Teluk Jakarta: Ekosistem Yang Sekarat?

Oleh: Mulyadi dan Conni M. Sidabalok*)

INDONESIA dikenal sebagai negara maritim yang terlihat dari banyaknya kota-kota pesisir. Pertambahan jumlah penduduk sejalan dengan sejarah peradaban manusia yang bermukim di sepanjang pesisir. Dampaknya ialah; bertambah luasnya kota dan perubahan pemanfaatan tanah di pesisir.

Perubahan penggunaan lahan, terutama di kawasan hutan bakau sebagai areal permukiman dan pertanian, berdampak pada peningkatan cemaran yang masuk ke dalam badan air atau sungai. Kondisi tersebut menyebabkan peningkatan cemaran yang masuk ke dalam laut, terutama pada  lingkungan pantai di sekitar kota pesisir.

Berdasarkan data BPS, saat ini sekitar 60% penduduk, 416 kabupaten dan 98 kota dari 514 kabupaten/kota, dan 80% aktivitas industri berada di kawasan pesisir.

Pesatnya pertumbuhan penduduk telah menguras sumberdaya hayati di kawasan pesisir. Meningkatnya pembuangan limbah akibat kepadatan penduduk dan perkembangan industri terutama di perairan dekat kota industri telah menimbulkan kerusakan bahkan kepunahan sumberdaya hayati pesisir serta ekosistemnya.

Deformasi morfologi berupa muffin shaped pada Acartia erythraea di perairan Teluk Jakarta (foto: Conni M. Sidabalok).

Ketidakmampuan dalam mengelola kekayaan hayati secara arif menyebabkan Indonesia memiliki daftar terpanjang spesies yang terancam punah atau berstatus kritis. Contohnya, sebuah kajian mengenai status konservasi ikan asli Indonesia menunjukkan; terdapat 22 spesies terancam punah dan 16 spesies berstatus kritis.

Data lainnya mengungkapkan laju kehilangan spesies ikan dan udang selama kurun waktu lima dasawarsa terakhir di DAS Ciliwung mencapai 84,5% (23 spesies ikan) dan 50% (enam spesies udang), serta 74,4% (25 spesies ikan) dan 42% (sembilan spesies udang) di DAS Cisadane akibat rusaknya hutan dan perairan dari hulu ke muara serta pencemaran akibat buangan limbah pertanian (pestisida, sisa pupuk organik, dll).

Secara global setiap tahunnya satu atau dua spesies hilang dari muka bumi. Sementara itu, peranan di alam, potensi, manfaat atau bahkan nama ilmiahnya banyak yang belum diketahui. Kepunahan sumberdaya hayati pesisir dan ekosistemnya banyak disebabkan oleh limbah domestik dan industri.

Pencemaran Teluk Jakarta

Teluk Jakarta merupakan perairan dangkal seluas 514 km² yang merupakan bagian dari Laut Jawa dengan kedalaman rata-rata 15 m. Kawasan ini memiliki sumberdaya hayati mangrove, padang lamun, terumbu karang, dan berbagai jenis biota laut.

Di sisi lain, perairan ini adalah tempat buangan akhir dari 13 sungai yang membawa limbah rumah tangga, pabrik, bahan kimia dan lainnya. Akibat eutrofikasi perairan ini sudah dipadati mikroalga dan sering berubah-ubah warna dari kehijauan, kemerahan, kecoklatan keruh, kekeruhan yang pekat, dan berbau tidak sedap.

Secara alamiah sebenarnya setiap perairan memiliki daya asimilasi dan daya pulih dalam mengelola limbah. Namun daya tampung (carrying capacity) dan kapasitas menyerap (assimilative capacity) beban limbah kini telah terlampaui. Kasus ledakan populasi mikroalga (algal bloom) dan kematian massal ikan menandai penurunan kualitas perairan.

