Peneliti BRIN ini mendata beberapa tumbuhan liar pada jalur Pendakian Waspada Gunung Burangrang. Berikut laporannya.
BURANGRANG. Nama itu bukanlah sesuatu yang asing bagi para peneliti botani dan pecinta alam Jawa Barat. Gunung yang terletak di Kabupaten Bandung Barat ini menyajikan beragam pesona, diantaranya pemandangan Kota Bandung dan Situ Lembang yang indah.
Jarak tempuh menuju puncak pun masih terjangkau, sekitar 4-5 jam untuk pemula, sehingga memungkinkan untuk langsung naik turun dalam satu hari (tektok).
Pagi itu, saya bersama teman-teman mahasiswa dari UIN Sunan Gunung Djati Bandung bersiap untuk mendaki sekaligus melanjutkan proyek kegiatan untuk mendata jenis tetumbuhan yang ada di Gunung Burangrang. Lokus-nya Gunung Burangrang dari sisi Kabupaten Bandung Barat, karena dua tahun terakhir kita fokus di sisi Purwakarta dan Subang.
Pemandangan kiri dan kanan berupa hamparan kebun sayur. Kondisi ini identik dengan ekosistem pada batas hutan pegunungan di Jawa Barat pada umumnya. Sekitar tiga puluh menit kami berjalan, setelah melewati kebun sayur dan pemukiman, barulah sampai di batas wilayah Gunung Burangrang dengan tanda tapal batas. Suasana berganti sedikit sejuk.
Daisy dan Aneka Anggrek
Jenis tumbuhan yang ditemukan berupa eks-tumbuhan Perhutani, seperti pohon kayu putih (Eucalyptus sp.) dan Pinus yang masih berdiri tegak, namun sudah tidak produksi lagi.
Tutupan kanopi terlihat renggang, sehingga membuka ruang hidup bagi tetumbuhan bawah untuk hidup, terutama jenis tumbuhan yang toleran terhadap paparan matahari langsung. Sebut saja bunga daisy (Montanoa hibiscifolia) misalnya. Jenis tumbuhan asing ini agresif dan mampu menekan tetumbuhan bawah di sepanjang jalur pendakian hingga di ketinggian 1500 m dpl.
Selain bunga daisy, jenis saliyara atau juga dikenal dengan tembelekan (Lantana camara) dan ki rinyuh (Eupatorium inulifolium) yang juga hadir dalam ruang kosong di tepian jalur pendakian. Dominasi jenis tumbuhan asing menunjukkan ekosistem yang terganggu karena sejarah kawasan puluhan tahun yang lalu sebagai kawasan hutan produksi.
Mendekati Pos 2 disambut dengan hamparan padang rumput yang cukup luas setidaknya untuk menampung 50 tenda kecil. Tidak jauh dari sana, kita disuguhi dengan jambu air (Syzygium aqueum) dan jambu biji (Psidium guava).
Jika bertepatan dengan musim berbuah tentu menjadi sebuah anugerah tersendiri karena rasa buahnya manis.
Di sekitar lokasi tersebut, menjulang sebuah pohon tua yang tinggi, tetapi sudah mati. Dugaannya, itu adalah tumbuhan asli pegunungan, entah dari keluarga pasang (Fagaceae) atau keluarga ara (Moraceae).
Walaupun telah mati, pohon tersebut masih menjadi “rumah” bagi tetumbuhan epifit atau yang hidupnya menempel. Berbekal kamera saku, beberapa jenis tumbuhan epifit dapat dikenali antara lain anggrek vanda (Vanda sp.), anggrek Dendrobium sp., anggrek Bulbophyllum sp. dan jenis-jenis paku.
Tepus Hutan
Setelah melewati padang rumput, tanjakan di depan mata dengan rumpun tepus hutan telah menghadang.
Tepus, secara ilmiah kami menyebutnya sebagai Amomum coccineum merupakan anggota dari keluarga empong-empongan (Zingiberaceae) dan memiliki persebaran luas di Jawa. Jenis ini menjadi “penguasa tanjakan” jalur menuju Pos 2.
Tepus memiliki rhizome (modifikasi akar menjadi sebuah batang untuk menjalar) yang kuat dan rapat, sehingga hanya sedikit tumbuhan yang dapat hidup di antara rerumpunan padat tersebut. Bahkan, kita harus menebang beberapa tangkai tepus yang menutupi jalur kami.
Setelah melewati Pos 2, tetumbuhan yang kita temui mulai beragam. Kehadiran bunga daisy mulai berkurang, berganti dengan jenis beunying (Ficus fistulosa), riung anak (Castanopsis javanica), ki bancet (Turpinia sphaerocarpa), berbagai jenis tumbuhan pasang (Lithocarpus spp.), ki jeruk (Acronychia trifoliolata) dan tumbuhan pegunungan lainnya.
Jika membuat plot pengamatan, kita harus berhati-hati karena beberapa jenis tumbuhan menjalar memiliki duri tajam yang dapat merobek baju, misalnya hoe badak (hoe=rotan) (Plectocomia elongata), hoe cacing (Calamus sp.), raspberry hutan (Rubus spp.), akar heulang/kuku elang (Zanthoxhylum scandens) dan canar (Smilax sp.).
