Oleh: Muhamad Muhaimin & Wita Wardani
PAKU-PAKUAN, salah satu kelompok tumbuhan tertua di bumi, menawarkan kisah evolusi yang luar biasa. Kemampuannya bertahan hidup dan menyebar luas di berbagai habitat sangat bergantung pada spora mikroskopisnya. Spora ini, yang menjadi alat reproduksi utama paku-pakuan, menunjukkan adaptasi unik terhadap tantangan lingkungan, dari hutan hujan tropis hingga tanah tergenang air. Namun, apa yang membuat spora paku begitu istimewa? Jawabannya terletak pada keragaman jenisnya: spora klorofil, aklorofil, dan kriptoklorofil.
Tiga Karakteristik:
Spora Klorofil: Sesuai namanya, mengandung pigmen hijau yang memungkinkan fotosintesis. Setelah terhidrasi, spora ini memanfaatkan sinar matahari untuk memproduksi energi. Adaptasi ini memberikan keuntungan nutrisi selama tahap awal perkembangan gametofit, terutama di lingkungan yang teduh atau bercahaya rendah. Namun, ada kekurangannya: spora klorofil cenderung lebih rapuh. Dinding selnya yang tipis membuatnya lebih cepat rusak dibandingkan spora dari spesies lain, dan masa viabilitasnya singkat. Oleh karena itu, spora ini biasanya langsung berkecambah setelah menempel di substrat yang cocok, tanpa melalui fase dormansi.
Spora Aklorofil: Berbeda dengan spora klorofil, spora aklorofil tidak memiliki pigmen hijau. Sebaliknya, mereka sepenuhnya bergantung pada cadangan nutrisi yang tersimpan untuk perkembangan gametofit. Keunggulan spora aklorofil terletak pada daya tahannya. Dengan dinding sel yang relatif tebal, spora ini dapat bertahan lebih lama dan menyebar lebih jauh.
Spora Kriptoklorofil: Tipe spora yang belum lama ini mendapat perhatian ilmiah, memiliki karakteristik unik. Meski mengandung klorofil, warnanya tidak hijau. Lapisan pelindung spora yang gelap atau durasi singkat pigmentasi hijaunya membuatnya sulit dikenali secara visual. Spora kriptoklorofil dianggap sebagai bentuk antara spora klorofil dan aklorofil, memberikan fleksibilitas metabolik yang memungkinkan adaptasi pada kondisi lingkungan yang bervariasi.
Keragaman Taksonomi
Sebagian besar tumbuhan paku menghasilkan spora aklorofil atau spora tidak berwarna hijau. Namun, sekitar 14% spesies paku –yang diperkirakan mencakup sekitar 1.500 spesies– memiliki spora klorofil.
Famili seperti Equisetaceae, Hymenophyllaceae, Onocleaceae, dan Osmundaceae menjadi contoh utama kelompok yang menghasilkan spora klorofil. Dalam famili Polypodiaceae, genus seperti Loxogramme dan kelompok paku grammitid memberikan kontribusi signifikan terhadap keberadaan tipe spora ini.
Fakta menarik lainnya muncul dari beberapa spesies yang sebelumnya diasumsikan hanya menghasilkan spora aklorofil.
Contohnya, Blechnum nudum dan Lomaria nuda (famili Blechnaceae), Lomariopsis sorbifolia (Lomariopsidaceae), serta Platycerium wallichii (Polypodiaceae), ternyata menghasilkan spora klorofil. Temuan ini menunjukkan bahwa distribusi spora klorofil dalam tumbuhan paku jauh lebih kompleks daripada yang diperkirakan sebelumnya.
Sementara itu, spora kriptoklorofil ditemukan pada genus seperti Elaphoglossum, Lomariopsis, dan Pleopeltis. Menurut penelitian Mellado-Mansilla dkk. yang dipublikasikan di American Fern Journal pada 2021, sekitar 30 spesies paku dilaporkan memiliki tipe spora ini.
Keberadaan spora kriptoklorofil menambah dimensi baru dalam pemahaman kita tentang adaptasi reproduksi tumbuhan paku.
Preferensi Habitat
Penelitian terbaru mengungkap, bahwa spora klorofil terwakili secara berlebihan pada spesies paku epifit, utamanya di kawasan kepulauan tropis, dan spesies terestrial yang hidup di habitat tergenang air. Mengapa demikian?
