Oleh: Nida Humaida*)
TINGGAL di kota yang semakin panas menjadikan sebagian besar dari kita ingin sewaktu-waktu merasakan suasana sejuk di pedesaan. Atau, kalau tidak, kipas angin dan AC menjadi solusinya.
Kenyataan seperti ini melanda sejumlah kota di tanah air.
Ada beberapa penyebab kenapa kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, dan Medan terus mengalami kenaikan suhu rata-rata. Banyak alasan yang saling berhubungan, diantaranya adalah:
Efek Pulau Panas dan Urbanisasi
Seiring pertumbuhan jumlah penduduk, perluasan perkotaan menggantikan lahan hijau yang alami. Infrastruktur bangunan dan jalanan beraspal pun menyerap lalu memancarkan lebih banyak panas. Tidak seperti pedesaan yang masih banyak ditutupi tumbuhan hijau.
Fenomena ini disebut efek urban heat island atau “pulau panas perkotaan”, dinamai seperti ini karena seolah-olah menciptakan pulau panas sendiri terpisah dari wilayah sekitarnya yang lebih sejuk. Bangunan, jalanan, dan infrastruktur lainnya dibangun dari bahan-bahan seperti beton, aspal, logam, dan kaca. Bahan-bahan itu menyerap lebih banyak panas di siang hari daripada tanah dan tanaman.
Permukaan kedap air ini hanya memantulkan sekitar 10-20% radiasi matahari yang masuk, sedangkan vegetasi memantulkan hingga 90%. Pada malam hari, daerah perkotaan yang padat tidak dapat mendinginkan secara efisien, menyebabkan suhu minimum yang lebih tinggi.
Ruang Hijau Berkurang
Ketika daerah perkotaan berkembang, ruang hijau seperti hutan, lahan basah, dan lahan pertanian semakin berkurang. Kota-kota yang panas dengan minim ruang hijau mulai kehilangan kemampuannya dalam mengatur suhu lingkungannya antara siang dan malam.
Padahal sesungguhnya, tanah dan pepohonan membantu mendinginkan kota melalui proses penguapan (evapotranspirasi) dan memberikan efek teduh. Tanaman hijau dapat meningkatkan aliran udara yang memungkinkan kelebihan panas menurun.
Penelitian dari Filipa Grilo dan kawan kawan yang dipublikasikan dalam jurnal Science of The Total Environment (2020) menemukan bahwa ruang hijau yang padat dapat mengurangi suhu di sekitarnya hingga 1 – 3 derajat Celsius dan meningkatkan kelembaban hingga 2 – 8%.
Konsumsi Energi Makin Tinggi
Populasi perkotaan menuntut lebih banyak konsumsi energi listrik untuk permukiman, perkantoran/pertokoan, industri, dan jaringan transportasi. Sebagian besar energi ini masih berasal dari pembakaran bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak, dan gas alam, yang memancarkan gas rumah kaca seperti CO2 dan metana.
Gas-gas tersebut menyebabkan fenomena efek rumah kaca yang menangkap lebih banyak panas di atmosfer dan menyebabkan suhu rata-rata meningkat. Hal ini menyebabkan lebih banyak gelombang panas, dan memperburuk efek pulau panas perkotaan. Lebih banyak kendaraan di jalan juga menaikkan suhu melalui panas mesin, gas buang, dan gesekan ban.
Ngarai Kota dan Limbah Panas
Mayoritas desain kota-kota besar di Indonesia saat ini memiliki gedung-gedung tinggi dan komplek bangunan dengan jalan-jalan yang sempit, hingga menciptakan sebuah Ngarai Perkotaan. Desain ini mencegah energi panas sekaligus membatasi angin sejuk.
Bahan bangunan modern seperti kaca, baja, dan beton juga mempertahankan lebih banyak panas matahari dibandingkan dengan bahan bangunan tropis tradisional seperti papan dan bambu. Selain itu, aktivitas perkotaan juga menghasilkan limbah panas dari kegiatan industri, proses industri, kendaraan bermotor, dan pendingin udara (AC).
Perubahan Iklim Regional
Perubahan iklim yang meningkatkan suhu secara global, semakin memperkuat efek urban heat island, khususnya di malam hari.
Menurut data dari PBB, walaupun menempati proporsi wilayah yang kecil di muka bumi, wilayah perkotaan justru menjadi kontributor penghasil gas-gas rumah kaca terbesar (penyumbang 75% emisi CO2) menyebabkan perubahan iklim.
Di wilayah tropis seperti Asia Tenggara, perubahan iklim menyebabkan gelombang panas terjadi lebih sering, lebih lama, dan lebih intens.
Polusi Perkotaan
Sumber emisi dari kendaraan bermotor, industri, kegiatan konstruksi, dan permukiman, mengakumulasi berbagai polutan seperti nitrogen oksida, partikel, ozon, dan senyawa organik yang mudah menguap.
Polutan-polutan di udara itu sebagian besar mampu menciptakan kabut yang menghalangi pantulan sinar matahari. Sebagai gantinya memerangkap panas di permukaan kota. Beberapa polutan seperti partikel kecil udara dan ozon juga berkontribusi pada efek rumah kaca dan memerangkap panas.
Ekonomi Tak Ramah Iklim
Pertumbuhan penduduk di perkotaan, migrasi desa ke kota, dan pembangunan ekonomi, menyebabkan perluasan wilayah terbangun yang tidak seimbang dengan proporsi ruang hijau yang disyaratkan, yakni minimal 30% dari luas kota. Perluasan ini menyebabkan meningkatnya konsumsi energi, limbah panas, emisi gas rumah kaca, dan perubahan penggunaan lahan.
Solusi Adaptasi
Kombinasi dari tujuh hal tersebut menyebabkan suhu di perkotaan semakin panas. Lalu, bagaimana solusi adaptasi dari kondisi ini?
Perencanaan kota harus dirancang secara berkelanjutan untuk mengurangi penyerapan panas dan menciptakan ruang keluar bagi energi panas tersebut dengan berbagai cara.
Pertama; mengoptimalkan fungsi dan distribusi ruang terbuka hijau perkotaan terutama untuk menciptakan naungan yang sejuk.
Kedua; menggunakan material bangunan yang bersifat reflektif (misal atap putih atau berwarna cerah, dinding berbahan batu/tanah, bambu, cat termokromik, dan bahan reflektif lainnya).
Ketiga; mengurangi ngarai perkotaan yang sempit dengan dukungan kebijakan untuk mengatur desain pembangunan kota yang ramah lingkungan.
Keempat; memanfaatkan ruang biru (seperti kolam, danau buatan) untuk memberi efek sejuk hasil penguapan (evaporasi) dan permukaannya lebih banyak memantulkan radiasi matahari.
Kelima; penggunaan serta penempatan fungsi ventilasi secara tepat dan maksimal, untuk mengurangi penggunaan AC.
*) Peneliti Ilmu Lingkungan Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi, BRIN