengan itu, maka sistem pemanenan yang memberikan dampak kerusakan lingkungan yang minimal sangat diharapkan dalam pengelolaan hutan alam produksi. Salah satu sistem pemanenan yang dapat meminimalisir dampak kerusakan akibat pemanenan adalah Pembalakan Berdampak Rendah (Reduced Impact Logging/RIL).

Teknik ini merupakan perbaikan dan penyempurnaan praktik pembuatan jalan, penebangan, serta penyaradan yang saat ini dan sebelumnya sudah berjalan. Implementasi RIL memiliki tujuan untuk meminimalisir pengaruh negatif terhadap lingkungan, memperbaiki efisiensi pemanenan melalui penekanan terhadap volume limbah penebangan.

Disamping itu RIL pun berkaitan dengan biaya pemanenan dan peningkatan produksi kayu, serta menciptakan ruang tumbuh yang kondusif untuk tegakan tinggal. Dampaknya, pertumbuhan pohon dan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) akan lebih baik, menambah pendapatan, serta mendukung kondisi kesehatan dan keselamatan kerja. Dan yang terpenting dari semua itu ialah membuat prakondisi untuk pengelolaan hutan lestari.

Melalui penerapan RIL yang baik diharapkan dapat mengurangi kerusakan hutan sehingga dapat meningkatkan produksi kayu dan mendukung keberlangsungan hutan yang lestari dimana salah satunya melalui kontribusi RIL dalam mendukung penurunan emisi.

***Riz***

No comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *