I Putu Gede P. Damayanto, Esthi Liani Agustiani, & Diah Sulistiarini *)
Spesies anggrek ini semakin sulit ditemukan keberadaannya di Indonesia. Lalu, kenapa Didymoplexis pallens dijuluki sebagai “hantu” penghuni rumpun bambu?
ANGGREK merupakan salah satu spesies tumbuhan berbunga yang secara ilmiah tergolong dalam famili Orchidaceae. Tumbuhan ini dikenal karena keindahan bunganya dengan beragam bentuk, warna, ukuran, dan aroma.
Anggrek dapat ditemukan di berbagai belahan dunia, terutama di daerah tropis dan subtropis dan sering kali tumbuh sebagai epifit (tumbuhan yang hidup menempel pada permukaan tumbuhan lain atau menempel pada batu) atau tumbuh di tanah. Didymoplexis pallens merupakan salah satu spesies anggrek yang tumbuh di tanah.
Didymoplexis pallens adalah nama ilmiah spesies anggrek yang kini semakin sulit ditemukan keberadaannya di Indonesia. Lalu, kenapa Didymoplexis pallens dijuluki sebagai “hantu” penghuni rumpun bambu? Mari kita ulik anggrek tanah Didymoplexis pallens,si “hantu” penghuni rumpun bambu.
Apa dan Mengapa Si “Hantu”?
Didymoplexis pallens (selanjutnya disingkat menjadi D. pallens) pertama kali diketahui dan dilaporkan (diterbitkan sebagai spesies baru) pada jurnal ilmiah ‘Calcutta Journal of Natural History’ pada tahun 1844 oleh seorang ahli botani asal Inggris, William Griffith, dari sampel atau spesimen yang dikumpulkan dari hutan bambu dekat daerah Calcutta di India (Griffith, 1844; Rao dkk., 1979; Franklin & Kerrigan, 2005).
Oleh karena itu, nama ilmiah lengkap anggrek ini adalah Didymoplexis pallens Griffith (IPNI, 2024). Berdasarkan laporan Chowdhery dkk. tahun 2007, kata Didymoplexis berasal dari bahasa Yunani “dielymos” yang berarti “kembar” dan “plesis” yang berarti “terhubung”.
Dengan demikian, Didymoplexis berarti anggrek yang memiliki bunga dengan sepal (helaian kelopak bunga) bagian atas (dorsal) bersatu dengan petal (helaian mahkota bunga) membentuk struktur berlobus (berkeluk) tiga. Dalam bahasa Inggris, D. pallens dikenal dengan nama “crystal bells”.
Berdasarkan laporan hasil penelitian Xinqi dkk. tahun 2009, dalam Flora of China, secara morfologi, D. pallens memiliki tinggi 6–25 cm dengan akar rimpang berwarna cokelat muda berukuran sekitar (panjang × lebar) 8–25 × 5–8 mm.
Batang anggrek ini berwarna cokelat muda hingga cokelat kemerahan. Bunga D. pallens berwarna putih dan berbentuk lonceng, oleh karena itu, tumbuhan ini dinamai crystal bells. Tangkai bunga D. pallens berwarna cokelat dengan panjang sekitar 0,7–1,2 cm. Sepal dan petal bagian atas (dorsal) dengan panjang sekitar 4–7 mm dan bersatu membentuk 3 lobus (lekukan) yang cukup dangkal.
Sepal samping (lateral) sekitar 3–4,5 mm panjangnya dan bersatu dengan sepal lateral lainnya membentuk 2 lobus (lekukan) yang agak menjuntai ke bawah. Bibir bunga berbentuk bulat telur terbalik dengan tepi bergerigi tidak teratur. Tugu (disebut column) bunga agak melengkung, menebal ke arah ujung seperti bentuk gada, dan memiliki 2 sayap melonjong. Kepala sari (anter) bunga D. pallens berbentuk bundar dan buah berbentuk kapsul silinder dengan panjang sekitar 2–2,8 cm.
Anggrek D. pallens merupakan tumbuhan saprofit tanpa daun (Rao dkk., 1979; Franklin & Kerrigan, 2005; Zulkarnaen dkk., 2020).
Tumbuhan saprofit adalah tumbuhan yang memperoleh nutrisi dari bahan organik mati atau produk sampingan organisme lain. Tumbuhan saprofit tidak melakukan fotosintesis (tidak memiliki klorofil atau zat hijau daun) untuk menghasilkan makanan mereka sendiri sehingga organ daun biasanya tidak diperlukan. Tumbuhan yang tidak memiliki klorofil sering dikenal sebagai tumbuhan aklorofil.
Tumbuhan tersebut mengandalkan bahan organik yang mereka dapatkan dari lingkungan sekitarnya, seperti serasah daun, kayu lapuk, atau bahkan hewan yang mati dengan melakukan hubungan simbiosis dengan jasad renik (jamur atau bakteri) yang memungkinkan mereka untuk mendapatkan nutrisi secara tidak langsung (Zulkarnaen dkk., 2020; KRB, 2024).
Sebagai tumbuhan saprofit dan aklorofil, sebagian besar hidup D. pallens berada di bawah tanah sebagai umbi, dan baru akan muncul ke permukaan tanah untuk berbunga dan berbuah (tanpa daun) setelah awal musim hujan (Franklin & Kerrigan, 2005). Fenomena ini menjadikan anggrek D. pallens diberi ‘gelar’ sebagai anggrek “hantu” akibat hidupnya seolah-olah antara ada dan tiada (Zulkarnaen dkk., 2020; KRB, 2024).
Di Tiongkok, Xinqi dkk. tahun 2009 melaporkan bahwa D. pallens berbunga dan berbuah pada bulan April hingga Mei. Sementara itu, di Indonesia (terutama di Kebun Raya Bogor), anggrek ini dijumpai berbunga pada bulan Juli dan berlimpah pada bulan Agustus hingga September (Zulkarnaen dkk., 2020).
Habitat dan Persebaran
Anggrek D. pallens memiliki wilayah persebaran yang cukup luas. Anggrek ini dilaporkan dijumpai mulai dari Afganistan, Himalaya bagian timur, Nepal, Tiongkok, Taiwan, Jepang, (Pulau Ryukyu), Bangladesh, India, Sri Lanka, Myanmar, Laos, Vietnam, Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, Papua Nugini, Australia, hingga Kepulauan Pasifik (Chowdhery dkk., 2007; Xinqi dkk., 2009; POWO, 2024).
Menurut laporan Zulkarnaen dkk. tahun 2020, di Indonesia sendiri, D. pallens dapat dijumpai di Sumatra, Jawa (terutama di Jawa Barat, Jawa Timur, Pulau Bawean, dan Yogyakarta) dan Papua. Di Jawa, anggrek ini khususnya dilaporkan ditemukan di Kebun Raya Bogor dan Kebun Raya Purwodadi. Penemuan anggrek ini di Kebun Raya Bogor sudah diketahui sejak tahun 1905 (Zulkarnaen dkk., 2020).
Informasi pertumbuhan anggrek D. pallens sebenarnya belum banyak diketahui (Rao dkk., 1979). Anggrek inisecara umum berhabitat di dataran rendah hingga dataran tinggi. Di Tiongkok, anggrek ini dijumpai berhabitat di dataran yang cukup rendah sekitar pantai (Xinqi dkk., 2009).
Sementara itu di India, berdasarkan laporan Mitra tahun 2021, D. pallens dijumpai tumbuh pada ketinggian sekitar 1200 m di atas permukaan laut. Anggrek D. pallens sering kalitumbuh di rumpun bambu pada awal musim hujan atau di akhir musim kemarau dengan masa mekarnya yang hanya sehari kemudian layu atau mati (KRB, 2024).
Berdasarkan laporan Franklin & Kerrigan tahun 2005, sebagian besar D. pallens ditemukan tumbuh di serasah daun bambu. Oleh karena itu, rumpun bambu sering diasosiasikan sebagai habitat anggrek ini.
Rumpun bambu sepertinya menyediakan habitat yang cocok untuk pertumbuhan anggrek ini. Kendati demikian, beberapa individu D. pallens juga pernah dijumpai tumbuh di bawah pohon, semak, rumput, atau tanaman merambat selain bambu.
Di India, menurut laporan Franklin & Kerrigan (2005), sekitar 100 hingga 700 individu D. pallens ditemukan tumbuh di bawah rumpun bambu, terutama spesies Bambusa arnhemica. Pertumbuhannya terkonsentrasi di tepi bilabong (danau yang tidak mengalir di dataran aluvial) dan tersebar secara sporadis sepanjang 1,2 km di tepi sungai.
Sementara itu, di Indonesia, khususnya di Kebun Raya Bogor, Zulkarnaen dkk. tahun 2020 melaporkan bahwa D. pallens diketahui hanya tumbuh di bawah rumpun bambu, terutama bambu ampel (Bambusa vulgaris), bambu betung (Dendrocalamus asper), bambu sembilang (Dendrocalamus giganteus), bambu tali (Gigantochloa apus), bambu hitam (Gigantochloa atroviolacea), bambu atter (Gigantochloa atter), dan bambu gombong (Gigantochloa verticillata).
Sementara itu, di Kebun Raya Purwodadi, D. pallens juga dilaporkan tumbuh di rumpun bambu manggong atau jajang (Bambusa jacobsii), bambu duri (Bambusa spinosa), dan bambu ampel (Bambusa vulgaris). Tampaknya pertumbuhan D. pallens tidak punya hubungan spesifik pada spesies bambu tertentu, namun sebagian besar terbukti memang tumbuh pada rumpun bambu.
Hasil penelitian Zulkarnaen dkk. tahun 2020 memperoleh bahwa D. pallens agaknya lebih suka tempat tumbuh dengan serasah daun bambu yang melimpah dan tidak pernah ditemukan tumbuh pada habitat terbuka yang terpapar sinar matahari langsung.
Pertumbuhan anggrek D. pallens sebagai tumbuhan saprofit sangat bergantung pada kondisi lingkungannya. Apalagi banyak jenis anggrek yang berasosiasi dengan mikoriza untuk pertumbuhannya. Kelompok mikoriza tersebut dikenal dengan istilah orchid mycorrhizal fungi (OMF).
Garvita dkk. pada tahun 2022 melaporkan bahwakehadiran anggrek D. pallens di Kebun Raya Bogor berkaitan dengan faktor abiotik, seperti ketersediaan fosforus pentaoksida (P2O5), kalium oksida (K2O), pH tanah, dan saturasi tanah (soil saturation). Kemungkinan besar kemunculan D. pallens di antara serasah daun bambu karena serasah daun bambu dapat terurai menjadi sumber nutrisi organik seperti karbon (C), nitrogen (N), dan fosfor (P) yang dibutuhkan untuk pertumbuhan D. pallens.
Meskipun demikian, keterkaitan antara unsur organik yang tersimpan dalam tanah dan jumlah atau jenis mikoriza dalam tanah, serta hubungannya dengan rumpun bambu terhadap kehadiran dan kelimpahan D. pallens masih perlu penelitian lebih lanjut.
Franklin & Kerrigan tahun 2005 melaporkan bahwa tanah yang mendukung pertumbuhan D. pallens adalah tanah aluvial, tanah liat berwarna abu-abu dan tidak terlalu berhumus. Lebih lanjut, D. pallens tidak dijumpai tumbuh di area yang terkena banjir yang berlangsung lama. Umbi D. pallens dan kemungkinan juga bijinya dipercaya toleran terhadap genangan air, tetapi genangan air berlebihan mungkin membatasi pertumbuhannya.
Status dan Upaya Konservasi
Laporan Rao dkk. pada tahun 1979 dan Mitra pada tahun 2021 menyatakan bahwa D. pallens merupakan anggrek yang langka. Berdasarkan laporan International Union for Conservation of Nature (disingkat IUCN) atau dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai ‘Uni Internasional untuk Konservasi Alam’ dalam portal situs organisasi mereka (https://www.iucnredlist.org) menyatakan bahwa D. pallens belum diasesmen status konservasinya secara global, sehingga status keterancamannya tidak diketahui secara pasti.
Berbeda dengan spesies sekerabatnya, Didymoplexis africana Summerhayes yang berasal dari Afrika telah diasesmen status konservasinya oleh Crook & Chadburn (2014) dan hingga tahun 2014 berstatus ‘risiko rendah’ atau dalam bahasa Inggris ‘least concern’ (disingkat LC).
