Air sungai tercemar, burung ini sulit mendapatkan udang dan ikan kecil, dan akhirnya populasi di habitatnya pun berkurang.
DULU suara burung ini dipercaya sebagai pertanda hari akan panas (cerah). Entahlah,….benar atau tidak, demikian sebagian warga kampung di Pasaman – Sumatera Barat berkisah.
‘Kikih….kikih..’ Sesuai bunyinya orang Minang menyebutnya “burung Kikih”. Penampilannya cantik, dengan warna bulu putih-biru nan anggun. Paruhnya panjang dan suka makan udang atau ikan kecil.
Dalam Eksiklopedia Bebas Wikipedia, burung ini disebut Raja-udang. Demikian nama umum bagi pemakan ikan dari suku Alcedinidae tersebut.
Konon di seluruh dunia, terdapat kurang lebih 90 spesies burung raja-udang. Pusat keragamannya adalah di daerah tropis, termasuk di Indonesia. Kepalanya besar, paruh runcing, kaki pendek, dan ekor pendek. Sebagian besar spesies memiliki bulu yang cerah.
Burung ini memakan berbagai macam mangsa dengan cara menukik turun dari tempat bertenggernya di dekat sungai. Selain ikan, burung ini juga memakan hewan kecil lainnya.
Keberadaannya telah dilindungi melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa yang diperbaharui dalam Peraturan Pemerintah 106 Tahun 2018.
Burung ini, seperti disebutkan berbagai sumber, menjadi salah-satu indikator rusaknya ekosistem. Misalnya air sungai dan danau yang telah tercemar, dimana ikan-ikan kecil yang menjadi makanan utamanya berkurang, dan akhirnya –di alam bebas– burung cantik ini menghilang.
***Riz***