Mitigasi dan adaptasi perubahan iklim adalah peran di tingkat budidaya, bukan di industri atau kedai kopi. Kepedulian pelaku bisnis industri perkopi an sangat diperlukan.
Ruang Rimbawan III, siang penghujung Juli kemaren, cukup ramai. Aroma expreso menyapa tamu saat pengisian daftar hadir. Seperti biasa, Diskusi Pojok Iklim kali ini terbuka bagi berbagai kalangan. Peserta berkaos oblong atau dengan ikat kepala pun hadir, mereka adalah para petani kopi.
Lalu cerita-cerita seputar kopi pun meruap. Perubahan iklim sangat berpengaruh pada tanaman kopi, terutama arabika karena jenis kopi ini memerlukan suhu/iklim yang lebih dingin.
Terutama kopi arabika, menurut Cici Bernardus dari Kapal Api Global, pemanasan global membuat pertumbuhan pohon kopi tidak maksimal alias tidak baik. Lantas solusinya bukan dengan memindahkan ke area tanam yang lebih tinggi, karena kemungkinan akan mengalami serangan frost yang mengakibatkan gagal panen.
Kopi Lestari
Menurut Cici, mungkin pelaku bisnis kopi terbesar seperti Starbuck, kini gelisah. Pasalnya, di tengah tingginya permintaan konsumen, pada kenyataannya, bahan baku koipi semakin menurun produksinya. Sekali lagi, perubahan iklim telah berpengaruh besar terhadap produksi kopi dunia.
Untuk itu, tiada jalan lain, salah satu solusinya ialah bagaimana menjaga kelangsungan budidaya kopi di berbagai tempat, ditengah perubahan iklim yang terus mengancam.
Dipaparkan Cici, bahwa Gabungan Eksportir Kopi Indonesia (GAEKI) dan Pemerintah Indonesia telah berhasil membawa polemik penerapan ‘sertifikat kopi lestari’ (coffee certification for sustainability) dalam sidang International Coffee Organization (ICO) pada Maret 2013. Dalam sidang ICO sesi 109 pada 24-28 September di London, Ketua Umum GAEKI Hutama Sugandhi, menjelaskan pandangan dari dua perspektif, yaitu negara konsumen dan negara produsen. Dari negara konsumen, para roaster dan LSM Coffee Certification mengupas soal keberhasilan dari penerapan Coffee Certification for Sustainability.
Ilham Faturrohman, dari Koperasi Klasik Beans Garut berpendapat, bahwa untuk melanjutkan kejayaan kopi di tanah air perlu kepedulian berbagai pihak. Menurutnya, salah-satu terobosan ialah dengan budidaya kopi secara tumpangsari di sekitar hutan. Diceritakan Ilham, bahwa sejak beberapa tahun terakhir koperasi yang dikelolanya bersama petani di Garut telah berhasil mengembangkan kopi diantara beragam tumbuhan hutan.
“Dengan cara tersebut, kami berhasil melestarikan alam dan mencegah terjadinya bencana seperti banjir dan kekeringan,” tutur Ilham.
Bikin Iri
Alkisah, menurut sejarah, dulu biji kopi menjadi komersial setelah dibawa oleh para pedagang Arab ke Yaman pada pertengahan abad ke-15. Kopi dipopulerkan menjadi minuman oleh orang-orang muslim. Istilah kopi juga lahir dari bahasa Arab, qahwah yang berarti kekuatan.
Para kapitalis barat melihat potensi itu. Bangsa-bangsa Eropa lantas menggunakan daerah jajahannya untuk membudidayakan tanaman kopi. Indonesia, yang diduduki Belanda, memiliki andil yang besar dalam sejarah dan persebaran jenis kopi di dunia. Hingga kini kopi menjadi salah-satu komoditas kehutanan yang membanggakan bagi Indonesia.
Menurut Ilham, kopi Indonesia menjadi yang termahal di dunia. Bisa saja hal tersebut karena kelezatan kopi nusantara dibanding kopi-kopi dari negara lain.
Namun hal tersebut terkadang membuat petani kopi iri. Seperti dilontarkan peserta Diskusi Pojok Iklim, Yusuf dari Jawa Barat, yang mempertanyakan kenapa harga kopi di tingkat petani sangat rendah. “Padahal kalau kita dengar harga kopi di restoran sangat mahal. Ini membuat petani sedih dan iri,” tukasnya.
Yusuf pun mempertanyatakan kepedulian pelaku bisnis kopi, terutama perusahaan besar dalam membina petani. Pasalnya, selain memproduksi, upaya pelestarian lingkungan terkait perubahan iklim itu ada di tingkat petani. Mitigasi dan adaptasi perubahan iklim adalah peran di tingkat budidaya, bukan di industri atau kedai kopi.
***Fit, Riz***
No comment