Pendorong utama menurunnya kualitas perairan adalah laju pertumbuhan penduduk dan urbanisasi, sejumlah industri yang tidak memiliki sistem pengolahan limbah yang memadai, dan pemekaran kota yang tidak terkontrol. Di lain pihak, hutan mangrove yang berfungsi sebagai penyaring segala jenis bahan pencemar dari darat tidak lagi bekerja secara optimal akibat luasannya yang kian menyusut.

Saat ini sisa mangrove di Suaka Margasatwa Muara Angke hanya tinggal 25,02 ha yang sebenarnya merupakan tempat perlindungan terakhir bagi beragam fauna mangrove yang terdesak oleh alih fungsi kawasan pantai.

Hipereutrofikasi

Dalam tiga dasawarsa terakhir terjadi tren penurunan tingkat kesehatan ekosistem perairan Teluk Jakarta yang tajam hingga ke tingkat sekarat (dying ecosystem). Hal ini dapat ditandai dari peningkatan kesuburan yang berlebihan (hypereutrophic), peningkatan beban pencemaran dari kegiatan industri, dan penurunan keragaman hayati.

Eutrofikasi dapat terjadi akibat kelebihan fosfat yang berasal dari limbah domestik manusia, fosfor, deterjen, limbah peternakan, dan pupuk pertanian. Secara alami proses eutrofikasi dapat terjadi dalam waktu ribuan tahun. Namun akibat modernitas dan kerusakan lingkungan maka proses ini dapat terjadi hanya dalam hitungan tahun saja. Perairan dikategorikan tereutrofikasi jika nilai TP (total phosphorus) dalam air mencapai 35-100 µg/L.

Sebuah penelitian menunjukkan belakangan ini tren rata-rata unsur hara (ortofosfat) di perairan Teluk Jakarta meningkat hampir 10 kali lipat dan konsentrasi nitrat meningkat hingga empat kali lipat. Peningkatan konsentrasi unsur hara nitrat dan fosfat ini akan mengakibatkan ledakan populasi (blooming) mikroalga beracun. Blooming mikroalga yang sering terjadi terutama dari spesies di genus Dynophysis, Skeletonema Noctiluca, Chaetoceros, dan Thalassiosira.

Algal bloom menyebabkan hilangnya nilai konservasi alam, kematian biota laut, dampak keracunan konsumen ikan, degradasi perairan, produk pangan bahari rusak, estetika pariwisata berantakan, dan semua itu pada akhirnya akan membutuhkan biaya pemulihan yang sangat besar. Algal bloom ini dapat terbentang dari pantai Marunda, Bekasi hingga Mauk di Tangerang, Banten.

Selain itu rendahnya kadar O2 terlarut dalam air hingga batas nol karena tidak terjadi proses fotosintesis, menyebabkan mahluk berinsang seperti ikan dan jenis biota air lainnya mati. Hilangnya ikan dan mahluk hidup lainnya dalam mata rantai ekosistem perairan menyebabkan terganggunya keseimbangan alam. Beberapa negara maju telah menyadari bahwa fosfat penyebab eutrofikasi, sehingga mereka semakin berhati-hati dalam penanganan fosfat dalam kehidupan manusia.

Pada masa lalu (tahun 1980-an) ledakan mikroalga terjadi hanya pada jarak sekitar 2 km dari garis pantai, namun pada tahun 1990-an dan 2010 ledakan populasi ini telah mencapai jarak 12 km dan 15 km. Jika tren peningkatan unsur hara yang disebabkan oleh aktivitas dari daratan ini tidak ditangani secara sistematis dan konsisten, diperkirakan pada tahun-tahun mendatang ledakan populasi mikroalga akan semakin sering terjadi dan perairan Teluk Jakarta akan menjadi kubangan limbah organik.

Evaluasi sejumlah penelitian sejak tahun 1970 hingga kini menunjukan, bahwa di perairan Teluk Jakarta semakin sering terjadi eutrofikasi. Pengayaan sebesar 0,1 mikron fosfat di atas konsentrasi normal sudah cukup untuk menyebabkan terjadinya ledakan populasi plankton.

