Oleh: Dian Pratiwi*) dan Tri Wira Yuwati**)
Masyarakat sekitar hutan jati memanfaatkan keanekaragaman hayati di sekitarnya dalam usaha mencukupi kebutuhan pangan keluarga. Seperti apakah itu?
TAK lengkap rasanya, jika bicara tentang masyarakat sekitar hutan tanpa membahas berbagai interaksinya dengan hutan. Seperti hutan jati (Tectona grandis) di Pulau Jawa misalnya, tampaknya cukup menarik untuk disimak.
Hutan negara tersebut memang bersinggungan langsung dengan jutaan masyarakat yang ada di sekitarnya. Ribuan desa berada di sekitar hutan jati itu, sehingga menciptakan beragam interaksi antara hutan dengan masyarakat sekitar, tidak terkecuali dalam hal pangan harian keluarga.
Pangan, menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2014, didefinisikan sebagai segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan bagi konsumsi manusia… Sedangkan keanekaragaman pangan sendiri merupakan kelompok pangan yang terdiri dari makanan pokok, lauk pauk, sayuran dan buah- buahan dan air serta beranekaragam dalam setiap kelompok pangan.
Berbagai kelompok pangan itu tersedia di alam (baca: hutan jati), dan masyarakat sekitar hutan jati memanfaatkannya dalam usaha mencukupi kebutuhan pangan keluarga tersebut di atas. Seperti apakah itu? Mari kita simak penjelasan berikut:
Makanan Pokok
Makanan pokok masyarakat Indonesia pada umumnya adalah nasi yang dimasak dari beras atau padi (Oryza sativa). Padi dapat ditanam di kawasan hutan jati, khususnya yang memiliki ketersediaan air yang cukup tinggi dibandingkan kawasan hutan jati yang lain dan biasanya berada pada daerah lembah. Masyarakat lokal menyebut area ini sebagai “corah”.
Selain padi, di area corah terdapat hasil hutan lainnya yang bisa dimanfaatkan sebagai pengganti makanan pokok, seperti singkong (Manihot esculenta) yang diolah menjadi nasi “tiwul”, dan jagung (Zea mays) yang dapat diolah menjadi nasi jagung.
Ketiga bahan pangan tersebut dapat dipanen dari hutan jati yang dikelola dengan sistem agroforestri. Pada saat musim paceklik, masyarakat sekitar hutan pun memanfaatkan tumbuhan bawah yang hidup liar, seperti jenis uwi (Dioscorea alata), garut (Maranta arundinacea), gadung (Dioscorea hispida), talas (Colocasia esculenta) dan iles-iles (Amorphophallus muelleri) sebagai pengganti makanan pokok.
Lauk–pauk
Kebutuhan rumah tangga ini pun dapat diperoleh masyarakat dari hutan, baik yang sengaja dibudidayakan melalui agroforestri maupun yang tumbuh liar di hutan jati. Sebut saja daun kentut atau sembukan (Paederia foetida) yang tumbuh liar menjalar pada batang pohon.
Daun sembukan ini dicari oleh masyarakat sekitar hutan untuk diolah biasanya dijadikan perkedel. Selain rasanya yang gurih enak, perkedel daun sembukan dipercaya mempunyai banyak manfaat kesehatan.
Pemanfaatan hutan untuk lauk pauk tidak sebatas kekayaan nabati saja. Pada musim-musim tertentu. Seperti awal musim penghujan, edible insect atau serangga yang dapat dimakan meledak populasinya di hutan jati. Masyarakat sekitar hutan, terutama kaum perempuan memanfaatkan momen tersebut dengan beramai-ramai mencari kepompong ulat jati atau “enthong” jati (Hyblaea puera), maupun belalang kayu (Melanoplus cinereus) untuk dijadikan lauk.
