KPU Jangan Aneh-Aneh Lagi

KPU Jangan Aneh-Aneh Lagi

UJUR harus kita akui, praktik politik uang seperti sudah lazim mewarnai pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia. Yang paling kasatmata dan sering terjadi ialah pemberian bantuan, baik berupa barang maupun uang untuk memengaruhi calon pemilih agar memberikan suaranya kepada calon atau kandidat tertentu.

Politik uang sejatinya bukan cuma perkara jual beli suara semacam itu, melainkan keseluruhan tindakan dalam setiap tahapan pemilu yang dapat dipengaruhi oleh uang, termasuk dalam kegiatan kampanye.

Itu sebabnya, sungguh aneh dan sulit diterima akal sehat jika Komisi Pemilihan Umum (KPU) justru berencana ingin menghapus sanksi diskualifikasi pasangan calon kepala daerah yang tidak atau terlambat melaporkan Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK) pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024.

Sebagai gantinya, mereka mengusulkan sanksi berupa tidak boleh mengikuti kampanye atau tidak dilantiknya pasangan calon terpilih jika belum menyampaikan LPPDK sama sekali. KPU beralasan, sanksi diskualifikasi tidak diatur lewat Undang-Undang Nomor 10/2016 tentang Pilkada.

Rencana tersebut, jika benar dilakukan, jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip pemilu yang telah diatur dalam Pasal 3 UU No 7 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pemilu, yakni profesional, terbuka, dan akuntabel. Prinsip-prinsip itu diatur antara lain untuk mewujudkan pemilu yang adil dan berintegritas serta menegakkan praktik ketatanegaraan yang demokratis.

Maka, sungguh aneh jika KPU, sebagai pelaksana pemilu, justru ingin merobohkan prinsip luhur itu. Alih-alih menjaga agar pemilu berjalan jujur dan adil, rencana tersebut malah membuka kemungkinan celah korupsi. Mestinya, justru sanksi yang harus dipertegas, bukan malah membuat pelonggaran selonggar-longgarnya dengan menghapus sanksi. Apa yang direncanakan KPU itu juga berpotensi kian membenarkan perilaku korup.

Lagi pula, kewajiban atas keterbukaan aset merupakan aspek krusial dalam upaya menciptakan pemerintahan yang transparan dan akuntabel. Itu sebabnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mewajibkan pengisian laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) bagi calon kepala daerah lantaran itu merupakan bentuk transparansi kepemilikan aset. KPK bahkan sudah mengeluarkan edaran untuk penyerahan data tersebut agar masyarakat bisa memantau.

Indikasi korupsi bisa terendus dari LHKPN yang dilaporkan oleh para penyelenggara negara. Langkah itu penting untuk memastikan tidak adanya peningkatan kekayaan yang tidak wajar, yang bisa menjadi indikasi adanya praktik korupsi atau penyalahgunaan jabatan.

Penyerahan LHKPN calon kepala daerah merupakan bentuk komitmen kejujuran dalam tata kelola pemerintahan. Calon kepala daerah yang tidak patuh memenuhi persyaratan ini patut diragukan integritasnya.

KPU, yang belakangan banyak disorot lantaran kinerja mereka yang amburadul, dari mulai kasus dugaan asusila hingga sibuk dengan sejumlah tuntutan dari honor perjalanan dinas sampai pembagian kendaraan dinas, sebaiknya memperbaiki diri. Di saat masyarakat menunggu perbaikan kinerja KPU, lembaga ini justru malah membuat rencana yang aneh dan irasional.

Di satu sisi, mereka menuntut hak-hak sebagaimana layaknya pejabat negara yang dibiayai rakyat, tapi di sisi lain mereka enggan melindungi kepentingan masyarakat. Jika penyelenggara pemilu saja sudah menabrak asas dan prinsip pemilu, pemimpin macam apa yang diharapkan lahir dari kualitas pelaksanaan pilkada semacam ini?

Harus tegas dikatakan, KPU telah gagal menjadi lembaga yang objektif, independen, dan menomorsatukan kepentingan bangsa. Jangan keluhkan rakyat jika mengkritik mereka hanya memikirkan kepentingan pribadi serta melayani pihak dan golongan tertentu.

Redaksi Green Indonesia