Selain duri yang tajam, terdapat satu jenis daun dapat membuat kulit gatal jika kita menyentuhnya. Orang Sunda menyebutnya pulus atau secara ilmiah dikenal dengan nama Dendrocnide stimulans.
Kalau sudah bersentuhan dengan tanamannya, rasa gatal bercampur perih bisa bertahan hingga tiga hari. Semakin digaruk semakin terasa sakitnya, apalagi jika terkena air, perih terasa.
Banyak yang berkata bahwa untuk menghilangkan gatal dengan cara mengoleskan bagian dalam dari batang pulus pada kulit yang terasa gatal. Tapi, saya belum pernah mempraktekkannya sendiri. Lebih baik menahannya sebagai kenangan tersendiri.
Menjelang Pos III, jalur melewati tepi lereng dengan pemandangan Kota Bandung yang indah. Beberapa bagian terbuka yang didominasi dengan tumbuhan paku andam (Dicranopteris spp.), paku payung (Dipteris conjugata) dan paku sepat/harupat (Nephrolepis sp.) yang membentuk semak belukar.
Walaupun sedikit terbuka, tegakan pasang dan riung anak seakan menjadi pagar pembatas tebing. Karakteristik kulit batang yang kasar menjadi “hunian gratis” bagi anggrek alam dan beberapa jenis paku lainnya.
Perud Pasang
Pada bagian akar dari tumbuhan pasang, kami menemukan beberapa koloni tumbuhan tanpa daun dan badan berwarna merah yang berbentuk bola pada ujungnya.
Orang Sunda menyebutnya perud (Balanophora spp.) yang diikuti dengan nama tumbuhan inangnya. Misalnya, perud pasang jika menempel pada akar pohon pasang. Pada zaman dahulu sebelum ada listrik, perud dipakai untuk sumber penerangan pengganti minyak. Sayangnya, tidak banyak yang mengetahui tentang hal ini.
Ketika sampai di Pos IV kabut mulai turun dan pandangan mulai terbatas. Namun, kami harus tetap melanjutkan perjalanan untuk membuat plot pengamatan pada ketinggian 2000 m dpl.
Di tepian jalanan setapak pada punggungan bukit yang dilalui, beberapa populasi kantung semar (Nepenthes gymnamphora) yang kian langka ditemukan. Kantung semar biasanya tumbuh bersama paku andam dalam sebuah asosiasi yang belum banyak dikaji.
Pada kondisi yang miskin hara, kantung akan terbentuk sebagai perangkap serangga supaya masuk ke dalam kantung yang telah berisi semacam asam (disebut proteolase). Cairan tersebut berfungsi mencerna kerangka keras dan daging serangga sebelum akhirnya diserap oleh tumbuhan tersebut sebagai sumber nitrogen.
Dalam perjalanan menuju puncak, satu batang pohon jamuju (Dacrycarpus imbricatus) kami temukan sebagai salah satu ciri tumbuhan pegunungan.
Zona Pegunungan selain memiliki komposisi yang khas terutama dominasi jenis keluarga pasang (Fagaceae) dan Lauraceae (masih satu keluarga dengan alpukat) juga memiliki diameter tegakan yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan tegakan pada dataran rendah.
Selain itu, jenis tumbuhan pegunungan lainnya misalnya ki merak (dikenal dengan nama Podocarpus neriifolius) dan kemanden utan (Eriosolena composita) juga kami catat. Paku paku tiang (Cyathea sp) kami temukan pada plot puncak, yang sebenarnya juga ditemukan pada ketinggian kurang dari 1000 m dpl.
Dalam perjalanan ini, setidaknya 100 jenis tumbuhan telah tercatat dari Gunung Burangrang. Kuntum-kuntum bunga merah merona dari bunga lipstik (Aeschynanthus radicans dan Agalmyla parasitica) yang sangat mencolok mudah dikenali.
Dari kejauhan puncuk muda daun puspa kemerahan yang sering muncul serempak, yang seringkali menyemarakan keindahan hutan Gunung Burangrang yang biasanya didominasi dengan nuansa hijau dedaunan.
Sangat membatasi untuk mengungkap keseluruhan tumbuhan dari sebuah gunung hanya dengan sekali perjalanan saja. Selain pandangan mata seringkali tak melihat tumbuhan kecil yang ada di jalur, di seberang punggungan atau bahkan menempel di pohon yang tinggi kemampuan identifikasi juga membatasi kami.
Sangat mustahil jika Tuhan tidak berkehendak sebuah dahan yang kaya akan tumbuhan epifit kecil jatuh, sehingga kita dapat mendokumentasikan dan mengenali tumbuhan hidup di pucuk pohon yan tinggi.
Keterbatasan kemampuan mengenali tumbuhan di lapang mengharuskan kami harus membawa banyak spesimen untuk diidentifikasi lebih lanjut ketika sampai di kampus.
Muhammad Efendi, M.Si., Pusat Riset Konservasi Tumbuhan, Kebun Raya dan Kehutanan – BRIN