Ledakan populasi plankton akan menyebabkan kekeruhan air laut, sehingga mengurangi penetrasi cahaya matahari, yang mengakibatkan munculnya berbagai penyakit karang. Selain itu, pengayaan fosfat dan nitrat juga menyebabkan berkembangnya turf algae dan filamentous algae secara tak terkendali yang akhirnya akan menutupi koloni karang.

Eutrofikasi menjadi lebih serius bila diikuti dengan ledakan populasi fitoplankton penghasil racun yang menimbulkan masalah kesehatan perikanan dan manusia, seperti Paralytic Shellfish Poisoning (PSP) dan Ciguatera Fish Poisoning (CFP). Keracunan ini dapat menimbulkan gatal-gatal, muntah, diare, sesak nafas, kelumpuhan, dan dalam kasus yang berat dapat menyebabkan kematian.

Sejumlah studi memperkirakan 17 dari 20 spesies fitoplankton beracun di Indonesia menghuni perairan Teluk Jakarta. Pada tahun 1993 ledakan Trichodesmium thieboutii diketahui telah menyebabkan kematian massal ikan dan udang di Teluk Jakarta dan tambak Muara Kamal.

Cemaran Logam Berat

Sejumlah penelitian menunjukkan, bahwa kandungan logam berat seperti kromium (Cr), kadmium(Cd), nikel (Ni), raksa (Hg), seng (Zn), tembaga (Cu), timbal (Pb) dan arsenik (As) di perairan Teluk Jakarta meningkat dari tahun ke tahun.  

Logam berat yang terakumulasi dalam tubuh biota bentik seperti kerang-kerangan bila dikonsumsi manusia dapat menimbulkan keracunan yang akut. Kadmium yang masuk ke dalam tubuh dapat meningkatkan tekanan darah, kerusakan darah merah dan kerusakan ginjal. Gejala akut keracunan timbal adalah gangguan ginjal, sistem saraf otak, sistem reproduksi dan hati, dan dapat menimbulkan penyakit minamata.

Data terkini menunjukkan, konsentrasi tertinggi bahan pencemar logam berat kadmium, timbal, tembaga, dan nikel ditemukan di sepanjang pantai pada jarak kurang dari 5 km dari garis pantai selanjutnya menurun ke arah laut. Semakin dekat garis pantai konsentrasi timbal dalam sedimen semakin tinggi, dengan puncak konsentrasi di kawasan Muara Kamal, Tanjung Priok, Cilincing, dan Marunda.

Kadmium dalam media air (terlarut dan tersuspensi) secara konsisten sudah melebihi ambang batas yang ditetapkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yaitu 1,0 ppm, dengan konsentrasi tertinggi terutama pada musim penghujan.

Bahan pencemar organik persisten (Persistent Organic Pollutants = POP) tidak kalah berbahayanya bagi kehidupan perairan seperti Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAHs) yang banyak dalam komponen tumpahan minyak mentah, Polychlorinated Biphenyls (PCB), dan senyawa organometalik seperti tributyltin yang berasal dari pemakaian cat kapal.

Dampak Pemanasan Global

Kenaikan suhu laut akibat pemanasan global telah memicu ledakan populasi (blooming) ubur-ubur dan ubur-ubur sisir (Ctenophora). Kehadirannya dalam jumlah yang banyak telah menurunkan populasi kopepoda herbivora pemakan fitoplankton yang pada gilirannya memicu terjadinya harmful algal blooms (HAB).

Selain itu, blooming ubur-ubur raksasa Nemopilema nomurai telah menimbulkan kerusakan serius perikanan Jepang dan blooming ubur-ubur sisir menyebabkan ambruknya perikanan anchovy di Laut Hitam. Indikasi menurunnya hasil tangkapan ikan juga telah terjadi di sejumlah pelabuhan perikanan Indonesia.

Beberapa perairan telah mengalami overfishing untuk jenis-jenis ikan pelagis penting. Semakin mengecilnya jumlah sumberdaya perikanan ini pada akhirnya merupakan ancaman bagi perikanan secara makro.

