Oleh: Ratna Uli Damayanti S*)
Dalam agroforestri pantai diperlukan perpaduan antara tanaman inti sebagai vegetasi alami, dengan tanaman pendamping yang dapat dirasakan manfaatnya dalam waktu dekat oleh masyarakat sekitar.
INDONESIA mempunyai daratan pesisir dengan panjang 99.083 Km (BIG, 2014). Bencana tsunami yang terjadi di Indonesia menimbulkan kerusakan vegetasi sepanjang garis pantai dan korban jiwa.
Sementara ancaman terus membayangi. Salah-satunya ialah dampak perubahan iklim yang cukup panjang. Ini memperparah keadaan masyarakat pesisir, sehingga mata pencaharian hilang karena tergantung pada kondisi iklim.
Upaya pemulihan daerah pesisir pantai adalah jawabannya. Namun itu memerlukan perencanaan yang matang, mengingat vegetasi yang tumbuh pada lahan ini sangat terbatas. lahan pesisir tergolong lahan marjinal karena mempunyai kesuburan fisik dan kimia yang rendah serta kondisi iklim yang ekstrim.
Sumardi (2008) menyatakan bahwa tanah berpasir memiliki sifat fisik tanah yang tidak stabil, kelemababan tanah yang rendah, penguapan yang tinggi dan kadar garam yang tinggi, kandungan bahan organik yang rendah.
Sisterm Agroforestri Pantai
Rehabilitasi pantai dengan menggunakan vegetasi alami, seperti; malapari, cemara laut, kelapa dan ketapang (tanaman inti) perlu untuk dilakukan. Keberhasilan rehabilitasi sangat tergantung kepada pemeliharaan tanaman inti oleh Masyarakat. Permasalah yang terjadi, petani tidak mendapatkan income selama proses pemeliharan dilakukan.
Untuk itu diperlukan perpaduan antara tanaman inti sebagai vegetasi alami, dengan tanaman pendamping yang dapat dirasakan dalam waktu dekat oleh masyarakat sekitar.
Sistem agroforestri merupakan sistem penanaman yang tepat untuk mendukung keberhasilan rehabilitasi di wilayah pesisir. Sistem agroforestri di lahan pesisir merupakan suatu inovasi sehingga penerapannya kepada masyarakat menjadi sangat penting. Kombinasi penanaman antara tanaman inti dan tanaman taka menjadi solusi.
Pemilihan tanaman jalawuru sebagai tanaman pendamping malapari, diharapkan dapat menarik gairah masyarakat untuk membudidayakannya, karena jalawuru mempunyai kelebihan.
Menurut Rahmani dkk (2019), jalawuru berpotensi sebagai sumber industri pangan fungsional, khususnya produksi maltriosa dan maltotetraosa. Apalagi Jalawuru mengandung karbohidrat yang cukup menggantikan nasi dan gandum dan direkomendasikan.
Masyarakat Pesisir Jawa Barat, seperti Garut dan Karimun Jawa, mengolah taka menjadi tepung. Olahan tepung ini dijadikan beberapa jenis kue tradisional, seperti kue ongol-ongol, semprong, cendol, cheesestick, bolu, kue talam, dll (BP3K Cikelet, 2011; Wardah et al., 2017; Fauziyah, 2017, Sihotang, 2013).
Tepung taka juga dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan biskuit (Aatjin, Lelemboto, Koapaha, & Mamahit, 2013) dan mie instan (Kurniawan, 2017). Taka mampu tumbuh di lahan terbuka atau ternaungi pada tanah berpasir- tanah mineral dengan pH agak basa, Kapasitas Tukar Kation sangat rendah hingga rendah (Winara & Murniati, 2018; Syarif, 2014; Wingsamut, 2016). Jenis ini merupakan sumber karbohidrat yang sangat potensial untuk dikembangkan di pulau-pulau kecil dalam menghadapi perubahan iklim (Ardiyan, Sulistyaningsih, & Esthi, 2014).
Informasi tentang budidaya taka dan penerapan sistem agroforestri taka telah didokumentasikan dalam buku yang berjudul ‘Taka (Tacca leontopetaloides) untuk Kemandirian Pangan’ oleh Erlinawati dkk (2021) dan Agroforestri Jalawure (Tacca leontopetaloides) oleh Widiyanto dkk, (2019).
Buku ‘Taka (Tacca leontopetaloides) untuk Kemandirian Pangan’ ini mengulas mengenai salah satu jenis umbi-umbian yang mengandung karbohidrat serat tinggi. Buku ini berisi informasi tentang taka, dari botani taka, sampai mengenai informasi gizi dan fitokimia taka.
Selain itu, buku ini dilengkapi dengan pengetahuan mengenai teknik perbanyakan dan budi daya taka serta terkait hama dan pemanfaatan taka di beberapa daerah di Indonesia. Buku ini juga dilengkapi dengan beberapa resep kue berbahan dasar tepung taka. Buku Agroforestri Jalawure (Tacca leontopetaloides) lahir sebagai upaya untuk kembali mengangkat pangan lokal khususnya yang secara alami berada di wilayah hutan.
Jalawure (Tacca leontopetaloides) merupakan salah satu tanaman pangan yang mampu beradaptasi di bawah tegakan hutan dan mampu beradaptasi pula pada habitat tanah marginal pasir pantai.
Agroforestri jalawure hadir berkontribusi dalam ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menunjang kebutuhan pangan lokal masyarakat sekitar hutan dan optimalisasi lahan di bawah tegakan.
Usahatani jalawure di bawah tegakan jati hutan rakyat memiliki prospek yang baik apabila produksi dijual dalam bentuk tepung jalawure. Secara finansial, penanaman jalawure dengan jarak tanam 75×75 cm (Suhartono & Winara, 2019).
*) Peneliti Muda – Pusat Riset Konservasi Tumbuhan Kebun Raya dan Kehutanan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).