Meski serapan karbonnya tidak sebesar mangrove atau pohon besar, namun padang lamun tak bisa dilepaskan dengan ekosistem pesisir yang patut dilestarikan di tengah ancaman perubahan iklim saat ini.
MESKI sudah usia pensiun, semangatnya tetap tinggi dalam hal pelestarian ekosistem. Lelaki yang dipercaya sebagai Ketua Yayasan Lamun Indonesia (Lamina) itu tampak begitu enerjik saat menjadi instruktur dalam praktek lapangan Blue Carbon Accounting Training di Pantai Perawan, Pulau Pari – Kepulauan Seribu, beberapa waktu lalu.
Adalah Wawan Kiswara, ahli ekosistem lamun yang tidak senang ‘melamun’ itu.
Di tengah hempasan ombak Laut Jawa, Dia duduk disamping GI menuju lokasi praktek plotting dan pengambilan sampel lamun di Pesisir Pulau Pari. Dengan penuh semangat, Wawan menceritakan bahwa dulu, puluhan tahun lalu, dirinya bersama para peneliti multinasional pernah melakukan hal serupa di pesisir Kepulauan Seribu.
“Ikan banyak, namun sekarang nelayan di kawasan ini lebih memilih usaha pariwisata. Mungkin uangnya lebih mudah. Tapi tak apalah, itu mungkin karena ekosistemnya bagus dan banyak yang suka berkunjung ke sini,” ucapnya,
Pentingnya Lamun
Wawan, ahli ekosistem lamun itu memang dilibatkan oleh PKSPL IPB dalam pelatihan blue carbon tersebut. Dikatakannya, bahwa lamun adalah tumbuhan tingkat tinggi yang mempunyai akar, rimpang, helai daun, pelepah, bunga dan buah. Lain halnya dengan rumput laut yang hanya punya thalus danbonggol.
Menurutnya di Indonesia ada 16 jenis lamun, namun yang banyak ditemukan hanya sembilan jenis. Dua jenis diantara ada di herbarium. “Dua jenis itu, sampai saat ini kami belum menemukannya di alam,” ungkap Wawan.
Dikatakannya, secara ekonomis, lamun beda dengan rumput laut. Tapi nilai pentingnya dilihat secara ekologis. Diantaranya ialah untuk menyaring air. Akarnya bisa menangkap sedimen dan mengendapkannya di dasar laut. “Jadi air menjadi jernih,” jelasnya.
Lamun juga menjadi tempat ikan bertelur dan anak-anak ikan mencari makan dan dibesarkan. “Ikan yang kita makan tadi (baronang bakar –red) dibesarkan di lamun,” tuturnya. Tak cuma itu, ditambahkanya bahwa dugong (ikan duyung) pun menyukai ekosistem padang lamun.
Terkait dengan penghitungan stok karbon, tentu serapan karbon di ekosistem lamun tidak sebesar pohon, baik mangrove atau pohon besar di darat. “Ukurannya saja sudah beda,” ucapnya.
***Riz***