Mangrove dan lamun berperan penting dalam menyimpan karbon, namun salah satu permasalahan yang dihadapi adalah belum adanya metodologi pengurangan emisi yang terformalisasi.
BANDUNG, Senin, 22 Juli 2024. Sebuah seminar penting berlangsung di Bale Sawala, Gedung Rektorat Universitas Padjadjaran (UNPAD). Seminar tersebut mengupas tuntas tentang faktor emisi stok karbon biru dan referensi emisi mangrove sebagai langkah mitigasi perubahan iklim di pulau-pulau kecil Indonesia.
Dalam seminar yang dipimpin oleh Yudithia Maxiselly Ph.D itu, salah satu pematerinya adalah Muhammad Ridwan, S.Hut, cand.M.Hut, ahli kehutanan dan perubahan iklim yang juga Direktur Eksekutif PT. Cedar Karyatama Lestarindo (CKL), sebuah perusahaan jasa penghitungan karbon serta berbagai hal terkait lingkungan hidup dan kehutanan yang berkantor di Bogor.
Ridwan membuka seminar dengan memaparkan Peraturan Presiden No. 98 Tahun 2021 yang mengatur penyelenggaraan nilai ekonomi karbon untuk pencapaian target kontribusi yang ditetapkan secara nasional (NDC) serta pengendalian emisi gas rumah kaca dalam pembangunan nasional.
Fokus utama dari seminar ini adalah Pasal 8 dari Perpres tersebut, yang mencakup dua aspek penting: yakni mitigasi perubahan iklim melalui inisiatif blue carbon dalam urusan pemerintahan bidang kelautan dan perikanan, serta pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam upaya mencapai NDC.
Selanjutnya Ridwan menjelaskan, bahwa ekosistem mangrove dan lamun memiliki nilai strategis yang besar, tidak hanya untuk lingkungan tetapi juga untuk sosial dan ekonomi pesisir.
Berperan Penting
“Mangrove dan lamun berperan penting dalam menyimpan karbon, yang dikenal sebagai karbon biru, dan membantu dalam mitigasi perubahan iklim. Namun, ia menyoroti bahwa salah satu permasalahan utama yang dihadapi adalah belum adanya metodologi pengurangan emisi yang terformalisasi,” jelasnya.
Untuk menjawab tantangan itu, ahli penghitungan karbon tersebut menguraikan pentingnya Standar Nasional Indonesia (SNI) No. 7724:2019 tentang pengukuran dan penghitungan cadangan karbon. Standar ini mencakup metodologi pengukuran di berbagai “karbon pool” atau bagian tempat karbon tersimpan, seperti di atas permukaan tanah (Above Ground Biomass), di bawah permukaan tanah, kayu mati, serasah (yang tidak diambil), dan karbon tanah.
“Metodologi ini penting untuk memastikan bahwa penaksiran cadangan karbon hutan dilakukan dengan akurat dan konsisten,” ungkap Ridwan.
Lebih lanjut, Ridwan memaparkan data Forest Reference Level (FRL) 2022 yang menunjukkan perubahan tutupan lahan dari tahun 2006 hingga 2020. Penelitian yang dilakukan di empat pulau studi, yaitu Bintan, Raja Ampat, Kepulauan Seribu, dan Lombok Barat, menunjukkan adanya deforestasi yang signifikan selama periode tersebut.
Pulau Bintan dan Raja Ampat masih memiliki mangrove primer dan sekunder, dengan efisiensi ekosistem (FE) mangrove primer tertinggi ditemukan di Raja Ampat. Di Kepulauan Seribu dan Lombok Barat, mangrove sekunder masih bertahan.
Rata-rata kehilangan karbon per tahun di keempat pulau ini bervariasi, dengan Bintan mengalami kehilangan karbon sebesar 0,50% per tahun, Pulau Seribu sebesar 3,79%, Lombok Barat sebesar 4,25%, dan Raja Ampat sebesar 0,52%. Data ini menunjukkan bahwa deforestasi dan kehilangan karbon masih menjadi masalah yang perlu segera ditangani.
Dalam kesimpulannya, Ridwan menekankan pentingnya memberikan perhatian khusus kepada pulau-pulau kecil untuk pencegahan deforestasi dan rehabilitasi ekosistem. Ia merekomendasikan agar setiap provinsi di Indonesia membuat nilai referensi emisi untuk setiap pulau kecil dan menetapkan skala prioritas lokasi aksi mitigasi mangrove. Langkah ini dianggap penting agar upaya mitigasi dapat dilaksanakan dengan efektif dan tepat sasaran.
Seminar ini memberikan wawasan yang mendalam mengenai pentingnya penyelenggaraan nilai ekonomi karbon dan pengendalian emisi gas rumah kaca. Dengan pemahaman yang lebih baik dan tindakan yang tepat, diharapkan Indonesia dapat mencapai target NDC serta melindungi ekosistem penting seperti mangrove dan lamun, yang memainkan peran krusial dalam menjaga keseimbangan lingkungan dan mendukung kehidupan masyarakat pesisir.***
(M Rizqi Dwi Ramdani, Staff Ahli Carbon Accountuing)