Meningkatnya suhu air laut juga menyebabkan kelangkaan mikroalga diatom yang memang rentan terhadap perubahan suhu laut.

Produktivitas suatu perairan terkait erat dengan keberadaan diatom. Diatom mendominasi lebih dari 80% dari seluruh populasi fitoplankton dan menduduki mata rantai pertama dari rantai makanan di laut. Posisi sebagai produsen ini membuat diatom juga mampu menyerap CO2.

Kelimpahan diatom penting dalam menentukan tingginya produktivitas laut. Seperti yang terjadi di Laut Bering, yang terletak di antara Asia dan barat laut Alaska, yang memenuhi sepertiga sediaan ikan laut di dunia. Jika kelangkaan diatom ini berlangsung terus maka dikuatirkan populasi ikan dunia akan hilang pada tahun 2100, menyusul kehancuran rantai makanan di laut.

Gejala penurunan populasi diatom juga terjadi di Teluk Jakarta, tepatnya sejak tahun 1970-an. Semula sedikitnya 60 spesies diatom dapat ditemukan di perairan tersebut. Namun saat ini tinggal 30-40 spesies saja. Selain suhu yang meningkat, polusi di Teluk Jakarta juga diduga menjadi penyebab utama berkurangnya diatom.

Apabila diatom punah, maka hanya fitoplankton yang berukuran lebih kecil dari diatom, dengan populasi kurang dari 10 persen yang bertahan hidup. Fitoplankton kecil ini tidak disukai oleh zooplankton kopepoda herbivora pemakan fitoplankton. Hal ini akan menyebabkan lambat atau punahnya populasi kopepoda sebagai penyedia stok pakan utama di laut yang pada akhirnya mendorong terjadinya kiamat di lautan.

Penurunan Keanekaragaman Hayati

Kondisi ini selain menurunkan kualitas perairan juga menyebabkan berkurangnya keragaman biota laut. Larva biota laut yang hidup di perairan dengan tingkat kontaminasi tinggi menghasilkan stok anakan (juvenile) yang tidak sehat dan berimplikasi terhadap penurunan stok serta penurunan keanekaragaman biota di masa datang.

Data statistik Peternakan dan Perikanan Propinsi DKI menunjukan, bahwa kontribusi produksi perikanan laut lokal yang didaratkan di tempat pelelangan ikan (TPI) menurun dalam satu dekade terakhir. Jika dilihat data keanekaragaman hayati ikan demersal pada periode 2018-2022, keanekaragaman ikan juga menunjukan tren penurunan.

Data keanekaragaman ikan yang tertangkap oleh jaring trawl pada awal tahun 1980-an berkisar antara 195-241 spesies dan pada tahun 1994 hanya 88 spesies. Kita belum tahu bagaimana keanekaragaman biota di Teluk Jakarta pada tahun 2024.

Fakta di lapangan menunjukan bahwa ikan-ikan yang tertangkap umumnya bukan kategori yang bernilai ekonomis penting. Kualitas air yang buruk dan eksploitasi yang melebihi kelestarian populasi atau maximum sustainable yield (MSY) menyebabkan penurunan keanekaragaman sumberdaya perikanan.

Fakta ilmiah membuktikan, bahwa beberapa spesies plankton kopepoda yang dikoleksi dari perairan Muara Angke dan Tanjung Pasir yang tercemar telah mengalami deformasi tubuh, yaitu terbentuknya muffin-shaped (semacam tumor) pada bagian ruas anal dari perutnya.

Selain itu keragaman spesies dan kelimpahan kopepoda di kedua lokasi tersebut sangatlah minim. Hanya jenis Acartia erythraea yang ditemukan melimpah di kedua perairan tersebut. Spesies ini diketahui memiliki sebaran luas dan toleransi yang besar terhadap perubahan suhu dan salinitas perairan, sehingga dapat dijadikan bioindikator pencemaran perairan karena telah memenuhi tiga kriteria di atas. (Diolah dari berbagai sumber)

*)Peneliti di Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

Redaksi Green Indonesia