Status LC menunjukkan bahwa suatu spesies dianggap tidak terancam secara signifikan dalam jangka waktu yang dapat diprediksi. Spesies-spesies dengan status ini memiliki populasi yang cukup besar dan tersebar luas, serta tidak menghadapi ancaman yang serius terhadap kelangsungan hidup mereka di alam liar.
Jika melihat persebaran D. pallens di seluruh dunia yang cukup luas (data diperoleh dari portal daring GBIF pada tahun 2024), D. pallens rasanya masih layak dikategorikan dengan status LC, sama seperti status konservasi spesies kerabatnya, D. africana.
Meskipun demikian, perubahan lingkungan atau aktivitas manusia masih dapat mengancam D. pallens dan D. africana di masa depan, sehingga perlu dilakukan pemantauan terus-menerus terhadap populasi mereka.
Perlu diketahui bahwa IUCN adalah sebuah organisasi global yang berfokus pada pelestarian alam. IUCN dikenal karena mengembangkan kategori konservasi untuk membantu dalam melakukan klasifikasi terhadap spesies-spesies yang terancam kepunahan.
Klasifikasi spesies-spesies yang terancam kepunahan disusun dalam suatu “Daftar Merah”, yang merupakan daftar terperinci tentang status konservasi spesies-spesies tumbuhan dan hewan di seluruh dunia.
“Daftar Merah” tersebut menjadi sumber daya penting bagi para ilmuwan, pembuat kebijakan, dan masyarakat umum untuk memahami tingkat kepunahan spesies dan mengambil tindakan untuk mencegahnya. Kategori status konservasi menurut IUCN (2024), yaitu sebagai berikut.
- Punah (Extinct atau disingkat EX): suatu spesies dinyatakan punah jika tidak ada keraguan lagi bahwa semua individu telah mati.
- Punah di alam liar (Extinct in the wild atau EW): suatu spesies hanya ditemukan di penangkaran atau di luar habitat aslinya.
- Kritis (Critically endangered atau CR): suatu spesies sangat berisiko punah di alam liar, biasanya karena populasi yang sangat kecil, penurunan populasi yang cepat, atau ancaman yang parah.
- Terancam (Endangered atau EN): suatu spesies berisiko tinggi punah di alam liar, biasanya karena populasi yang kecil, penurunan populasi yang terus menerus, atau distribusi yang terbatas.
- Rentan (Vulnerable atau VU): suatu spesies berisiko punah di alam liar, biasanya karena populasi yang rentan terhadap fluktuasi, penurunan populasi yang moderat, atau kerentanan terhadap ancaman.
- Hampir terancam (Near threatened atau NT): suatu spesies mendekati kategori terancam atau rentan, dan mungkin masuk dalam kategori tersebut dalam waktu dekat.
- Risiko rendah (least concern atau LC): suatu spesies tidak berisiko punah saat ini, namun perlu dipantau karena populasinya mungkin berfluktuasi atau menghadapi ancaman di masa depan.
- Data kurang (Data deficient atau DD): suatu spesies tidak memiliki cukup informasi untuk menentukan status konservasinya.
- Tidak dievaluasi (Not evaluated atau NE): suatu spesies belum dievaluasi untuk menentukan status konservasi.
Menurut Zulkarnaen dkk. tahun 2020, di Singapura, secara nasional D. pallens termasuk dalam status “kritis”. Di Indonesia, walaupun anggrek ini dapat ditemukan di area konservasi seperti di Kebun Raya Bogor, tidak ada jaminan bahwa anggrek ini akan tetap ada di masa yang akan datang. Ancaman terbesar bagi kelangsungan hidup anggrek ini adalah perubahan iklim dan pembangunan yang terjadi di sekitar dan di dalam Kebun Raya Bogor (Zulkarnaen dkk., 2020).
Di Asia, D. pallens sangat rentan terhadap gangguan babi hutan liar seperti Sus scrofa atau juga kerbau air Asia seperti Bubalus bubalis (Franklin & Kerrigan, 2005). Menurut hasil penelitian Zulkarnaen dkk. pada tahun 2020, untuk menjaga kelangsungan hidup D. pallens, serasah daun bambu harus dibiarkan di habitat D. pallens dan tanaman lain atau gulma harus dibersihkan dari area tersebut.