Enthong dan belalang yang diawetkan setelah dikeringkan, dapat dijadikan stok pangan jangka panjang. Sedangkan untuk bahan lauk pauk hasil budidaya palawija seperti olahan perkedel singkong, jagung dan tempe tahu dari kedelai agroforestri.
Sayuran
Kepiawaian meramu tumbuhan bawah oleh masyarakat desa sekitar hutan telah dibuktikan sejak jaman dahulu. Berbekal pengetahuan lokal turun temurun, mereka mampu memilih dan memilah jenis tumbuhan bawah atau bahan sayur lainnya yang hidup liar di hutan jati.
Mereka tahu mana yang bisa dijadikan sayuran, mana yang beracun dan harus dihindari. Tumbuhan bawah dari jenis Boesenbergia sp., disebut sebagai temu, kunci dan rireh, dimanfaatkan oleh penduduk sekitar sebagai bahan sayur.
Disamping itu, pada musim hujan dan angin berhembus kencang dari barat, tumbuh suburlah jenis jamur yang disukai masyarakat karena enak rasanya yang disebut sebagai “jamur barat” (Lapista nebularis).
Adapun jenis jamur lain yang tumbuh di hutan jati dan sering dimanfaatkan oleh perempuan sekitar hutan sebagai bahan makanan yang bisa di awetkan seperti jamur gerigit (Schizophyllum commune) dan jamur kuping (Auricularia auricula).
Sedangkan jenis jamur yang dihindari untuk dimakan biasanya adalah jenis yang bercincin pada pucuk batang sebelah bawah tudung karena beracun dan dapat menyebabkan pusing dan muntah bila dimakan. Selain jenis di atas, para masyarakat sekitar hutan juga gemar mencari algae yang sering disebut sebagai jamur selo untuk pemenuhan asupan kebutuhan sayuran rumah tangga. Jamur selo ini bisa juga diawetkan untuk stok jangka panjang.
Buah-buahan
Buah-buahan seperti pisang dan pepaya ditanam di pinggir lahan garapan kering hutan atau masyarakat lokal menyebutnya dengan istilah “baon” sebagai pasokan kebutuhan nutrisi buah keluarga.
Selain buah yang sengaja di tanam di pinggir baon, terdapat buah- buahan yang tumbuh liar dan bisa dimakan seperti dari jenis yang menjalar: buah ceplukan (Physalis) dan buah permut (Passiflora foetida) yang memiliki rasa cenderung manis agak asam. Adapun dari jenis pohon sendiri seperti buah juwet atau duwet ((Syzygium cumini) yang memiliki rasa sepat asam agak manis.
Bahan Minuman
Minuman rasa bahannya bisa juga diperoleh dari hutan jati. Tumbuhan cincau hijau (Cyclea barbata) misalnya, merupakan salah satu jenis liana yang tumbuh liar di hutan jati.
Daun cincau hijau ini bisa diolah menjadi minuman yang lezat dan menyegarkan, sifatnya yang dingin dipercaya masyarakat lokal dapat meredakan panas dalam. Selain daun cincau hijau, ada juga minuman kunyit asam yang berasal dari kombinasi kunyit (Curcuma longa) yang merupakan tumbuhan bawah di hutan jati dengan buah asam jawa (Tamarindus indica) yang tumbuh liar di hutan.
Menarik bukan? Tidak dipungkiri hutan jati merupakan gudang dari sumber pangan masyarakat yang bermukim disekitarnya. Beranekaragam kekayaan alam baik yang dikelola dengan sistem agroforestri maupun yang tumbuh dengan liar dapat dimanfaatkan untuk asupan kebutuhan pangan jangka pendek maupun jangka panjang masyarakat.
Dengan berbekal pengetahuan lokal, masyarakat secara tradisional meramu bahan pangan yang tumbuh dan hidup liar di hutan, dan membudidayakan bahan pangan budidaya secara agroforestri demi tercapainya kedaulatan pangan keluarga.
*) Peneliti ahli pertama Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), **) Peneliti ahli madya Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).