Habitat-habitat tersebut cenderung miskin mikoriza, jamur yang biasanya menjadi mitra simbiosis dengan gametofit. Karena sifat spora klorofil yang dapat langsung berkecambah dan tumbuh tanpa bantuan mikoriza, mereka unggul di lingkungan semacam itu.
Analisis evolusi menunjukkan bahwa garis keturunan paku dengan spora klorofil lebih sering bertransisi menuju habitat miskin mikoriza dibandingkan jenis lain. Spora aklorofil, di sisi lain, lebih umum ditemukan di habitat yang mendukung hubungan dengan mikoriza, meskipun tidak semuanya memerlukan asosiasi dengan mikoriza.
Sementara itu, spora kriptoklorofil menempati ceruk ekologis yang lebih bervariasi, termasuk sebagai epifit, litofit, maupun terestrial. Mereka juga dapat ditemukan di habitat ekstrem seperti semak xerofil dan hutan awan, yang mencerminkan adaptasi terhadap variasi intensitas cahaya dan kelembapan.
Signifikansi Ekologi dan Evolusi
Spora paku bukan hanya alat reproduksi; mereka juga kunci adaptasi ekologis. Misalnya, spora klorofil memberikan keuntungan adaptif dengan kemampuannya melakukan fotosintesis setelah terhidrasi, sehingga mendukung perkecambahan di habitat yang miskin mikoriza.
Namun, keberhasilan gametofit dari spora ini juga memanfaatkan cadangan nutrisi sebagai sumber energi awal. Spora kriptoklorofil, dengan sifat antara klorofil dan aklorofil, memperlihatkan strategi yang lebih fleksibel, memungkinkan adaptasi pada kondisi lingkungan yang bervariasi.
Meskipun banyak penelitian telah dilakukan, hubungan sebab-akibat antara jenis spora dan keberhasilan kolonisasi habitat tertentu masih memerlukan studi eksperimental.
Misalnya, apakah spora klorofil benar-benar memberikan tingkat kelangsungan hidup yang lebih tinggi di tanah miskin mikoriza? Eksperimen seperti ini dapat memberikan jawaban lebih tegas tentang peran jenis spora dalam evolusi dan ekologi paku-pakuan.
Pelajaran untuk Masa Depan
Dari hutan tropis hingga rawa-rawa, paku-pakuan menunjukkan kemampuan luar biasa untuk bertahan hidup di berbagai habitat. Spora mereka adalah bukti nyata kecanggihan strategi evolusi tumbuhan kuno ini.
Dengan memahami lebih dalam tentang tipe spora dan adaptasinya, kita tidak hanya mempelajari sejarah alam tetapi juga membuka wawasan baru untuk konservasi dan ekologi di masa depan. Spora paku mungkin kecil, tetapi perannya dalam ekosistem tidak bisa diremehkan.
Tentang Penulis
Muhamad Muhaimin, S.Si., M.Si., Adalah peneliti pada kelompok riset kriptogam di Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi, BRIN. Peneliti kelahiran tahun 1991 ini memulai karir sebagai peneliti konservasi tumbuhan di Kebun Raya Cibodas LIPI pada tahun 2015. Saat ini tergabung di Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi dengan fokus penelitian biosistematika tumbuhan paku dari suku Lycopodiaceae (tumbuhan kumpai). Tahun 2019 melanjutkan studi S2 di Biologi UI dengan tema penelitian potensi karakter anatomi daun pada tumbuhan paku untuk beradaptasi terhadap cekaman kekeringan. Hingga saat ini penulis sudah mencapai jenjang Peneliti Ahli Muda dengan fokus penelitian biosistematika, khususnya pada kelompok tumbuhan paku.
Dr. Wita Wardani, M.Sc., Adalah peneliti pada kelompok riset kriptogam di Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi, BRIN. Peneliti kelahiran tahun 1980 ini memulai karir di Pusat Penelitian Biologi LIPI pada tahun 2005, menyelesaikan pendidikan pasca sarjana S2 pada tahun 2010 dari University of Reading, Inggris dan S3 pada tahun 2024 dari Universitas Indonesia. Penelitian yang dilakukannya banyak pada bidang sistematika dan diversitas tumbuhan paku, serta terlibat dalam penyusunan kebijakan pengelolaan jenis apendiks CITES di Kementrian Kehutanan.**
No comment