PLTA Batang Toru – Tapanuli Selatan, diharapkan mampu berkontribusi dalam penurunan emisi CO2 sebesar 1,6 mega ton/ tahun, atau setara 120.000 hektar hutan. Kepedulian pelestarian lingkungan dan kiprah mengurangi emisi GRK, begitu ‘menjiwai’ aktifitas pembangunan PLTA tersebut.
Diam tapi pasti, tanpa sadar perubahan iklim bak menyergap kehidupan. Bumi kian memanas. Penyebabnya ialah konsentrasi gas rumah kaca (GRK) yang terus meningkat, terutama karbon dioksida (CO2).
Seperti dilaporkan, bahwa saat ini konsentrasinya sudah mencapai 400 ppm. Kajian Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pun menyimpulkan, telah terjadi peningkatan suhu udara rata-rata historis global mencakup wilayah daratan dan lautan sebesar 0,85 0C (0,65-1,06 0C) selama periode 1880 – 2012 (IPCC 2014).
Lalu ada kegelisahan, yang selanjutnya menjadi kepedulian untuk berbuat sesuatu yang positif bagi planet hijau ini. Sikap arif akan perkembangan situasi itu, serta bijak dalam bertindak demi lestarinya lingkungan hidup tersebut kini berkibar di Batang Toru, Tapanuli Selatan. Kepedulian dan semangat ramah lingkungan, demi ikut serta dalam kiprah mengurangi emisi GRK dan polusi, tampaknya begitu ‘menjiwai’ aktifitas pembangunan sebuah Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di wilayah tersebut.
Komitmen Paris Agreement
Adalah PT. North Sumatera Hydro Energy (PT. NSHE), perusahaan yang berkiprah menghadirkan PLTA Batang Toru itu. Ditargetkan pada 2022 mendatang PLTA ini telah beroperasi dan menjadi salah-satu kebanggaan anak bangsa, baik di Sumatera Utara maupun nasional.
Dengan kapasitas mencapai 510 MW di Tapanuli Selatan itu, tentunya merupakan sebuah harapan baru bagi kebutuhan energi di Sumatera Utara. Tak hanya itu, PLTA Batang Toru pun akan dapat menggantikan peran pembangkit listrik tenaga diesel (berbahan bakar fosil), terutama pada saat beban puncak di Provinsi Sumatera Utara. Hal itu disampaikan pihak manajemen PT. NSHE dalam kesempatan Halal Bil Halal di Jakarta awal Juli lalu.
Terkait peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang mengangkat tema “Kurangi Polusi”, maka dalam kesempatan yang sama, manajemen PLTA Batang Toru memaparkan kepada puluhan wartawan tentang pentingnya beralih kepada penggunaan energi bersih dan terbarukan. Seperti diketahui, bahwa dampak dari polusi udara diperkirakan mengakibatkan tujuh juta kematian dini dengan empat juta di antaranya terjadi di Asia Pasifik. Bencana ini menyebabkan kerugian ekonomi U$ 5 trilyun per tahun, dan pada 2030 akan mengurangi produksi pangan sebanyak 26%.
Hadir dalam kesempatan Halal Bil Halal tersebut, Communication and External Affairs Director PT. NSHE Firman Taufick, Kasubdit Penyiapan Program Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Husni Safruddin, Pengamat Kelistrikan Fabby Tumiwa, Senior Adviser on Environment and Sustainability PT. NSHE Agus Djoko Ismanto, dan Pakar Orangutan dari Universitas Indonesia Rondang Siregar.
Firman Taufick mengatakan, selama ratusan tahun manusia terus menerus melepaskan karbondioksida ke atmosfir dengan menggunakan bahan bakar fosil. Hal ini telah menyebabkan polusi dan peningkatan emisi karbon yang memicu terjadinya perubahan iklim. “Karena itu, penggunaan bahan bakar fosil harus diminimalisir, dan energi terbarukan yang lebih bersih, seperti PLTA Batang Toru, harus dikedepankan,” ungkap Firman.
Hal senada juga disampaikan oleh Husni Safruddin. Pejabat dari Kementerian ESDM tersebut menambahkan, bahwa PLTA Batang Toru merupakan bagian dari komitmen pemerintah dalam mendukung Paris Agreement, yang implementasinya di sektor energi (sesuai kebijakan energi nasional) adalah melalui target EBT 23% di tahun 2025.
PLTA Ramah Lingkungan
Kepedulian akan pelestarian lingkungan tampaknya begitu kental di PLTA Batang Toru. Hal itu memang sangat beralasan. Pasalnya, air dalam debit yang cukup merupakan sesuatu yang perlu dijaga di lokasi itu. Otomatis upaya pelestarian ekosistem menjadi perhatian utama pihak pengelola, yakni PT. NSHE.
Seperti dituturkan Agus Djoko Ismanto, bahwa dalam pembangunan PLTA Batang Toru pihaknya sangat memperhatikan pengawetan sumberdaya alam. “Penebangan hutan seminimal mungkin kita lakukan, penggusuran pemukiman pun tidak ada,” jelasnya.
“PLTA Batang Toru tidak mempunyai reservoir, sehingga stok air tersimpan di dalam hutan. Kami secara fundamental akan mempertahankan dan selalu ikut program, kelestarian kawasan yang menghasilkan air sebagai bahan baku operasinya,” tambah Joko.
Menurutnya, PLTA Batang Toru mampu berkontribusi dalam penurunan emisi karbon sebesar 1,6 mega ton/ tahun. Angka tersebut setara dengan 120.000 hektar hutan belantara.
Sementara itu, Rondang Siregar menyatakan, bahwa PLTA Batang Toru juga ‘ramah satwa liar’. Bicara emisi karbon, maka dampaknya tidak hanya kepada manusia, tapi juga makhluk hidup lainnya. Orangutan misalnya, menurut Rondang, hewan yang satu ini sangat rentan terhadap dampak polusi dan emisi karbon.
“Sama seperti upaya mengurangi emisi dan polusi –yang harus diupayakan bersama semua pihak, maka upaya menjaga kelestarian orangutan juga harus dilakukan bersama,” ungkap Rondang. Dijelaskan pula, bahwa orangutan di Batang Toru memang sudah terbiasa hidup berdampingan dengan manusia di sekitar hutan daerah tersebut sejak dulu.
***Riz***
No comment