Reni Setyo Wahyuningtyas & Wawan Halwany*)
Budidaya lebah madu di Kalimantan memiliki prospek yang baik karena kondisi alamnya yang mendukung. Perlu dicari teknik alternatif pemecahan koloni untuk menghindari ekspolarasi kelulut di alam.
MADU merupakan salah satu produk unggulan di sektor kehutanan. Di Kalimantan madu menjadi primadona Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) selain rotan, gaharu, kayu manis dan kemiri.
Perkembangan peternakan lebah madu di Indonesia memiliki prospek yang baik karena didukung oleh berbagai macam vegetasi dan hutan yang masih cukup besar yaitu sekitar 200 juta ha.
Madu lebah di Kalimantan berasal dari lebah madu liar dan lebah madu budidaya. Salah satu jenis lebah budidaya yang saat ini sedang populer dan banyak dikembangkan masyarakat adalah madu kelulut. Lebah kelulut adalah lebah tanpa sengat (stingless bee) yang termasuk dalam genus Meliponini.
Di beberapa daerah lain di Indonesia, kelulut juga disebut sebagai: lebah klanceng (Jawa), teuweul (Sunda), ketape (Sulawesi), gala-gala (Minang), keledan (Lombok), ketape (Sulawesi). Anggota genus Meliponini sendiri terdiri dari sekitar 500 jenis, namun di Indonesia terdapat sekitar 40 jenis lebah tanpa sengat.
Budidaya lebah kelulut lebih dikenal dengan meliponikultur. Di Kalimantan Selatan terdapat tiga jenis lebah madu kelulut yang dibudidayakan yaitu Heterotrigona itama, Geniotrigona thorasica dan Tetragonula laeviceps.
Lebah kelulut dari jenis H. itama dapat ditemukan di Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat serta terdapat indikasi bahwa H. itama adalah spesies endemik Kalimantan (Sulaeman, Kalsum, & Mahani, 2019).
Budidaya kelulut, khususnya di Kalimantan Selatan, dimulai sejak tahun 2016. Seiring makin populernya produk dari lebah kelulut seperti madu, pollen dan propolis, maka minat masyarakat untuk budidaya lebah kelulut semakin meningkat.
Secara umum, data produksi madu di Kalimantan juga mengalami peningkatan sebesar 200% hingga 400% (Statistik Produksi Kehutanan 2020-2022). Harga madu kelulut pun jauh lebih tinggi dari madu lebah biasa, hal ini diduga karena produksi madu kelulut lebih sedikit yaitu 1-2 kg atau 2 liter/koloni/tahun (Syaifudin et al., 2021).
Lebah kelulut memiliki berbagai keunikan dibanding lebah Apis spp. yaitu lebih mudah dibudidayakan dan lebih tahan terhadap penyakit. Sumber makanan lebah kelulut juga lebih beragam baik vegetasi besar maupun kecil, termasuk rumput dapat digunakan sebagai sumber makanannya. Kelulut juga lebih mudah dibudidayakan karena tidak membutuhkan perawatan, tidak perlu diangon, tidak menyengat dan resisten terhadap penyakit (Mahani et al., 2011). Berkembangnya HHBK kelulut selaras dengan upaya konservasi lahan karena tutupan vegetasi yang terjaga baik akan mendukung ketersediaan pakan bagi lebah kelulut.
Lebah Asli Kalimantan
Berbeda dengan lebah Apis yang sudah banyak dikenal, kelulut merupakan lebah asli Kalimantan. Kelimpahan terbesar lebah ini adalah di Thailand, Malaysia dan Kalimantan (Borneo). Hal ini berhubungan dengan melimpahnya pohon penghasil resin dari kelompok Dipterocarpaceae dan iklim hutan tropis yang lembab.
Sarang kelulut di alam dapat ditemukan di lubang-lubang batang pohon. Beberapa spesies lain juga membuat sarangnya di dalam tanah dan menempati bekas sarang rayap.
Walaupun awalnya kelulut masih belum banyak dikenal dibanding lebahkan Apis spp. namun komunitas hutan di Indonesia telah mengenal lebah ini (Mahani et al., 2011).
Sebagai spesies lebah asli, kelulut memiliki adaptabilitas yang baik dengan kondisi vegetasi dan lingkungan hutan tropis Kalimantan. Hal ini didukung dengan masih banyaknya tutupan vegetasi berupa hutan sekunder, perkebunan, maupun pertanian yang menjadi sumber makanan potensial bagi lebah kelulut.
Jenis tumbuhan di daerah rawa seperti teratai (Nymphaea spp.), galam (Melaleuca leucadendra) dan mimosa air (Neptunia oleraceae) juga sangat disukai oleh kelulut. Saat ini budidaya kelulut telah dilakukan masyarakat yang tinggal di lahan mineral maupun sekitar lahan rawa.
HHBK unggulan
MenurutPermenhut No. 35 Tahun 2007, HHBK adalah hasil hutan hayati, baik nabati maupun hewani, dan beserta produk turunannya, yang berasal dari hutan kecuali kayu. Saat ini madu merupakan salah satu HHBK prioritas untuk dikembangkan sebagai produk unggulan ramah lingkungan.
Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-3545-1994, madu adalah cairan manis yang dihasilkan oleh lebah madu yang berasal dari berbagai sumber nektar. Pemanfaatan HHBK dapat dilakukan dengan memanfaatkan dan mengusahakan hasil hutan bukan kayu dengan tidak merusak lingkungan dan tidak mengurangi fungsi pokoknya.
Minat budidaya lebah kelulut secara tradisional dewasa ini cukup menggembirakan. Sebab selama ini HHBK di Kalimantan belum terlalu banyak dimanfaatkan, karena masih terpolanya paradigma lama yang mengandalkan kayu sebagai hasil hutan andalan.
Permintaan madu kelulut yang terus meningkat memungkinkan meliponikultur layak dikembangkan pada skala industri kelompok tani.
Sumber Pakan
Lebah kelulut menghasilkan 3 produk utama yaitu: madu, pollen dan propolis.
Madu merupakan cairan manis yang dihasilkan oleh kelenjar nektar floral maupun nektar ekstra floral. Nektar floral dihasilkan kelenjar nektar, sedangkan nektar ekstra floral dihasilkan bagian tanaman selain bunga, misalnya ketiak daun Acacia mangium dan karet (Hevea braziliensis).
Pollen adalah serbuk sari yang diambil dari benang sari bunga. Pollen mengandung banyak potein, vitamin dan nutrisi lain yang dibutuhkan untuk perkembangan larva.
Sedangkan propolis berasal dari resin yang digunakan lebah kelulut sebagai bahan dinding sarang (cerumen). Resin diperoleh dengan mengumpulkan getah yang keluar dari batang pohon, daun atau buah.
Beberapa species kelulut di Indo-Malaya, khususnya dari marga Homotrigona, Odontotrigona, Platytrigona, Tetragonila, Tetrigona dan sebagian Tetragonula, mengoleksi resin dari kelompok pohonDipterocarpa.
Resak (Vatica spp.)adalah contoh anggota kelompok Dipterocarpa yang mengeluarkan resin (Jalil dan Shuib, 2014).
Karena ketersediaan sumber pakan sangat menentukan pertumbuhan koloni lebah, maka rusaknya hutan tropis Kalimantan dapat memicu kelangkaan jenis-jenis kelulut tertentu yang menggantungkan hidupnya dari suatu jenis tumbuhan. Banyak jenis pohon berkayu dan tanaman buah yang menjadi sumber nektar dan pollen bagi kelulut. Tegakan dengan komposisi yang beragam, seperti pola tanam agroforestry, ternyata merupakan sumber penghasil nektar potensial. Penelitian Syaifudin et al. (2021) yang membandingkan produksi madu yang dibangun di sekitar tegakan agroforestri dengan komposisi tanaman jati, sengon, durian, rambutan, kemiri, kaliandra, mangga dan sengon. Hasilnya penelitin menunjukkan produksi madu yang lebih tinggi dibandingkan meliponikulture yang dibangun dekat tanaman yang didominasi penghasil pollen seperti kelapa sawit dan galam.
Kendala Budidaya
Budidaya kelulut saat ini masih mengalami kendala minimnya penguasaan teknik pecah koloni oleh peternak lebah kelulut. Untuk meningkatkan jumlah stup peliharaanya, petani masih mengandalkan koloni liar dari alam sehingga memicu perburuan koloni lebah dari pohon hidup.
Setelah pohon ditebang, potongan log berisi koloni dipasangi kotak kayu (toping) untuk memancing koloni berkembang ke atas dan membangun sarang dalam toping. Setahun setelah masa pemeliharaan, koloni kelulut umumnya telah membangun sarang dalam toping dan madu yang tersimpan dalam pot-pot madu dapat dipanen dengan cara disedot menggunakan alat khusus.
Budidaya kelulut dengan teknik memelihara koloni liar ini, masih jauh dari prinsip kelestarian. Log dari koloni liar merupakan kayu mati yang lambat laun akan melapuk. Kondisi ini membuat log menjadi kurang nyaman bagi kelulut sehingga koloni makin melemah atau hijrah mencari tempat bersarang yang baru.
Agar pendapatan petani tetap terjaga, maka koloni baru akan kembali diburu dari alam untuk mempertahankan jumlah koloni dalam satu peternakan lebah. Jika kegiatan ini terus menerus dilakukan, selain meningkatkan penebangan pohon yang disarangi oleh lebah kelulut, juga akan mempercepat punahnya koloni kelulut di alam.
Selain kendala tersebut, cuaca ekstrem menjadi tantangan sendiri untuk budidaya kelulut. Saat musim hujan berkelanjutan seperti ini stok produksi madu menipis karena lebah lebih sulit mencari pakan pada musim penghujan. Curah hujan yang tinggi juga menyebabkan nektar dan pollen pada bunga semakin berkurang karena air hujan, sehingga produksi madu menurun.
*)Peneliti Ahli Madya pada Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi – BRIN