Setidaknya ada 3 jenis konservasi tanah dan air, yaitu: konservasi mekanik (sipil teknis), vegetatif, dan kimiawi.
DIAM tapi mengancam, penurunan produktifitas lahan terus terjadi, dan akan semakin parah jika tidak ada pihak yang insyaf untuk melakukan konservasi. Degradasi lahan itu dicirikan oleh gangguan terhadap air, energi, penyimpanan nutrisi, dan daur ulang, baik yang disebabkan oleh manusia ataupun oleh proses alamiah alam [Ziadat et al, 2022].
Dampaknya, lahan menjadi kritis. Fungsinya sebagai media produksi –baik budidaya ataupun tidak, kian menurun atau bahkan hilang sama-sekali.Di Indonesia, pada tahun 2010 saja, lahan terdegradasi atau kritis mencapai 14 juta ha (Kehutanan, 2010).
Dampaknya sangat serius bagi kehidupan manusia dan lingkungan. Mengapa tidak? Lahan memberikan banyak manfaat kepada manusia yaitu sebagai tempat mendirikan bangunan, lahan pertanian, perkebunan, peternakan, dan lain sebagainya.
Ancaman Serius
Degradasi lahan dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor antara lain: peningkatan jumlah penduduk, kemiskinan, bencana alam (longsor, kebakaran, banjir, kekeringan, letusan gunung api), pembukaan lahan pertanian, pertambangan, dan lain sebagainya (Wahyunto & Dariah, 2014).
Oleh karenanya penyebab degradasi disetiap wilayah akan berbeda satu dengan lainnya. Namun, secara umum peningkatan jumlah penduduk dan pembukaan areal pertanian sering menjadi faktor kunci degradasi lahan di berbagai wilayah (Santoso & Nurumudin, 2020).
Dalam waktu yang lama, degradasi lahan menimbulkan dampak serius terhadap ketahanan pangan, energi, dan lingkungan. Lebih dari itu, degradasi lahan dapat menimbulkan bencana seperti kekeringan, banjir, longsor, kelaparan, dan lain sebagainya (Wahyunto & Dariah, 2014).
Untuk itu, perlu solusi yang bersifat ilmiah untuk mengatasi hal tersebut demi menjaga kelestarian lingkungan hidup untuk kesejahteraan masyarakat. Salah satu solusi tersebut adalah dengan melakukan upaya konservasi tanah dan air.
Konservasi
UU No 37 tahun 2014 mengamanatkan konservasi tanah dan air. Upaya tersebut meliputi pelindungan, pemulihan, peningkatan, dan pemeliharaan fungsi tanah pada lahan, sesuai dengan kemampuan dan peruntukannya dalam mendukung pembangunan yang berkelanjutan dan kehidupan yang lestari.
Upaya konservasi tanah tidak terlepas dari karakteristik lahan kritis yang akan diperbaiki. Karakteristik itu meliputi; miskin hara, tutupan vegetasi yang minim, topografi curam, dan drainase yang buruk. Upaya pemulihannya pun berbeda antara lahan basah dengan lahan kering, atau areal datar dengan lahan berlereng terjal.
Setidaknya ada 3 jenis konservasi tanah dan air, yaitu: konservasi mekanik (sipil teknis), vegetatif, dan kimiawi.
Konservasi mekanik (sipil teknis); merupakan kegiatan pengelolaan tanah dengan metode fisik mekanis guna memperkecil aliran permukaan (run off). Tujuannya ialah untuk mengurangi erosi dan meningkatkan kemampuan tanah (Idjudin, 2011).
Teknik konservasi ini dapat berupa sengkedan, teras guludan, teras bangku, pengendali jurang, sumur resapan, kolam retensi, dam pengendali, dam penahan, saluran buntu atau rorak, saluran pembuangan air, terjunan air, dan beronjong. Fungsinya ialah untuk meredam atau memperlambat aliran permukaan, menampung dan merekayasa aliran permukaan agar tidak bersifat merusak, memperbaiki aerasi tanah dan infiltrasi air ke dalam tanah, serta menyediakan ketersediaan air bagi tanaman.
Sementara konservasi vegetatif; menurut Subagyono, K dkk, (2003), adalah upaya pemanfaatan tanaman dan sisa-sisanya untuk media pelindung tanah terhadap ancaman erosi, menekan laju aliran permukaan, meningkatkan kandungan lengas tanah, dan memperbaiki sifat-sifat tanah mulai dari sifat fisik, biologi maupun kimia tanah.
Pada kondisi hutan yang tandus akibat longsor atau penebangan liar dapat dilakukan dengan reboisasi dan pengkayaan tanaman hutan. Selanjutnya dapat diterapkan sistem pertanian agroforestry, yang berfungsi untuk pengkayaan jenis tanaman, karena memadukan antara vegetasi hutan dengan tanaman pertanian.
Pada lahan pertanian atau perkebunan yang kondisinya miskin hara, dapat dengan menerapkan pengelolaan sisa-sisa tanaman atau tumbuhan (residu management), teknik pergiliran tanaman (crop rotation) dengan tanaman pupuk hijau atau tanaman penutup tanah (conservation rotation) yang dapat menambah kesuburan tanah.
Selain itu juga dapat diterapkan sistem penanaman dalam strip (strip cropping), penanaman mengikuti garis kontur (contour farming), dan penanaman tumbuhan penutup tanah secara permanen, hal ini dimasudkan agar mencegah dan mengurangi intensitas erosi pada lahan sehingga akan meningkatkan kesuburan dan produktifitas lahan.
Sedangkan konservasi kimiawi; merupakan metode yang dilakukan dengan cara menambahkan penggunaan bahan kimia sistem dan alami ke dalam pengelolaan tanah. Metode ini lebih diperuntukkan dalam meningkatkan kesuburan tanah.
Metode ini jarang digunakan dibandingkan dengan metode mekanik dan vegetatif, karena memiliki kelemahan seperti biaya penggunaan yang mahal serta kurang efektif jika diterapkan pada wilayah yang luas (Alim dkk, 2022).
Secara teknis metode ini dapat diterapkan dengan menyuntikan bahan kimia tersebut pada sebidang tanah. Beberapa bahan kimia tersebut seperti methyl trichlorasilane dan campuran dimethyl dichlorosilane yang dikenal dengan MCS.
Bahan kimia tersebut bersifat mudah menguap yang dapat dilihat bagaimana gas yang terbentuk bercampur dengan air tanah. Adapun senyawa yang terbentuk akan membuat agregat tanah menjadi stabil. Kemudian, dilakukan dengan pemberian ameliorant (pupuk organik/buatan) untuk memulihkan (memperbaiki dan meningkatkan unsur hara tanah) dan sehingga mengurangi tingkat kekritisan lahan.
Parlin Hotmartua Putra Pasaribu, Peneliti Ahli Pertama pada Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi, Badan Riset dan Inovasi Nasional