Pelajaran Dari Si “Hantu”
Didymoplexis pallens, atau yang dikenal sebagai anggrek “hantu”, merupakan spesies anggrek saprofit langka yang memiliki keunikan dan habitat yang menarik.
Anggrek ini umumnya hidup di bawah rumpun bambu, terutama setelah awal musim hujan atau di akhir musim kemarau, dan hanya mekar selama sehari. IUCN belum mengasesmen status konservasi global D. pallens.
Di Singapura, D. pallens dikategorikan berstatus “kritis”. Di Indonesia, D. pallens belum memiliki status konservasi nasional resmi, namun di Kebun Raya Bogor, anggrek ini terancam oleh perubahan iklim dan pembangunan. Di habitat liarnya, babi hutan dan kerbau air dapat mengganggu kelangsungan hidup D. pallens.
Penelitian mendalam tentang ekologi dan pemantauan populasi yang berkelanjutan menjadi kunci untuk memahami status konservasi D. pallens dan mengembangkan strategi pelestarian yang efektif. Identifikasi terhadap mikoriza yang berasosiasi dengan D. pallens pun masih perlu diteliti lebih lanjut.
Tidak hanya itu, melestarikan habitat alami D. pallens, terutama rumpun bambu, sangat penting untuk kelangsungan hidupnya. Pengendalian populasi hewan liar yang mengganggu habitatnya perlu dilakukan dengan cara ramah lingkungan. Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang ancaman yang dihadapi D. pallens dan pentingnya pelestariannya, melalui edukasi dan sosialisasi yang luas, adalah langkah krusial untuk mendapatkan dukungan dan partisipasi aktif dari semua pihak.
Tulisan ini hadir sebagai upaya penyadaran publik terhadap D. pallens, anggrek unik yang keberadaannya kian langka. Melalui pemahaman yang lebih mendalam tentang spesies ini, diharapkan terbangun kesadaran dan komitmen untuk melestarikannya.
Tentang penulis
Dr. I Putu Gede P. Damayanto, S.Pd., M.Si. dilahirkan pada Juli 1986 di Bali. Pendidikan S1 ditempuh pada Program Studi Pendidikan Biologi, Universitas Pendidikan Ganesha. Pendidikan S2 ditempuh pada Program Studi Biodiversitas Tumbuhan, Universitas Udayana. Pendidikan S3 ditempuh pada Program Studi Biologi Tumbuhan, Institut Pertanian Bogor. Penulis pernah bekerja sebagai tenaga laboran di SMA Negeri 1 Sukawati, guru di SLBA Negeri Denpasar, dosen di Jurusan Pendidikan Biologi, Universitas Pendidikan Ganesha. Kini penulis bekerja sebagai peneliti (terutama taksonomi bambu [Bambusoideae]) di Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi, Badan Riset dan Inovasi Nasional.
Esthi Liani Agustiani, S.Hut., M.Si. dilahirkan pada 17 Agustus 1994 di Bogor. Pendidikan S1 ditempuh pada Program Studi Silvikultur, Institut Pertanian Bogor. Pendidikan S2 ditempuh pada Program Studi Biologi Tumbuhan, Institut Pertanian Bogor. Penulis pernah bekerja sebagai Asisten Peneliti di laboratorium kultur jaringan SEAMEO BIOTROP (Southeast Asian Regional Centre for Tropical Biology). Kini penulis bekerja sebagai peneliti di Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi, Badan Riset dan Inovasi Nasional dan memiliki ketertarikan pada bidang biologi reproduksi tumbuhan.
Dra. Diah Sulistiarini M.S. dilahirkan pada Februari 1955 di Salatiga, Jawa Tengah. Penulis menyelesaikan S1 dari Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada tahun 1981 dan S2 Fakultas Biologi, Institut Pertanian Bogor tahun 1995. Sejak tahun 1982 sampai sekarang, sebagai peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesian yang sekarang menjadi Badan Riset dan Inovasi Nasional, terutama di Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi dengan fokus penelitian pada taksonomi tumbuhan famili Orchidaceae (anggrek) dan Asparagaceae (asparagus-asparagusan). Saat ini penulis telah mencapai jenjang Peneliti Ahli Utama.
*)Peneliti Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi, Badan Riset dan Inovasi Nasional
l